Sebuah negera tak luput dari masalah, termasuk masalah yang lahir atas keserakahan. Keberadaannya berpijak di setiap sekat yang katanya abdi bangsa, menjelma bak lakon kebanggaan Ibu Pertiwi. Ia tak hanya mengeja dan mendikte integritas. Ia perlahan mencumbui setiap jengkal aset bumi, mengepulnya dengan nyali, lalu menggerogoti sendi yang telah, sedang, dan akan ditata oleh pewaris tahta negeri. Ketakutan terbesar jika ia menghampiri segerombolan anak bangsa yang mencoba berdikari. Menepi tentunya bukanlah pilihan, meretas seyogyanya digaungkan. Ini bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan mengandalkan satu pemeran. Ini persoalan yang butuh banyak peran dan campur tangan. Maka menghadapinya tak sekedar pandai berorasi dan beretorika basi. Namun cakap beraksi dan punya keberanian diri, karena yang sedang dihadapi adalah penghianatan pada relung hati nurani bernama korupsi.
Permasalahan Serius
Korupsi telah menjadi polemik besar bangsa ini. Ia telah merajalela dan tumbuh subur di bumi nusantara. Hampir setiap hari pemberitaan media tak beranjak dari kasus korupsi. Jumlah tersangka kasus korupsi pun mengalami peningkatan. Di tahun 2013 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat jumlah tersangka korupsi oleh KPK mencapai 1271. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 877 tersangka[i]. Tak heran, Transparency International (TI) yang merupakan lembaga independen anti korupsi internasional menempatkan Indonesia sebagai salah negara terkorup di dunia. Dalam data Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2013, Indonesia berada di rangking 64 dengan skor 32 sebagai negara terkorup. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan negara tetangga seperti Singapura yang berada pada rangking 5 (skor 86) dan Malaysia di rangking 53 (skor 50) sebagai negara paling bersih di dunia[ii].
Korupsi di negeri ini tak hanya melibatkan petinggi-petinggi negeri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Korupsi juga kian menjamur di lembaga-lembaga pemerintahan yang harusnya berperan sebagai pengayom masyarakat. Dalam indeks korupsi birokrasi, KPK memaparkan lembaga-lembaga terkorup di tahun 2012 dan 2013. Lembaga-lembaga tersebut dari yang paling korup adalah DPR, Polri, pengadilan, partai politik, pegawai negeri sipil (PNS), sektor bisnis, sektor kesehatan, dan sektor pendidikan[iii]. Ironisnya korupsi telah mengganas dan menggurita hingga ketingkat daerah. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga bulan Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat kasus korupsi[iv].
Kerugian negara akibat ulah tangan-tangan koruptor tak terhitung lagi jumlahnya. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat dijamah oleh mereka yang notebene menyebut dirinya sebagai wakil rakyat tapi memaksulkan rakyatnya sendiri. Para koruptor telah memporak-porandakan tatanan birokrasi dan demokrasi. Pratik korupsi telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan bangsa. Pembangunan di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi, infrastruktur dan bidang lainnya yang seharusnya dirasakan manfaatnya oleh rakyat hingga di pelosok pedesaan terhambat karena praktik korupsi. Korupsi sama sekali tidak membawa kesejahteraan. Korupsi hanya merusak tatanan masyarakat dan memberikan efek sistemik pada pembangunan bangsa. Tak salah, korupsi menjadi permasalahan serius bangsa ini.
SebuahPendekatan
Banyak kalangan mengaitkan permasalahan korupsi yang membelenggu bangsa Indonesia telah terikat dalam simpul budaya di kehidupan masyarakat. Banyak kebiasaan-kebiasaan telah lama diakui sebagai sesuatu hal yang lumrah dan bukan merupakan korupsi. Akhirnya, korupsi berbaur menjadi suatu kebiasaan yang sangat apik. Segelintir pandangan menyeruak mengaitkan dengan sejarah bangsa. Korupsi, kolusi dan nepotisme telah dijumpai sejak Indonesia merdeka dimana tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bahkan di masa itu, korupsi dan kolusi merebah seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang berkuasa. Hal inilah kemudian berevolusi menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah bagi masyarakat.
Praktik korupsi di pedesaan justru telah menjadi kesatuan dalam kebiasaan masyarakat. Contoh terkecil adalah pemberian cideramata bagi guru (PNS) sebelum dan setelah pembagian rapor. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk gratifikasi dalam lingkup kecil. Namun, sebagian besar pandangan masyarakat hanya berkutat bahwa korupsi adalah mereka yang merampas uang rakyat dengan jumlah ratusan juta hingga milyaran. Padahal korupsi tidak hanya soal uang dan tidak sebatas dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara. Sayangnya, mindset ini masih membumi disebagian besar masyarakat sehingga kebiasaan-kebiasaan yang justru menjadi bagian dari korupsi masih belum bisa difilter. Jika demikian, apakah suatu kebenaran dikatakan bahwa korupsi adalah budaya bangsa kita ? Saya katakan tidak. Korupsi bukanlah merupakan budaya bangsa ini. Perlu dicamkan jika korupsi merupakan budaya, maka para koruptor yang berada dibalik jeruji besi Lapas Sukamiskin harusnya telah memilih langkah yang sangat tepat untuk melestarikan budaya layaknya budaya-budaya lain. Pandangan keliru inilah yang harus diubah. Pandangan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa beradab yang justru dihidupkan kembali.
Pendekatan hukum tidak menjanjikan bisa memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Membenahi persoalan korupsi di Indonesia sama dengan membenahi persoalan karakter bangsa. Salah satu inti permasalahan berkembangnya korupsi di tanah air adalah mulai pudarnya karakter dan nilai-nilai bangsa. Nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab perlahan tergerus. Menumbuhkan kembali karakter dan nilai-nilai bangsa harus segera dilakukan. Langkah fundamental harus segera ditempuh karena membenahi korupsi tidak semudah membalikkan telapak tangan melainkan diperlukan pendekatan yang efektif, tepat sasaran dan simultan.
Sebenarnya KPK sedang menempuh langkah yang patut diacungi jempol. Salah satunya adalah memasukkan kurikulum anti korupsi ke dunia pendidikan yang berawal di perguruan tinggi dan perlahan menjangkau ke jenjang sekolah dasar. Memperkenalkan nilai-nilai anti korupsi ke anak didik diharapkan bisa membentuk kepribadian dan mindset anti korupsi. Namun untuk memperkenalkan dan menanamkan pendidikan anti korupsi termasuk di dalamnya pendidikan karakter tidak sekedar memasukannya ke dalam kurikulum atau mata pelajaran kemudian diajarkan di sekolah. Pendidikan anti korupsi termasuk didalamnya pendidikan karakter haruslah bersifat holistik, yaitu terjadi di setiap tempat, setiap bidang, dan setiap waktu. Jalur pendidikan formal yang digunakan untuk menanamkan dan mengedukasi nilai-niai anti korupsi tidak bisa dijadikan tumpuan utama. Diperlukan terobosan untuk melakukan edukasi anti korupsi agar bisa dilebur ke rutinitas masyarakat sehingga pendidikan bisa terjadi kapan pun, dimanapun dan diakses oleh siapapun.
Berlabuh ke Republik Netizen dan Media Sosial
Mempertimbangan media digital telekomunikasi untuk melakukan edukasi anti korupsi bisa menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan. Hal ini mengingat perkembangan inovasi dalam dunia telekomunikasi dewasa ini semakin tak terbendung. Keberadaan handphone yang tadinya masih menjadi kebutuhan tersier kini naik kelas menjadi kebutuhan primer tak terkecuali di pedesaan. Berdasarkan data US Cencus Bureau pada Januari 2014, pengguna handphone di Indonesia telah melebihi jumlah penduduk. Jumlah pengguna handphone berkisar 281 juta sedangkan jumlah penduduk hanya mencapai 251 juta penduduk. Artinya, setiap penduduk Indonesia ada yang memiliki lebih dari satu handphone[v].
Kehadiran smartphone turut andil dalam meningkatnya penetrasi penggunaan handphone di Indonesia. Mudahnya mengakses internet melalui smartphone menjadi alasan utama masyarakat menjatuhkan pilihan pada smartphone.Akibatnya, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat tajam. Survey International Telecommunication Union (ITU) pada Januari 2014 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 72,7 jutaatau setara dengan 29 persen populasi masyarakat Indonesia[vi]. Bahkan disinyalir jumlah pengguna internet di Indonesia akan menembus 100 juta jiwa di tahun 2015[vii]. Mereka pun menghabiskan waktu rata-rata 5 jam 47 menit per harimelalui personal computer (PC) dan 2 jam 30 menitper hari melalui perangkat bergerak[viii].
Media sosialmenjadi salah satu fitur yang sering diakses oleh netizen di internet. Sebut saja Facebook, Twitter, Blog, Path, Instagram, Google Plus, Pinterest, Youtube, Linkedin, dan berbagai media sosial lainnya menghadirkan platform sesuai kebutuhan para penggunanya untuk saling berinteraksi. Bahkan rata-rata seorang netizen memiliki lebih dari satu media sosial. Tak pelat, Indonesia menjadi negara yang memiliki pengguna sosial media paling aktif di Asia.
Aplikasi instant messaging juga menjadi primadona. Platform chatting seperti Whatsapp, Line, KakaoTalk, WeChat, Blackberry Messenger, Yahoo Messenger, Snapchat, Windows Live Messenger, Google Talk,AOL Instant Messenger (AIM), Chat On, Facebook Messenger adalah sebagian dari layanan komunikasi realtime yang digandrungi oleh netizen. Sebagai gambaran, jumlah pengguna Line di tanah air telah mencapai angka 30 juta per 12 September 2014 dan merupakan pengguna kedua Line terbesar di dunia[ix]. Kakao Talk juga demikian, per akhir tahun 2013 telah mencapai 16 juta pengguna atau 13,3 persen dari pengguna seluruh dunia[x].
Dengan melihat realita tersebut, maka keberadaan internet dan media sosial merupakan langkah yang patut dtempuh di masa sekarang sebagai sarana untuk melakukan edukasi ke masyarakat. Terlebih, internet kini telah diadikan sebagai sumber informasi utama selain TV. KPK sebenarnya telah mempertimbangkan internet sebagai salah satu media yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan edukasi anti korupsi ke masyarakat. Salah satu wujud nyata adalah pemanfaatan website KPK yang menyajikan beberapa tools pembelajaran mengenai korupsi. Masyarakat bisa melakukan streaming melalui Radio KPK di situs KPK. Baru-baru ini pula KPK memperkenalkan Kanal TV berbasis internet yang juga bisa diakses melalui situs KPK. Kanal TV menyajikan tayangan audio visual tentang kampanye dan edukasi antikorupsi. Tak sampai disitu, KPK juga memajang di websitenya berupa e-learning gratifikasi.Inovasi yang terus dilakukan KPK ini patut diapresiasi. Meskipun demikian, website KPK tidak serta merta dijadikan tumpuan utama dalam melakukan edukasi anti korupsi. Satu hal yang perlu menjadi perhatian bahwa ada kecenderungan dimana netizen mengurungkan niat mengunjungi website KPK hanya sekedar melakukan streaming radio, menyaksikan tayangan kanal TV, dan belajar e-learning anti korupsi. Mereka lebih memilih mendapatkan informasi dari platform yang mudah dijangkau dan salah satunya melalui media sosial.
Aktivitas netizen mengakses media sosial telah menjadi rutinitas ketika mereka terkoneksi dengan internet. Seorang anak bisa betah seharian menyendiri di dalam kamarnya hanya dengan mengakses media sosial. Media sosial telah menjadi “sahabat” dimana pengguna merasa bebas untuk berekspresi dan menyampaikan perasaan. Membaca status, update status, share status di media sosial telah menciptakan sebuah ruang berkomunikasi yang nyaman bagi penggunanya. Dengan demikian, platform ini harusnya bisa menjadi media edukasi yang efektif.
Sejauh ini, KPK telah menghadirkan akun media sosial resmi antara lain Facebook (Komisi Pemberantasan Korupsi), Twitter (@KPK_RI), dan Youtube (Komisi Pemberantasan Korupsi). Di twitter jumlah follower mencapai 1 juta-an, di Facebook jumlah likes sekitar 700 ribuan, dan di Youtube hanya sekitar 600 subscribe. Jika dibandingkan dengan jumlah pengguna media sosial di Indonesia, maka akun-akun tersebut harusnya berkesempatan mendapatkan perhatian yang lebih banyak dari pengguna media sosial. Selain akun media sosial resmi KPK, beberapa komunitas yang menyebut dirinya sebagai komunitas anti korupsi bermunculan di beberapa media sosial. Di Facebook misalnya beberapa komunitas bermunculan seperti Komunitas Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK) dan Pemuda Anti Korupsi, sedangkan di Twitter antara lain @AkuAntiKorupsi, Pemuda Anti Korupsi (@PeAKLSPR), dan lainnya. Sayangnya beberapa dari akun tersebut tak lagi melakukan aktivitas seperti update status. Salah satu komunitas melakukan update statusterakhir di buan Juni 2013 dan sebagian konten akun komunitas tersebut hanya berisi informasi training-training yang tidak ada kaitannya dengan edukasi korupsi. Padahal beberapa akun media sosial tersebut terbilang potensial untuk dijadikan mitra dalam membantuk melakukan edukasi kepada netizen.
Optimalisasi Ranah Broadband
Ada beberapa alasan mengapa media internet dan media sosial bisa dijadikan pilihan untuk mengedukasi masyarakat. Pertama, terjangkau (affordable) dan mudah diakses (accessible). Melakukan edukasi antikorupsi melalui internet dan media sosial tidak membutuhkan biaya yang banyak, cukup bermodalkan internet dan sumber daya untuk mengelolanya. Apalagi operator telekomunikasi kini menawarkan tarif internet yang sangat bersahabat. Internet juga telah menjangkau semua kalangan dari kalangan atas, menengah, hingga kalangan bawah baik di perkotaan maupun di pedalaman. Untuk terkoneksi dengan internet pun bisa melalui perangkat smatrtphone dan gadget, warung internet (warnet),ataupun dengan modem. Kedua, efektif (effective), tingginya pengguna internet dan media sosial di Indonesia menempatkan internet sebagai media yang diperhitungkan sebagai komunikasi yang efektif.Hal ini senada seperti yang diungkapkan oleh peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELsam), Wahyudi Djafar bahwa pilihan untuk menggunakan beragam platform media sosial tidak hanya pertimbangan eksistensi, tetapi memang pergeseran dalam cara berkomunikasi. Jika dulu mengandalkan lisan, sekarang bergeser ke media sosial[xi]. Di media sosial misalnya interaksi yang terjadi sesama pengguna bisa mendekatkan personalitas (person to person) sehinga timbul rasa nyaman untuk saling berinteraksi dan berbagi informasi tanpa mengenal jarak dan waktu. Karena personalitas inilah para penggguna bisa lebih mudah menerima informasi sehingga edukasi yang diterima melalui media sosial dapat diserap dengan baik.
Untuk menyiasati pengguna internet dan media sosial yang terdiri dari kelompok usia yang berbeda, maka perlu dilakukan pengkategorian. Pengkategorian diperlukan untuk menentukan media apa saja dan konten seperti apa yang akan digunakan untuk melakukan edukasi anti korupsi agar terhindar dari bias komunikasi. Bentuk media komunikasi dan penyajian konten bagi pengguna handphone dan gadget di usia anak-anak akan berbeda dengan mereka di usia remaja dan dewasa.
Kategori pertama, anak-anak usia golden age (3-5 tahun) dan 6-10 tahun. Mengapa perlu menyasar anak-anak di usia ini ? Anak-anak dalam usia tersebut sudah disuguhi gadget oleh orang tuanya. Selain itu, usia tersebut merupakan usia yang paling ideal untuk menanamkan nilai-nilai yang akan berkontribusi pada pembentukan karakter diri seorang anak. Meskipun belum memiliki media sosial, tetapi mereka sudah akrab bermain game atau menonton video di Youtube bersama orang tuanya. Membuat game yang menyelipkan unsur pendidikan berupa nilai-nilai anti korupsi bisa menjadi salah satu pilihan. Nilai-nilai anti korupsi seperti kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan bisa dilebur dalam alur cerita sebuah game. Game cukup dibuat sederhana tapi tetap mempertimbangkan konten game yang sesuai dengan kategori anak seusianya. Misalnya, KPK bisa membuat aplikasi sejenis cerita bergambar dengan mengambil tema nilai-nilai anti korupsi dimana orang tua bisa mengunduh secara gratis di Play Store. Lebih lanjut, KPK bisa menginovasi jenis game yang sedang popular dikalangan anak-anak. Perlu dilakukan komparasi mengenai tipe dan jenis game dengan game yang digemari oleh ana k-anak sehingga bisa dirumuskan konsep game yang pas. Dengan cara ini, diharapkan nilai-nilai anti korupsi turut mengambil bagian dalam pembentukan karkakter anak-anak melalui game. Tahun 2012 kemarin, salah satu anak SD menciptakan sebuah game anti korupsi. Anak-anak yang seperti inilah perlu diberikan stimulus agar terus berkarya sehingga akan banyak terlahir karya-karya inovatif dari anak-anak yang bisa dijadikan media untuk melakukan edukasi anti korupsi. Indonesia juga memiliki banyak game programmer yang bisa dirangkul untuk bersama-sama menciptakan game.
Selain game, cara lain yang bisa ditempuh adalah melalui karikatur. Anak-anak di kategori ini sudah bisa menerjemahkan gambar hingga jenis karikatur sekalipun. KPK bisa membuat video interaktif untuk anak-anak di Youtube, misalnya video karikatur yang dikemas dalam cerita dongeng kemudian diupload di Youtube. KPK bisa menggandeng komunitas karikatur untuk bersama-sama mengkonsepkan karikatur yang bisa diberikan ke anak-anak. Agar bisa dijangkau oleh para orang tua, KPK perlu melakukan promosi melalui internet dan media sosial terutama komunitas-komunitas orang tua dan anak serta pemerhati anak. Tujuannya agar informasi ini bisa tersebar dan orang tua tertarik untuk menggunakan media edukasi tersebut ke anak-anaknya.
Kategori kedua adalah remaja. Remaja disini didefinisikan dari umur 11- 35 tahun alias pengguna aktif media sosial. KPK yang telah memiliki media sosial seperti Facebook, Twiter tidak harus memulai dari awal lagi. KPK hanya perlu menjalin dan mengoptimalkan pertemanan dengan komunitas-komunitas, instansi, sekolah, ataupun komunitas-komunitas lainnya. KPK juga perlu mempromosikan akun resminya sehingga pengguna media sosial lainnya tertarik untuk mem-follow atau menjalin pertemanan dengan media sosial KPK. KPK tentu harus mempertimbangkan seberapa sering melakukan update status agar komunikasi dengan netizen tetap berlangsung. Harus dipastikan juga bahwa komunikasi yang terjadi bersifat dua arah. Artinya, ada kesempatan dimana followers bisa berpartisipasi dalam bentuk pertanyaan kemudian direspon oleh KPK ataupun sebaliknya. Hubungan dua arah ini bisa meningkatkan keterikatan (engagement) yang mengarah pada pesan atau nilai yang ingin disampaikan dimengerti dan dicerna dengan baik.
Konten merupakan poin yang krusial untuk menjadikan media sosial sebagai media edukasi yang efektif. Pengguna media sosial tidak hanya menggunakan media sosial sebagai kebutuhan informasi semata, tetapi telah memposisikannya sebagai sarana hiburan atau entertainment. Sudah selayaknya KPK menengahi kedua kebutuhan tersebut dengan menyajikan konten yang tidak hanya bersifat informatif tetapi juga mengedepankan unsur entertainment, sehingga terlahir konten yang bersifat “infotainment” yaitu informatif sekaligus menghibur.
Oleh karena itu, KPK perlu meramu, memilih, memilah serta menvisualisasikan konten yang akan diisi di media sosial Facebook dan Twitter. Konten yang disajikan tidak melulu harus teks atau hanya berupa berita (news) atau retweet berita dari situs berita. Diperlukan inovasi-inovasi dalam bentuk gaya bahasa dan cara penyajian. Konten juga harus dikemas dengan visual yang menarik. Kebanyakan orang secara alami lebih tertarik visual dari pada teks. Penggunaan konten visual menempatkan sebagai hal yang menarik untuk selalu dibaca dan dikunjungi. Bahkan teks yang divisualisasikan sedemikian rupa akan menarik banyak netizen untuk me-retweet atapun men-share konten tersebut. Terlebih konten yang bergambar akan lebih efektif bagi netizen yang tidak punya waktu atau malas membaca sebuah postingan. Berdasarkan data dari Quicksprout, tweet dengan link gambar bisa meningkatkan rata-rata engagement 200% lebih tinggi daripada teks[xii]. Munculnya Path, Instagram, Pinterest menjadi bukti bahwa netizen lebih tertarik dengan konten yang berbentuk gambar. Facebook dan Twitter pun sudah dilengkapi dengan fitur yang memudahkan penggunanya agar dapat melihat banyak konten gambar di timeline. Dengan demikian, mengemas dalam bentuk gambar seperti meme, karikatur, ataupun semi-teks (teks tapi divisualisasikan dalam bentuk gambar) perlu diterapkan oleh KPK.
Selain visualisasi konten, KPK juga harus melakukan inovasi-inovasi dari jenis konten yang akan diberikan. Konten yang diberikan di Facebook dan Twitter tidak selamanya harus memuat data dan informasi seputar kasus korupsi yang sedang marak ataupun hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KPK. Perlu penyajian konten yang dinamis untuk meghindari faktor kejenuhan dari para followers. KPK bisa mengadopsi cara penyajian konten dari akun media sosial lain. Ada beberapa akun media sosial yang mengemas konten tanpa disajikan secara tersurat dan tanpa mengindahkan nilai-nilai implisit yang akan disampaikan. Sebagai contoh akun Facebook Humans of New York. Akun ini terbilang rapi dalam mem-posting konten di akun media sosialnya dilengkapi dengan foto dan teks yang berbentuk percakapan pendek (short conversation). Penyajian konten seperti ini bisa diadopsi KPK, misalnya dengan memposting foto seorang bapak tua yang bekerja sebagai petugas kebersihan di ibu kota. Postingan tersebut kemudian dibuatkan narasi (narasi langsung atau tidak langsung) mengenai kisah hidup sang bapak, misalnya alasan memilih menjadi petugas kebersihan ataupun peristiwa-peristiwa yang pernah dialami oleh bapak yang bisa dipetik sebagai pembelajaran dan mengandung nilai-nilai anti korupsi. Postingan berikutnya akan ditampilkan sosok orang lain dan begitu seterusnya. Postingan seperti ini akan menumbuhkan empati dan kepedulian kepada pembaca sehingga nilai-nilai yang tertuang dalam cerita pada postingan tersebut bisa dijadikan panutan.
Selain Facebook dan Twitter, KPK juga perlu mengoptimalkan Youtube sebagai video sharing untuk menuangkan ide-ide edukasi. Saya teringat pada salah satu inovasi pendukung kandidat presiden yaitu “60 Detik buat Kamu yang Masih Bingung”. Bagi saya ini salah satu kampanye kreatif. KPK bisa menginisiasi video-video kreatif seperti ini untuk dikemas dan digunakan dalam mengedukasi dan mengkampanyekan anti korupsi. KPK bisa mengadakan lomba video di Youtube, misalnya dengan judul video “Saya Baru Tahu Ternyata itu Korupsi”. Masyarakat bisa mengupload video di Youtube sekreatif mungkin dengan judul tersebut dan durasi yang dibatasi, sebagai contoh maksimal 100 detik. Kemudian video tersebut di-share ke media sosial untuk kemudian ditentukan pemenang favorit dari jumlah likes, share dan viewers di Youtube. Tujuannya untuk menumbuhkan antusiasme netizen lain untuk men-share video tersebut ataupun turut serta berpatisipasi sebagai peserta. Ide edukasi ini sekaligus bisa memberikan pemahaman ke masyarakat bahwa disadari atau tidak korupsi tidak mesti hal besar dan berhubungan dengan uang. Hal-hal kecil yang selama ini mereka sadari bukan korupsi ternyata merupakan sebuah korupsi, sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam bertindak.
Media sosial blog dapat pula menjadi media pilihan untuk melakukan edukasi anti korupsi. Berbagai informasi dan cerita mengenai korupsi bisa disajikan dalam bentuk artikel, esai, cerita pendek (cerpen), atau tulisan ringan sehingga mudah dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Untuk meningkatkan kreatifitas blogger sekaligus mendongkrak semangat menulis, KPK harus memberikan stimulus seperti mengadakan lomba menulis di blog yang bertema tentang korupsi. Dengan demikian, akan terlahir tulisan-tulisan yang bisa menjadi advokasi kepada pembaca. Karena blog bisa terdeteksi oleh search engine, maka peluang besar tulisan-tulisan kreatif dan mendidik bisa tersebar dan dibaca oleh siapapun.
Dari sisi platform instant messaging, KPK perlu memanfaatkan keungggulan platform instant messaging seperti Line, Kakao Talk, dan WeChat. Daya tarik pengguna instant messaging adalah tersedianya sticker karakter. KPK bisa bekerjasama dengan penyedia platform instant messaging tersebut untuk membuat karakter-karater sticker yanglucu dan menarik serta sarat akan nilai edukasi yang disediakan secara gratis, sehingga pengguna bisa mengunduh di platform instant messaging masing-masing. Sticker juga bisa divariasikan dengan teks sehingga pengguna bisa memiliki banyak pilihan yang bisa digunakan untuk chatting bersama teman-temannya.
Kategori ketiga, dewasa. Kategori ini ditujukan untuk mereka yang berumur 35 tahun ke atas yang sebagian besar memiliki pandangan moderat terhadap internet, yaitu hanya menggunakan internet sesuai dengan kebutuhan mereka. Tidak semua di segmen ini aktif menggunakan ataupun memiliki media sosial, sehingga media untuk melakukan edukasi dan kampanye anti korupsi tidak sepenuhnya melalui media sosial. Mereka yang menggunakan internet dan media sosial akan dijangkau dengan langkah-langkah seperti yang dilakukan pada kategori remaja, sedangkan mereka yang tidak aktif menggunakan media sosial dan internet atau bahkan tidak menggunakan internet sama sekali akan ditempuh langkah-langkah khusus, misalnya melalui SMS blast.
Sejauh ini, KPK belum memanfaatkan SMS blast sebagai media edukasi dan kampanye anti korupsi. Padahal lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memanfaatkan SMS blast untuk mengajak masyarakat agar tidak golput pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2014-2019. Begitupula dengan Kemensos RI yang menggunakan SMS blast untuk menghimbau masyarakat agar berhati-hati terhadap segala jenis penipuan. Langkah ini harusnya perlu ditempuh KPK untuk menggunakan SMS blast sebagai media edukasi sekaligus kampanye anti korupsi. Terlebih SMS blast bisa menjangkau semua kalangan masyarakat yang memiliki handphone, baik smartphone maupun non-smartphone.
Selain SMS blast, email blast bisa sekaligus dimanfaatkan untuk melakukan edukasi dan kampanye anti korupsi. Karena pesan melalui email bisa menyertakan gambar, maka bisa dimanfaatkan dengan mengirimkan email blast beserta gambar yang akan menarik perhatian penerimanya untuk membuka dan membaca email blast tersebut. Artikel, opini, atapun tulisan lainnya yang disajikan bersifat persuasif dengan visualisasi yang menarik tentunya akan membuat konten email blast lebih “hidup”.
Yang perlu menjadi catatan agar penyampaian SMS blast dan email blast efektif adalah pertimbangan waktu (timing) dan frekuensi (frequency). Timing diartikan sebagai jam dan hari yang pas untuk mengirimkan SMS dan email blast. Timing bisa dipilih di jam dan hari dimana masyarakat sedang tidak dalam aktifitas dan rutinitas kerja atau jam-jam sibuk. Sebagai contoh untuk weekdays, jam pagi, jam makan siang dan malam hari bisa menjadi opsi untuk mengirimkan SMS dan email blast. Hal ini sejalan dengan survei lembaga TNS Insight bahwa di jam jam tersebut jumlah pengakses media sosial terbilang tinggi[xiii]. Di hari sabtu dan minggu (weekend) tentunya bisa juga dipertimbangkan untuk mengirimkan SMS blast dan email blast. Dari sisi frekuensi, SMS dan email blast tentunya tidak dikirim setiap hari. Ada dua frekuensi yang bisa menjadi pilihan KPK, yaitu rutin sebulan sekali atau musiman alias setiap ada momen yang pas. Misalnya jika ada kasus korupsi yang sedang menjadi highlight di masyarakat, maka ini menjadi momen yang pas untuk mengedukasi masyarakat melalui SMS dan email blast.
Dari segi konten, kategori dewasa tentunya agak berbeda dengan remaja. Dewasa sudah memiliki pengetahuan dan pandangan yang mumpuni terhadap sesuatu hal. Mereka tahu membedakan mana yang benar dan yang salah, mana yang perlu diperbaiki dan yang tidak perlu, mana yang beresiko dan yang biasa saja. Edukasi dan kampanye anti korupsi tidak berfokus pada penamanan nilai-nilai anti korupsi, melainkan konten dengan pendekatan hukum. Yang dimaksud pendekatan hukum disini adalah konten dari media sosial lebih diutamakan mengenai hukuman-hukuman koruptor. KPK perlu menjabarkan hukuman ketika seseorang melakukan tindakan pencucian uang, penyogokan, dan berbagai jenis korupsi lainnya. Hukuman tersebut juga perlu dipertegas dengan memaparkan jenis hukuman seperti pidana penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu penyitaan aset dan hukuman lainnya. Hal tersebut diharapkan bisa memberikan penekanan pada pola pikir bahwa pemerintah tidak main-main dalam memberantas koruptor. Akibatnya, muncul ketakutan untuk melakukan tindakan korupsi.
Terlepas dari tiga kategori di atas, website KPK tetap menjadi sumber informasi alternatf ketika seseorang mencari data atau informasi mengenai korupsi. Tampilan website KPK harus memiliki daya tarik tersendiri. Sejauh pengamatan saya tampilan website KPK belum dibuat responsif. Seharusnya KPK membuat tampilan website yang responsif dibanding statis. Alasannya tak lain karena mayoritas netizen mengakses internet melalui smartphone. Tampilan website jika tidak dikemas dengan responsif, maka tampilan pada layar smartphone akan mengikuti versi desktop atau personal computer (PC). Akibatnya, visualisasi yang mungkin dibuat menarik pada versi dekstop justru tidak bisa dinikmati sepenuhnya oleh netizen yang mengakses melalui smartphone. Pesan yang tadinya diharapkan sampai kepada netizen tidak tersalurkan dengan baik. Bahkan, netizen menjadi tidak tertarik untuk mengunjungi website tersebut melalu smartphone.
Lebih lanjut, KPK perlu membuat sebuah portal sebagai platform untuk mempropogandakan anti korupsi yang terpisah dari website resmi KPK. Portal ini dibuat terpisah agar visualisasi portal tersebut tidak terpaku pada gaya portal korporat. Portal tersebut bisa diberi nama domain yang provokatif misalnya Korupsi Musuh Bersama (www.korupsimusuhbersama.com), Aku Bukan Koruptor (www.akubukankoruptor.com), Bangsa Jujur (www.bangsajujur.com). Untuk menarik minat netizen, KPK perlu mengkampanyekan portaltersebut sebagai portal dukungan memberantas korupsi. Dengan mendaftar di portal berarti netizen telah turut serta dan berkomitmen memberantas korupsi. Untuk mendaftar, netizen cukup dengan meregistrasi nama lengkap, domisili dan alamat email. Database alamat email inilah yang secara terjadwal digunakan untuk mengirimkan email blast seputar pendidikan dan kampanye anti korupsi. Sentuhan inovasi juga perlu dikemas dalam portal tersebut. Pertama, portal ini bisa dijadikan ruang publik untuk berkreasi, misalnya disediakan frame dimana pengunjung bisa mengunggah foto mereka untuk digabungkan dengan frame yang sudah disediakan oleh KPK bertuliskan quote anti korupsi. Foto tersebut bisa digunakan oleh netizen sebagai profile picture di media sosial mereka. Kedua, tersedianya gambar-gambar yang menarik untuk netizen agar mereka tertarik untuk memposting danmen-share di media sosial. Ketiga, portal juga bisa dimanfaatkan sebagai ruang untuk netizen agar bisa mengunggah gambar-gambar hasil kreatifitas mereka, sehingga bisa dilihat oleh sesama netizen. Berbagai inovasi lainnya juga bisa dirancang sehingga menjadi daya tarik netizen untuk berkunjung dan bergabung di portal tersebut.
Banyaknya komunitas yang secara volunter terbentuk untuk memerangi korupsi perlu diberdayakan agar terus melakukan edukasi dan kampanye anti korupsi secara konsisten dan berkesinambungan. Komunitas-komunitas ini biasanya memiliki akses dan network ke forum-forum online lainnya yang secara tidak langsung akan membantu dalam penyebaran edukasi dan kampanye anti korupsi.
Beragamnya tingkah laku pengguna internet dan media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai parner untuk melakukan edukasi dan kampanye anti korupsi. Mereka yang sering melakukan advokasi dan berperan sebagai influencer buat followernya di media sosial bisa dibidik oleh KPK. Mereka ini memiliki kemampuan dalam menyampaikan ide atau gagasan kepada followernya, seperti Didi Nugrahadi, Budiono Darsono, Ndorokakung dan masih banyak lainnya. Mereka inilah bisa dijadikan parner KPK untuk melakukan advokasi di media sosial dengan gaya bahasa dan penyampaian masing-masing. Saya pikir KPK juga memiliki duta anti korupsi dari kalangan selebritis. Peran dari duta anti korupsi ini harus dimaksimalkan untuk melakukan edukasi dengan proaktif melalui internet dan media sosial, sehingga ranah broadband ini tidak sekedar hadir sebagai perwujudaan kemajuan zaman, tetapi menjadi sarana yang justru berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat.
***
Melakukan edukasi, sosialisasi dan kampanye anti korupsi melalui internet dan media sosial hanyalah sebagian dari upaya preventif. Edukasi ini tidaklah menjadi jaminan bahwa permasalahan korupsi akan lenyap seketika. Membumihanguskan korupsi tak ada cara instan, semua butuh proses. Paling tidak, edukasi melalui internet menjadi investasi ke anak-anak bangsa sebagai pemegang estafet pembagunan. Keseriusan penegak hukum dan aparat terkait tetaplah menjadi garda terdepan untuk membasmi wabah korupsi. Penegakan hukuman yang tegas dan tak pandang bulu harus tetap berdiri kokoh. Komitmen tidak sebatas digaungkan melalui layar TV melainkan termanifestasi melalui tindakan nyata.
Teknologi komunikasi yang kini bertransformasi menjadi kebutuhan primer sudah sepatutnya dijadikan sebagai momentum untuk menumbuhkan partisipasi dan kepedulian masyarakat.Melaluipenanaman nilai-nilai korupsi sejak dini diharapkan menjadi pondasi yang kokoh agar kelak anak-anak bangsa menjadi pemimpin yang memikirkan bangsa di atas kepentingan pribadi. Animo pegiat media sosial dari berbagai rentang umur dijadikan sebagai peluang untuk mengalirkan sinyal-sinyal edukasi sekaligus sebagai kekuatan untuk bersama-sama mereduksi perilaku koruptif yang dianggap lumrah. Peran orang tua dan lingkungan sekitar juga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan untuk menyokong optimalisasi peran internet dalam memerangi korupsi.
Menyadari bahwa pemberantasan korupsi tentunya bukan hanya tanggung jawab KPK semata, melainkan tanggung jawab setiap elemen bangsa di negeri ini. Peran serta dukungan masyarakat untuk memberantas korupsi menjadi andil yang sangat besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sinergi dari berbagai pihak dan elemen masyarakat akan menjadi energi besar untuk menggemuruhkan jiwa dan semangat anti korupsi. Tidak harus menjadi ketua KPK untuk menunjukkan komitmen memerangi korupsi. Menjadi masyarakat yang sadar pada tanggung jawab, menjujung tinggi integritas dan kejujuran, dan bersikap permisif serta saling menularkan semangat anti korupsi ke sesama adalah lebih dari cukup sebagai perwujudan komitmen dalam memberantas korupsi di tanah pertiwi.
[i] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/02/02/n0d50z-kasus-korupsi-2013-libatkan-1271-tersangka (diakses 20 September 2014)
[ii] http://www.transparency.org/cpi2013/results (diakses 20 September 2014)
[iii] http://nasional.kompas.com/read/2013/12/10/0716207/Polri.Harus.Hapus.Citra.Lembaga.Terkorup (diakses 20 September 2014)
[iv] http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/02/14/n0zbwv-kemendagri-318-kepala-daerah-tersangkut-korupsi (diakses 20 September 2014)
[v] http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/512467-pengguna-ponsel-di-indonesia-lampaui-jumlah-penduduk (diakses 20 September 2014)
[vi] http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/03/0500006/kampanye.di.media.sosial.dan.tv (diakses 25 September 2014)
[vii] http://www.the-marketeers.com/archives/Indonesia%20Internet%20Users.html (diakses 25 September 2014)
[viii] http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/03/0500006/kampanye.di.media.sosial.dan.tv (diakses 25 September 2014)
[ix] http://www.merdeka.com/teknologi/pengguna-line-di-indonesia-duduki-peringkat-2-terbanyak-di-dunia.html (diakses 26 September 2014)
[x]http://tekno.liputan6.com/read/2016369/pengguna-kakaotalk-di-tanah-air-capai-16-juta (diakses 26 September 2014)