Lihat ke Halaman Asli

Cikgu Aceh di Borneo (Suka Duka di Peradaban Suku Dayak)

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

OKTOBER lalu aku tiba Pontianak. Aku bersama 101 peserta SM-3T (Sarjana Mengajar Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) lainnya ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Di sini, kami akan menetap selama satu tahun. Mengabdi di sekolah pedalaman dan menjadi bagian dari masyarakat yang belum pernah kami kenal sebelumnya.

Ada banyak temanku yang menangis membayangkan tempat penempatan. Jauh dari listrik, tidak punya jaringan komunikasi, dan hal-hal  lain yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Kami merasa seperti terlempar jauh dari peradaban. Bagaimanapun risiko seperti itu sudah kami pikirkan jauh-jauh hari sebelum diberangkatkan. Kami akan ambil tanggung jawab tersebut.

Aku dan temanku, Rahimin, ditugaskan di SMPN 4 Satu Atap Entikong, Dusun Serangkang, Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

“Ini,” kata Pak Suharna, Kepala Sekolah SMPN 4 Satu Atap Entikong. “Tempat yang cukup menantang.”

Dia mungkin sedang memaparkan sejenis isolasi. Di dusun tersebut, sinyal komunikasi hampir tidak ada. Listrik belum tersedia. Hanya beberapa warga yang mampu membeli genset untuk sekadar menerangi rumah mereka pada malam hari. Selebihnya hanya pelita.

Pak Suharna merupakan perantau dari Yogyakarta. Dia telah menetap di Kalimantan Barat sejak 1997. Bercita-cita mengajar di sekolah favorit, guru penuh prestasi ini harus merantau ke Kalimantan Barat menjadi pegawai negeri mengikuti keinginan orang tua. Pernah menjadi guru di SMPN 1 Entikong selama beberapa tahun. Pada 2008 dia dipindahkan ke SMPN 4 Satu Atap Entikong.

Untuk memenuhi daya tampung siswa sekolahnya, setiap tahun Pak Suharna ke kampung-kampung mencari murid yang ingin sekolah. Di sini, perjalanan mencari murid bukan perkara mudah. Kadang harus naik perahu motor di Sungai Sekayam serta berjalan kaki menanjaki perbukitan mencari murid yang ingin sekolah. Ini pekerjaan yang dilakukan setiap musim libur. Hingga kini telah dua angkatan lulus.

Pagi Sabtu, dari kediaman Pak Suharna, kami menempuh perjalanan pertama ke sekolah. Setelah 20 menit melewati jalan lintas perbatasan Indonesia-Malaysia, kami kemudian menanjak di satu persimpangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline