Lihat ke Halaman Asli

Pengaduan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suatu hal besar tertulis di Koran hari ini. Mendadak orang-orang mulai membicarakannya. Di warung kopi, kampus, halte, rumah sakit, dan taman-taman kota tiba-tiba meriah dengan namanya. Barangkali di surau-surau pun tak luput membicarakan perkara yang sama. Tak banyak yang mengenal sosok pemuda itu. Setelah diberitakan hari ini, namanya kini sudah terekam dan mungkin akan terus menjadi ingatan bagi setiap orang. Dia mengadu pada semua orang. Pengaduan yang dilakukan dengan caranya sendiri. Tak peduli bagaimana selanjutnya orang menilai tentang perkara yang terjadi padanya. Dia hanya ingin mengadu.

Thalib mati gantung diri. Demikian tulis Koran dengan judul yang besar. Mula-mula orang-orang kerap bertanya-tanya siapa gerangan si Thalib yang telah mati itu. Namun, setelah membaca Koran dan melihat sendiri bekas pengaduan si Thalib, maka bisa dirasa bahwa ia benar-benar ingin mati dengan caranya sendiri.

Beberapa hari yang lalu, kota penuh dengan coretan Thalib. Di mana ada dinding terlihat kosong, pasti akan dtimpali dengan tulisannya yang tidak begitu rapi. Dia mengadu. Berusaha untuk menemukan keadilan yang telah pergi darinya. Pertama kali orang melihat coretan itu, pasti akan terpikir bahwa Thalib seorang gila yang jahat karena telah mengotori kota ini. Tapi, bacalah tulisan itu. Pasti banyak pula kemudian yang akan bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Thalib.

Thalib adalah seorang pemuda kampung yang malang. Hari itu, istrinya sedang sekarat akan segera melahirkan. Dia panik dan gusar saat membawa istrinya ke bidan di puskesmas yang terletak tak jauh dari rumah. Namun, hari itu bidan melihat kondisi istri Thalib dalam keadaan kurang memungkinkan untuk ditangani di puskesmas. Bidan kemudian merujuk istria Thalib itu ke rumah sakit umum di kota. Dalam perjalanan, Thalib merasa tak tenang sedikitpun. Wajahnya lesu melihat istrinya yang menahan rasa sakit. Jarak kota dengan tempat tinggal mereka juga sangat jauh. Thalib berusaha membuat istrinya tetap tenang agar rasa sakit itu perlahan hilang. Semua dia lakukan untuk keselamatan istrinya. Ia begitu semangat karena sebentar lagi akan menjadi ayah. Istrinya akan melahirkan anak pertama mereka.

Setiba di rumah sakit di kota, perawat yang melihat keadaan istri Thalib yang sudah lemas seperti itu langsung membawanya ke ruang UGD.

Tiga jam berselang, istri Thalib di pindah ke ruang persalinan. Thalib mulai tenang karena melihat kondisi istrinya yang semakin membaik. Sudah lebih lima jam Thalib menunggu dalam kecemasan. Dia tak bisa menemani istrinya. Dokter melarangnya masuk. Kata dokter, pasien dalam keadaan tidak baik. Ini kali pertama dia bersalin. Maka butuh suasana yang bagus untuk menanganinya. Thalib memang berusaha untuk masuk karena sangat ingin melihat proses lahir anak pertamanya. Tapi, dia tak punya kuasa. Thalib pasrah dan menyerakan semua itu pada Tuhan. Dia berharap dokter melakukan yang terbaik untuk kelurganya. Dalam doa dan renung, Thaib masih menunggu. Cemas.

Sejenak semua menjadi diam dan hening sekali. Dua belas jam sudah berlalu. Tak ada suara tangis bayi yang terdengar dari dalam. Tak ada lagi jerit sakit istrinya yang sedari tadi menghiasi lorong persalinan itu. Semua menjadi sepi. Thalib makin cemas. Dia berusaha mendekati pintu masuk kamar bersalin itu. Dokter juga tak keluar-keluar. Thalib mengetuk pintu. Dia menunggu satu tangis yang diimpikannya sedari dulu. Thalib sudah mempersiapkan azan yang bagus untuk anaknya.

Tiba-tiba dokter keluar dengan wajah lesu. Menunduk. Thalib tercengang. “Istri Anda mengalami pendarahan yang habat. Anda terlambat membawa istri Anda kemari. Maaf, kami berusaha menolongya. Tapi, Tuhan berkata lain.” Ucap dokter dengan suara lesu. Thalib berontak. Dia menjadi beringas dan memaki-maki seluruh orang-orang. Tak ada keluarga yang datang hari itu. Dia menerobos masuk dan melihat istrinya terbaring lesu. Mata tertutup rapat. Tak ada bayi di sampingnya. Yang terlihat hanya pisau-pisau bedah berdarah dan baskom besi berisi air yang sudah merah. Kata dokter istri Thalib tidak bisa melahirkan secara normal. Maka mereka putuskan untuk melakukan operasi. Tapi, celakanya operasi itu gagal. Anak dan istri Thalib tidak bisa diselamatkan.

Thalib yang merasa dicurangi oleh dokter itu berontak. Dia mengambil pisau bedah dan mengancam untuk membunuh siapapun. Semua orang berlarian menyelamatkan diri dari kejaran Thalib. Beberapa satpam pengaman berusaha menangkap Thalib. Tak kuasa dengan kejadian itu, Thalib berusaha mencari keadilan atas perkara ini. Dia bergegas ke kantor polisi untuk mengadu. Surat pengaduan sudah dia serahkan. Awalnya, sepertinya semua akan berjalan lancar. Namun, ternyata tidak. Sudah seminggu lebih tak ada kepastian tentang kasus ini. Thalib keburu menyangka bahwa istrianya memang dibunuh.

Thalib seorang malang yang lemah. Dia tak kuasa mengadu pada siapapun lagi. Tak lama setelah itu, Thalib melalakukan caranya sendiri. Seluruh dinding kota ia timpali dengan coretan. Thalib mengadu pada semua orang. Ia berharap keadilan. Pada dinding itu Thalib menuliskan bahwa istrinya dibunuh orang berbaju putih.

Malam itu, Thalib kembali ke rumah sakit dengan seikat tali dan cat merah di tangannya. Dia menulis kata pembunuh di seluruh dinding rumah sakit. Tak ada satpam yang melihat Thalib bekerja. Orang-orang yang sepintas lewat juga tidak menengur apa yang dikerjakan Thalib. Setelah selesai menuliskan kata-kata itu. Dia mengambil tali. Diikatnya tali itu pada satu pohon mangga di depan rumah sakit. Ia memutuskan mati. Menggantung diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline