Lihat ke Halaman Asli

Ritual Sunyi

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam itu adalah kali terakhir aku menemuinya. Dia kelihatan lelah dan kotor sekali. Dia ayahku. Bersembunyi dari sesuatu yang tak pernah kunjung kuketahui. Seingatku, dia selalu diburu oleh orang-orang yang begitu benci melihatnya.

Ayah sering menghabiskan waktunya dalam kamar kecil di bagian belakang rumah. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya punya tiga kamar dan sebuah dapur sekaligus tempat makan bila sedang berkumpul. Bila hujan lebat, aku akan kerepotan membersihkan lantai. Basah dan becek sekali. Kadang terkesan seperti kubangan kerbau. Lucu dan jorok. Lantainya sama sekali tidak ada alas. Kami hanya punya tanah untuk dipijak. Kami hanya punya beberapa susunan papan untuk berlindung dari tiupan angin. Juga atap rumah ini terbuat dari susunan daun rumbia tua. Ayah yang mengerjakan semua itu.

Aku tinggal bersama Ayah. Ibu sudah tiada. Ya, bagiku, ibu sudah lama meninggal. Dia pergi meninggalkan aku dan ayah. Entah sudah mati atau masih hidup, aku sendiri tidak tahu karena dia tidak menjelaskankan apapun saat dia pergi. Barangkali ia tak patut memberitahukan padaku kemana dia akan pergi. Biarkan dia menemukan sesuatu yang baik baginya. Aku bahagia dia tidak di sini.

Waktu itu, kulihat ibu berusaha menahan tangis sembari menatap wajah ayah. Aku pikir, ibu memang tak bisa menangis. Hanya menatap ayah. Ayah juga aneh. Dia tidak beranjak sama sekali dari tempat duduknya. Hanya diam dan memandang wajah ibu. Lalu, tak lama sesudahnya ibu pergi begitu saja. Aku tak didekatinya sama sekali. Apalagi berharap untuk dicium atau dipeluk. Itu mustahil.

Ibuku tak seperti kebanyakan perempuan lain. Dia sama sekali tidak menyukai anak-anak. Apalagi gadis sepertiku ini. Kecil dan kumal. Kadang selalu merepotkannya. Apalagi ketika ayah dan ibu bertengkar hebat. Pasti aku akan jadi sasarannya. Melucutku dengan rotan. Memakiku dengan segala perkataan yang paling jelek. Hina sekali.

Pernah satu ketika ia memukuliku dengan keras sekali. Dia memukulku dengan sebilah batang kedondong. Aku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Aku merasakan sakit yang hebat. Seluruh tubuhku bengkak. Rasa yang sakit itu tak hilang selama tiga hari. Anehnya, aku benar-benar tidak bisa menangis sama sekali. Seperti ibu yang kadang sering menangis bila dimarahi ayah. Sedang aku, tak bisa mengeluarkan air mata. Aku merasakan sesuatu yang perih di bagian mata ini. Sakit. Tapi tak pernah bisa berair.

Agar dikasihani ibu, aku hanya bisa berteriak kesakitan. Berharap ibu segera pergi dan tak memukuliku lagi. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tapi, untuk apakah itu semua? Petir dan hujan yang turun saat itu menelan raungan sakitku. Tak ada yang mendengar. Apalagi menolongku. Memang, hari itu aku yang salah. Aku berusaha mengintip apa yang dikerjakan ayah dalam kamar kecil. Ibu melihatku dari dapur. Tiba-tiba aku ditariknya kebelakang. Dipukuli dan dicaci. Ah, buat apa aku harus mengingat tentang perempuan itu.

Ayah pernah bercerita padaku, tentang ibu. Dia sebenarnya menikahi ibu hanya untuk melengkapai suatu rahasia yang bisa membuatnya kaya pada suatu saat nanti. Tapi, ternyata salah. Sampai dia melahirkan aku, hingga bisa bertahan hidup seperti ini, ayah tidak menjadi orang kaya. Ayah hanya lelaki yang kini diburu dan ketakutan. Tapi, dia selalu berjanji padaku untuk terus berusaha agar cepat kaya. Dia mengucapkan janji itu, sambil tertawa. Hanya kekayaan yang ada di dalam benaknya. Aku tak sekolah, tak ada kawan bermain, dan tak pernah tahu apa yang dia kerjakan. Sama sekali bukan masalah baginya.

***

Sore itu aku putuskan untuk mengikuti ayah. Kubuntuti dia dari belakang. Ayah terlihat dengan kain sarung di pinggulnya. Pacul dan parang di tangannya. Dia bergegas pergi ke hutan. Menuju kampung seberang. Agak jauh dari tempat kami. Kira-kira setengah harti perjalanan. Sepertinya ayah tidak tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang. Dia berjalan biasa saja. Menghembuskan asap rokok di sepanjang jalan. Melihat ke arah kiri dan kanan. Sesekali meludah. Sesekali dia memotong batang kecil yang dengan parangnya.

Aku terus mengikutinya. Aku begitu lelah. Tiba-tiba terasa sangat dingin. Awan gelap mulai membahana. Gerimis kecilpun turut menemani perjalananku mengikuti ayah. Aku berjalan menelusuri jalan batu yang gelap. Mengikuti jejak ayah yang mulai samar di mataku. Baru kali ini aku berjalan sejauh ini. Lelah sekali. Ayah berhenti. Membakar obor. Melihat ke belakang. Sepertinya dia mulai merasa ada yang mengikutinya. Dia melanjutkan perjalanannya. Aku terus membuntutinya. Dari kejauhan dalam semak yang gelap. Tak bercahaya sedikitpun. Gerimis kecil pula. Kedinginan dan menggigil. Celaka sekali tak ada bulan malam ini. Sementara jalan pulang pun aku sudah  tak ingat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline