Lihat ke Halaman Asli

Mengganti Kuah Pliek dengan Ayam Penyet!

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Minggu malam di kota Banda Aceh. Lampu remang-remang kota telah kalah oleh halu laju kendaraan yang sudah mencapai titik terpadat malam ini. Ya, saat ini pukul 21.34 WIB kulihat di jam tangaku.  Dari jalan, aku melihat puluhan rumah makan siap saji yang begitu megah dan indahnya. Rumah makan itu tersusun rapi dan sangat ramai dikunjungi warga Banda Aceh dan sekitarnya.

Dengan lahapnya mereka menyantap makanan yang telah dihidang di atas meja mereka itu. Namun, tahukah bahwa mereka sedang melupakan rasa makanan khas Aceh. Bayangkan saja, setelah tsunami yang menghantam beberapa kawasan pantai Aceh dengan gelombang pasang yang maha dahsyat itu telah membuat gaya hidup warga Aceh mulai berubah. Ditambah dengan kehadiran beberapa warga Negara asing yang datang baik sebagai juru selamat ataupun turis yang ingin menikmati indahnya kota Banda Aceh.

Kehadiran tamu-tamu asing, baik dalam negeri maupun luar negeri, itu rupanya berdampak tidak bagus juga untuk orang Aceh sendiri. Orang-orang itu ada juga yang membuka lahan ekonomi di Aceh. Semisal, membuka rumah makan yang kiranya tak pernah disantap dulu oleh orang Aceh. Karena merasa itu baru, jadinya orang Aceh merasa sangat terkesan dan ingin terus menjadi pelanggan.

Aku terus mengamati beberapa toko dan lapak jualan makanan ringan yang berjejer di seputaran jalan protokoler Banda Aceh ini. Tidak kudapati lagi orang yang menjual ranup (sirih), pulut bakar, pisang sale, kuah pliek u, apam, cene dan lainnya yang dulu sangat terkenal di Aceh.

Kini, rumah-rumah makan yang ada banyak menyediakan Ayam penyet, sop buntut, kikil, kaki ayam, soto jawa, satee padang, KFC, Pizza Hut, ayam bakar khas daerah tertentu (jelas dipampang nama kampung si penjual di pamphlet nama kedainya itu).

Suatu ketika, aku terlibat diskusi dengan kawanku di sebuah warung kopi yang sering kami kunjungi. Dia mengatakan alasan kenapa orang Indonesia suka makan sop buntut, kikil, dan kaki ayam. Dulu, ketika Indonesia di jajah Belanda, orang-orang (tentara dan warga) Belanda yang berada di Indonesia mengkosumsi daging sapi dan ayam sebagai makanan pilihan yang sering di makan. Namun, mereka tidak suka dengan buntut, kikil dan kaki ayam sedang si pesuruh (budak) selalu di kasih sisa makanan mereka. Sehingga, pada suatu ketika, tukang masak mencoba merajik daging-daging di buntut yang dibuang (tidak disukai) oleh si Belanda itu menjadi masakan. Lambat laun, karena tidak ada makanan lain, budak-budak itu menyukai makanan aneh itu. Meskipun sarat dengan gizi (kata salah satu dokter yang pernah ia tanyakan) tapi, tetap saja itu tidak baik.

Begitulah kira-kira yang kualami hari ini. Ah, apalagi yang akan terjadi beberapa tahun ke depan? Apakah kuah pliek dan asam keueng akan punah? Seperti halnya bahasa Aceh yang kini asing di telinga warga kota Banda Aceh!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline