Ketika kita meyakini sesuatu yang tidak memiliki landasan teori atau pijakan yang kuat tetapi kita menganutnya secara mendalam, itulah fanatisme. Pandangan dan keyakinan yang sudah terlanjur mendalam akan sulit diluruskan atau diubah jika itu sudah tertanam kuat dalam diri, meski dengan argumentasi yang rasional sekalipun. Kefanatikan seseorang membuatnya tidak dapat memahami apapun diluar dirinya sendiri atau kelompoknya. karena tidak dapat memahami pemikiran selain yang mereka yakini. Tidak bisa menganalisa benar atau salah dan memahami ciri-ciri individual lainnya yang berada diluar kelompoknya. Apalagi untuk memahami permasalahan yang dihadapi oleh orang atau kelompok lain.
Nah, celakanya fanatisme ini bisa merasuk di ranah apa saja, dari ras, agama, golongan/kelompok bahkan nasionalisme. Fanatisme dalam hal apapun akan melahirkan tindakan intoleransi. Laiknya orang yang sedang jatuh cinta, mereka yang fanatik terhadap suatu hal bisa dipastikan kehilangan logika, mau diperingatkan dengan cara apapun pasti tidak akan terima (tidak obyektif) bila itu menyangkut hal yang mereka sukai/cintai secara berlebih (fanatik).
Efek dari tidak terima itu muncullah tindakan pembelaan dan ini akan dilakukan secara total dan mati-matian. Sama kan, ketika kita jatuh cinta juga begitu, saya jadi teringat orang tua saya dulu suka nyeleneh bilang ke saya "buat orang yang lagi jatuh cinta, taik kucing rasa coklat" (maaf ya kalau tidak sopan) ini hanya sebuah analogi untuk menggambarkan bahwa orang jatuh cinta itu kehilangan kewarasan. Itulah sebenarnya pengorbanan terbesar ketika orang sedang jatuh cinta, bukan harta atau tahta! Nah sikap berlebihan dalam membela apa yang dicintai inilah menyebabkan mereka para pecinta, tidak bisa menoleransi hal apapun mengenai apa yang mereka cinta (intoleransi).
Pun hal itu terjadi di ranah agama, ranah privasi yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi tapi bisa mencuat ke permukaan karena mereka yang sedang gandrung pasti akan merefleksikannya dalam tindakan nyata sebagai bukti kegandrungannya. Rasa cinta yang begitu besar menjelma menjadi keyakinan yang terlalu kuat terhadap doktrin agama dan berusaha mempertahankannya dengan cara-cara ekstrem sampai melebihi batas kewajaran. Fanatisme agama akan mengantarkan seseorang pada sikap ekslusifisme.
Sikap tersebut dengan sendirinya akan membentuk polarisasi yang mana seorang penganut agama yang fanatik akan memiliki pandangan negatif terhadap agama dan penganut agama yang tidak sama dengan apa yang diyakininya. Pada saat polarisasi menjadi semakin melebar, setiap penganut agama mengklaim dirinya sebagai pihak yang 'benar', sehingga mengidentifikasi semua yang tidak berada di lingkaran yang sama menjadi 'salah', dianggap sebagai 'musuh' bahkan 'setan. Dari situlah terbentuk istilah radikalisme.
Cara beragama seperti itu dapat menimbulkan perseteruan hingga konflik yang serius. Sikap beragama seperti ini dalam Bahasa Arab dikenal dengan ghulluw (melampaui batas), tasyaddud (keras), atau tatharruf (menyimpang). Sikap ini harus dihindari bagi para penganut agama karena akan menghambat pengembangan toleransi beragama, yang mana sangat dibutuhkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Ancaman intoleransi dan ekstremisme faktanya dapat terjadi di kelompok agama manapun tidak pandang kelompok agama mayoritas ataupun kelompok agama minoritas. Namun kelompok agama mayoritas memang menyumbang kemungkinan lebih besar karena jumlahnya yang banyak dan ego sebagai mayoritas lebih tinggi. Tapi kenyataannya ancaman intoleransi juga muncul dari kelompok agama minoritas. Kita temui kenyataan bahwa tidak sedikit oknum dari kelompok agama minoritas secara terang-terangan mengolok-mengolok dan melontarkan ujaran kebencian kepada kelompok agama mayoritas yang terekam di media sosial.
Pada akhirnya, sikap tidak memandang diri sebagai mayoritas ataupun minoritas merupakan kebesaran hati yang patut diacungi jempol. Kita harus menempatkan diri di tengah-tengah sebagai anak bangsa dengan satu identitas yaitu Indonesia. Kita harus menanggalkan segala jati diri yang berbau etnis, agama, ras dan antar golongan menjadi jati diri Pancasila. Setidaknya itu yang dapat kita lakukan untuk masa depan bangsa. Keindonesiaan kita harus lebih kuat dari semua yang bersifat kelompok atau golongan saja. Wahai pecinta, jaga kewarasan, jangan korbankan untuk cinta buta fanatisme
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H