Keberagaman di Indonesia merupakan berkah tersendiri, menjadi khasanah kekayaan budaya sekaligus pilar utama kekuatan bangsa. Memang, butuh dijaga keberlanjutannya apa yang menjadi pilar utama dan keunggulan bangsa ini. Lantas, bagaimana kita harus merawatnya? Yakni dengan merawat empat pilar kerukunan.
Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan bingkai politis yang menjadi aturan ketetapan negara. Implementasi bingkai politis ini harus merata seluruh Indonesia, oleh karena itu, pembangunan sebagai mandat dari UUD 1945 pun harus merata jangan sampai ada yang merasa terabaikan karena pembangunannya tertinggal. Bingkai politis ini harus dijaga, jangan hanya di tataran politisnya saja namun implementasinya nihil. Begitupun semua hal yang diamanatkan dalam UUD 1945 harus merata dan menyeluruh.
Dalam hidup bersama diantara keberagaman tentu saja membutuhkan aturan agar hidup berdampingan dapat harmonis, inilah fungsi bingkai kedua yaitu bingkai yuridis. Aturan-aturan yang dibuat untuk kepentingan masyarakat harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia dalam upaya merajut kebhinekaannya.
Kearifan lokal (local wisdom), bingkai ketiga ini merupakan ciri khas keindonesiaan yang dapat kita temukan di berbagai daerah. Setiap daerah memiliki nilai-nilai tradisional yang mampu merawat kerukunan dan membangun persaudaraan. Uniknya masyarakat di berbagai daerah ini sangat menghormati kearifan lokal dan mereka mempercayainya sebagai suatu hal yang keramat. Oleh karena itu kearifan lokal ini banyak sekali menyelesaikan persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara politis maupun yuridis.
Sebagai negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, agama memiliki tempat khusus di masyarakat Indonesia, ia sangat dekat di hati dan keseharian masyarakat Indonesia. Bingkai keempat ini menjadi faktor kunci dalam membina kerukunan masyarakat. Setiap agama yang ada di Indonesia dalam menyampaikan harus menggunakan narasi kerukunan, tidak boleh membawa narasi konflik.
Apabila agama menggunakan narasi konflik, maka akan konflik, begitupun sebaliknya, bila yang dibawa narasi damai, maka akan damai. Tidak ada larangan berdakwah bagi agama apapun, namun yang tidak boleh adalah memaksakan kehendak atau ajaran agamanya. Implementasi bingkai teologis dalam kehidupan sehari-hari terus dikawal dengan baik. Saling menghargai merupakan hal utama yang dapat dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama.
Peranan negara dalam memfasilitasi kerukunan melalui peraturan perundang-undangan dan pembangunan harus adil dan merata, semua masyarakat harus sama dimata hukum, tidak boleh pilih kasih atau tebang pilih jika si kaya atau si miskin berhadapan dengan hukum. Selain agama, ketidakadilan merupakan akar permasalahan yang menciptakan gap di masyarakat, belum lagi diperuncing dengan ketimpangan ekonomi dan segala permasalahannya.
Negara yang diwakili oleh para tokoh eksekutif dan yudikatif harus benar-benar memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Selagi tidak ketemu antara kebijakan dan kebutuhan masyarakat, maka potensi konflik selalu dapat dipantik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H