Sebagai sebuah bangsa yang berazaskan Ketuhanan, bangsa ini tentu membutuhkan sinergitas peranan ulama-umara karena setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai agama. Perpaduan pemikiran dalam satu ikatan yang kuat antara ulama-umara akan menjadi tonggak terkuat untuk membangun suatu bangsa.
Pemikiran ulama dapat menjadi dasar berpijak dalam merumuskan program untuk kemaslahatan umat. Jika tidak ada kehadiran ulama maka pembangunan akan pincang dikarenakan kebutuhan manusia meliputi pengetahuan dan kesenangan duniawi juga ukhrawi. Begitupun jika peranan negara (umara) jauh dari ulama, tidak akan ada jaminan untuk dapat merawat keberlangsungan nilai agama secara aman dan damai. Oleh karena itu untuk mencapai negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur membutuhkan relasi ulama-umara.
Dalam sejarah, agama tidak bisa dilepaskan dari politik (negara). Agama membutuhkan Negara untuk memperluas syiarnya dan memperkuat posisinya, sedangkan Negara membutuhkan agama untuk menjadi pilar etis dalam menjalankan roda pemerintahan secara benar dan bermartabat, karena itu agama seringkali muncul bersinergi dengan Politik.
Namun sayangnya ada kelompok yang menyoroti dan melabeli ulama atau tokoh agama yang terlalu dekat dengan penguasa adalah ulama su'. Ulama yang sudah terjebak dalam perangkap demokrasi. Padahal, memang sejatinya ulama-umara itu ibarat sayap kanan-kiri pada seekor burung atau tangan kanan-kiri pada manusia, yakni saling membutuhkan dan saling menguatkan. Oleh karena itu, perlu kita cermati bahwa label ulama su' tersebut tidak lain adalah untuk mendelegitimasi peran ulama moderat dan sekaligus sebagai ajang untuk mempromosikan tokoh agama kalangan kelompok mereka yang eksklusif dan sektarian.
Harus kita sadari hubungan yang kental antara ulama-umara harus terus dipupuk dengan baik dalam membangun bangsa ini agar tidak terombang-ambing oleh arus zaman yang semakin tidak menentu. Dalam mengatasi situasi negara yang panas misalnya, ulama harus angkat bicara guna mendamaikan suasana, bukan malah tambah memperkeruh suasana. Pihak penguasa juga tentunya harus mendengar serta menjalankan arahan para ulama yang netral yang mengutamakan kemaslahatan seluruh masyarakat, tidak hanya golongannya saja.
Oleh karenanya kita harus bekali diri bagaimana menyikapi atau merespon ulama. Jika merujuk pada sumber-sumber Muslim, khususnya dalam terminologi bahasa Arab, ulama adalah orang yang berilmu (Alim) atau orang yang memiliki pengetahuan di bidang tertentu. Tidak berhenti di situ, di samping berilmu, seorang ulama juga harus memiliki akhlak yang mulia dan cenderung selalu mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
Dari situ kita bisa ambil garis besarnya bahwa kita tidak perlu patuh pada ulama yang mengatasnamakan agama untuk melakukan tindak kekerasan, yang dakwahnya mengajak orang-orang untuk mengikuti apa yang ia yakini secara paksa, yang menjelekkan pihak lain karena tidak sepemikiran dengannya, dan egois yaitu ulama yang mengoyak tenun kebangsaan, lebih mengedepankan keinginan/hasratnya menegakkan khilafah meski Pancasila sebagai dasar negara republik ini selaras dengan intisari ajaran Islam.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berserah pada Zat Yang Maha Kuasa, semoga para ulama-umara senantiasa diberikan keselamatan kesuksesan dijauhkan dari bahaya kefasikan dan mengarahkannya pada kebaikan, tetap istiqamah berkhidmat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, aamiin Allahumma aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H