Ramadan telah berlalu. Selama satu bulan, seluruh umat muslim dipaksa untuk bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan memperbanyak berbuat baik. Kebiasaan mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan amarah, dan mengendalikan kebencian, harus terus dijalankan dalam keseharian. Jika kita berhasil menjalankan di bulan Ramadan, semestinya juga tetap bisa menjalankan setelah melewati bulan Ramadan.
Beberapa waktu lalu, seluruh umat muslim juga merayakan hari raya idul fitri. Hari yang paling ditunggu setelah Ramadan. Kenapa? Karena pada hari itu tidak hanya didahului peristiwa mudik yang hanya ada di Indonesia, tapi juga juga ditandai peristiwa saling meminta maaf dan memaafkan. Saling memaafkan pada dasarnya merupakan budaya kita. Lalu, kenapa dalam prakteknya masih banyak orang yang sudah meminta maaf dan memberikan maaf? Mari kita introspeksi.
Kenapa ada diantara kita yang sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahannya? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya propaganda radikalisme. Propaganda yang dikemas dalam bentuk provokasi dan ujaran kebencian itu, terus disebarkan melalui kecanggihan teknologi. Media sosial banyak dipenuhi provokasi dan ujaran kebencian, yang bisa memancing amarah publik. Hal ini sengaja dilakukan, agar toleransi yang selama ini sudah terjalin menjadi terganggu. Dan ketika toleransi terganggu, yang terjadi hanyalah amarah.
Kita adalah bangsa yang cinta damai. Sejarah mengajarkan bahwa para pendahulu kita bukanlah generasi pemarah. Sebaliknya, pendahulu kita adalah generasi yang ramah. Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, masyarakat ketika itu sudah memeluk agama. Namun dengan hadirnya wali songo, tidak lantas membuat masyarakat marah. Yang terjadi justru masyarakat menerima kedatangan wali songo yang menyebarkan agama Islam.
Jika saat ini masih ada seseorang atau kelompok yang aktif menebar kebencian dan provokasi, serta masih mempersoalkan perbedaan dan keberagaman, lebih baik dihentikan. Karena hal tersebut jelas tidak relevan dengan karakter kita sebagai warga negara Indonesia. Dan Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, yang sangat membutuhkan pertolongan orang lain. Karena itulah, perlu interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya, apapun latar belakangnya.
Dan dalam interaksi antar sesama, tidak boleh dikendalikan oleh amarah ataupun kebencian. Dalam berinteraksi, harus bisa saling menghargai dan menghormati. Karena kita semua pada dasarnya adalah sama. Meski Islam tumbuh menjadi agama mayoritas di Indonesia, bukan berarti masyarakat yang beragama Islam bisa semena-mena terhadap yang non Islam. Ingat, setiap agama tidak ada satupun yang mengajarkan ketidakbaikan. Karena itulah, mari tinggalkan segala bentuk bibit negative yang ada dalam diri kita, termasuk amarah dan kebencian. Karena keduanya bisa mendekatkan kita pada intoleransi, radikalisme, bahkan terorisme. Salam introspeksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H