Lihat ke Halaman Asli

Akmal Husaini

suka menjaga kebersihan

Moderasi Ruang Virtual Generasi Milenial Agar Tak Radikal

Diperbarui: 10 April 2021   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Milenial - jalandamai.org

Apa yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir harus bisa jadi pembelajaran buat kita semua. Aksi bom bunuh diri pasangan muda suami istri di Makasar, pada 28 Maret 2021, membuat kita yakin, bahwa anak mudah masih menjadi incaran jaringan terorisme. Terlebih, aksi penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret, 2021 yang dilakukan oleh perempuan muda, juga membuktikan bahwa kamu muda, generasi milenial sangat rawan sekali terpapar bibit radikalisme, intoleransi dan terorisme.

Pelaku penyerangan di Mabes Polri baru berusia 26 tahun. Perempuan pendiam ini terpapar bibit radikal dari dunia maya. Dalam postingan di media sosial miliknya, banyak ditemukan logo-logo ISIS di dalamnya. Tidak ada yang menyangka. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang sangat pendiam, bisa terpapar radikalisme dan berani melakukan tindakan nekat dengan menodongkan airgun di Mabes Polri.

Penyebaran bibit radikal di ruang virtual memang harus terus menjadi perhatian yang serius. Kenapa? Karena penyebarannya yang begitu massif, bisa berpotensi mempengaruhi generasi milenial, yang memang banyak menghabiskan waktunya di ruang virtual. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini, hampir semua aktifitas bisa dilakukan secara virtual. Tak heran jika generasi milenial sangat rentan untuk terpapar radikalisme. Bahkan berdasarkan survei badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT) 80 persen generasi muda kita masih sangat rentan terpapar karena cenderung tidak berpikir kritis.

Pola aksi terorisme memang terus berkembang. Dulu terroris banyak didominasi kaum tua, sekarang lebih banyak kaum muda. Dulu banyak melakukan pengeboman, sekarang justru meledakkan diri. Dulu dengan bom yang sangat dahsyat, sekarang tingkat kekuatannya tidak terlalu besar tapi masih tetap mematikan. Pelibatan diluar laki-laki juga patut kita garis bawahi. Sekarang ini mulai banyak keterlibatan perempuan bahkan anak-anak. Dulu banyak dilakukan secara kelompok, sekarang banyak dilakukan secara perseorangan.

Perubahan pola ini harus kita jadikan pembelajaran. Termasuk perubahan pola penyebaran bibit radikalisme melalui ruang-ruang virtual, sekarang ini begitu massif sekali. Banyak pengajian yang diselipkan konten radikal dilakukan secara virtual. Banyak tutorial perakitan, disebarkan secara virtual melalui grup-grup online. Artinya, banyak sekali ruang-ruang virtual yang dimanfaatkan jaringan ini untuk menyebarkan propaganda, merekrut anggota baru, bahkan mencari pendanaan.

Untuk itulah, perlunya pencegahan, perlu penguatan literasi, dan perlu pemahaman agaman dan kebangsaan yang benar, agar generasi milenial tidak berubah menjadi radikal. Jangan isi otak kita dengan bacaan-bacaan yang menyimpang. Jika menemukan indikasi menyimpang, tanyalah pada orang yang tepat, tanyalah pada orang yang benar-benar memahami sebagai upaya untuk cek ricek. Dan teruslah berpikir kritis agar tidak mudah percaya dengan setiap informasi yang berkembang. Generasi milenial harus menjadi generasi yang cerdas.

Jauhkan diri kita dari konten di ruang virtual yang tidak sejalan dengan ajaran agama, budaya, dan aturan hukum yang berlaku. Jika bom bunuh diri tidak dibenarkan dari sisi manapun, ya jangan dilakukan. Jika dicubit itu sakit, ya jangan mencubit. Sederhana. Jangan pula merasa paling benar, lalu dengan mudah menyatakan orang lain salah, bahkan sesat atau kafir. Kita semua adalah sama. Karena itulah mari kita saling menghargai perbedaan dan keragaman yang sudah melekat. Tidak perlu mempersoalkan perbedaan. Karena sejatinya Tuhan menciptakan manusia itu saling berbeda. Salam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline