Lihat ke Halaman Asli

Akmal Husaini

suka menjaga kebersihan

Etika dan Kebebasan Berpendapat di Dunia Maya

Diperbarui: 25 Februari 2021   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Damai Itu Indah - tribunnews.com

Budaya Indonesia dikenal dengan ramah tamahnya. Budaya Indonesia dikenal dengan sopan santun, dan penuh dengan kearifan lokal. Antar sesama bisa saling toleran, saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Untuk menyalip pun harus melalui sebelah kanan. Kalau bertemu selalu bertegur sapa atau melempar senyum. Kalau bersalah selalu meminta maaf. Dan masih banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Semuanya itu bagian dari etika. Ada etika dalam berperilaku, bertutur kata, ataupun yang lainnya.

Kebebasan perpendapat juga merupakan bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Bahkan negara pun menjamin warga negaranya bebas mengutarakan pendapatnya di ruang publik. Hal itu terjadi seiring dengan masuknya era reformasi, setelah 32 tahun hidup dalam kekangan orde baru. Namun kebebasan berpendapat itu tentu juga harus ada etikanya. Harus ada sopan santunnya. Tidak boleh berpendapat 'ngasal' tanpa diserta data dan fakta yang jelas.

Etika dan kebebasan berpendapat ini harus berjalan beriringan. Baik itu dalam kehidupan nyata ataupun kehidupan maya. Karena seperti kita tahu bersama, ujaran kebencian dan provokasi yang begitu massif di media sosial, membuat banyak orang terprovokasi dan terpancing. Akibatnya, antar sesama bisa saling caci, bisa saling hujat, bahkan bisa memprovokasi orang lain untuk melakukan tindakan intoleran. Ironisnya, perbuatan negative itu terkadang dipengaruhi oleh informasi bohong yang belum tentu benar.

Banyak orang merasa benar sendiri, sampai akhirnya tidak mempedulikan lagi asal muasalnya. Banyak orang terbakar amarah, sampai lupa bahwa kita pada dasarnya adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Kita adalah orang Indonesia, yang pada dasarnya dikenal karena mempunyai etika yang baik. Sejarah sudah membuktikan hal itu semua. Sayangnya, hanya karena merasa paling benar dan menganggap orang lain sebagai pihak yang salah, karena tidak bisa mengendalikan emosinya, seseorang bisa menyebarkan provokasi dan kebencian membabi buta.

Terkadang manusia itu suka semaunya, dan suka tidak terkontrol. Karena itulah muncullah aturan yang berfungsi untuk mengontrol itu semua. Dalam konteks kebebasan berpendapat di dunia maya, Indonesia mempunyai UU ITE. Semangat UU ini untuk mengatur agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan di dunia maya. Karena kita tahu, semua orang bisa bebas berpendapat dan berekspresi di dunia maya. Tidak ada rambu-rambu yang mengatur. Sepanjang kita punya smartphone, ada kuota, melakukan hal-hal apa saja bisa di media sosial.

Namun dalam implementasinya, banyak interpretasi yang bermacam dalam memaknai UU ITE. Akhirnya banyak orang saling lapor karena merasa ada unsur pencemaran nama baik. Tap bagi yang dianggap pencemar, mengklaim ini bagian dari kebebasan berpendapat. Polemik inilah yang kemudian mewarnai dibalik wacana adanya revisi terhadap UU ITE, yang dianggap ada pasar karet yang multi tafsir. Mari kita percayakan para ahli hukum, yang memang memahami untuk memikirkan hal tersebut. Sebagai masyarakat biasa, kita juga harus bisa melakukan introspeksi, agar tidak lagi memunculkan postingan yang mengandung kebencian atau provokasi. Ingat, kita adalah masyarakat Indonesia yang mempunyai nilai-nilai penuh etika. Salam toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline