Lihat ke Halaman Asli

Akmal Husaini

suka menjaga kebersihan

Menjaga Naluri Kritis Tanpa Harus Menebar Kebencian

Diperbarui: 20 Februari 2021   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setop Ujaran Kebencian - suara.com

Semua orang tentu sepakat, bahwa kondisi sekarang ini jauh berbeda dengan era orde baru. Semua orang tentu sepakat bahwa kebebasan berekspresi, berpendapat dan berargumentasi saat ini, jauh lebih baik dibandingkan era-era sebelumnya.

Dan pada dasarnya, setiap manusia pasti mempunyai sifat kritis. Tinggal kekritisannya itu bisa muncul dalam waktu dan tempat yang tepat atau tidak. Karena kritis yang tidak terkontrol, tidak akan memberikan dampak yang membangun, tapi justru memberikan dampak yang menghancurkan.

Budaya kritis memang harus dibangun. Ibarat saling mengingatkan, kritik harus bisa menjadi bagian dari hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Namun kritik juga harus didasarkan pada fakta dan data. Hal ini penting agar sikap kritis kita tidak kosong, tidak asal bunyi, atau benar-benar ada isinya.

Karena tidak sedikit juga kritik yang muncul dari sikap kritis yang tinggi, namun tidak disertai dengan fakta dan data. Kritis tidak bisa diimbangi dengan opini yang sifatnya subyektif. Kenapa? Karena subyektifitas bisa berpotensi melahirkan kritik yang tidak obyektif.

Yang lebih parah lagi, jika subyektifitas dalam melontarkan kritik ini juga dibumbui dengan sentimen kebencian. Bisa berpotensi melahirkan konflik di tengah masyarakat, terlebih kebencian tersebut mengandung nuansa SARA. Banyak kejadian terkait hal ini yang muncul di sekitar kita, tidak hanya di dunia maya tapi juga terjadi di dunia nyata.

Berawal dari sebuah postingan yang bernada kebencian, antar sesama bisa saling berseteru hingga berujung pada penetapan tersangka. Ironisnya, hingga saat ini masih saja ada pihak-pihak yang menebar hoaks dan kebencian.

Ketika memasuki tahun politik, kritik mengkritik ini seperti jamur di musim hujan. Setiap detik ada saja postingan-postingan yang berisi kritik kepada elit politik tertentu, incumbent dan sebagainya. Bahkan ada juga yang melakukan black campaign.

Tanpa disadari, praktik menebar kebencian ini menjadi kebiasaan yang bagi sebagian orang sulit dihilangkan. Ketika suasana menjadi gaduh, tidak hanya antar sesama yang saling berseteru, kelompok intoleran dan radikal pun terkadang suku muncul dan memanfaatkan kondisi ini untuk memperkeruh suasana.

Yang bahaya adalah ketika kritis tanpa diimbangi dengan logika. Kecerdasan menjadi hilang karena tertutup dengan kebencian. Akhirnya yang benar terlihat salah, dan sebaliknya. Pada titik inilah kita semua, seluruh elemen masyarakat harus bisa melakukan introspeksi.

Betul pemerintah perlu dikritik sebagai bentuk evaluasi, tapi kritik juga harus dilakukan secara santun. Ketika kritik sudah muncul, pemerintah atau pemimpin juga harus mau menjadi pendengar, agar kritik ini bisa jadi bahan evaluasi.

Kritik tanpa logika, data dan fakta, hanya akan memicu permusuhan-permusuhan baru. Untuk itulah penguatan literasi perlu dilakukan oleh semua pihak, agar kita semua menjadi pribadi yang melek literasi. Para buzzer juga harus mulai introspeksi. Jangan lagi menebar provokasi demi rupiah, tapi bisa membuat antar sesama saling bertikai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline