Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Dan dalam keseharian seorang muslim, tentu tidak bisa dilepaskan dari aktifitas dakwah. Karena seorang muslim masih perlu sebuah tuntunan dari para ulama, kyai, habaib dan tokoh agama untuk bisa memahami agama secara baik dan benar. Dan tentu saja dakwah yang benar, sangat diharapkan. Bagaimana dakwah yang baik dan benar itu dilakukan? Tentu jawabannya sangat relatif.
Dalam perkembangannya, banyak sekali pola-pola dakwah yang dilakukan oleh para ulama, kyai, habaib dan tokoh agama. Ada yang dilakukan dengan cara santun, tapi ada juga yang sebaliknya. Ada yang dengan cara jenaka, tapi ada juga dengan cara yang penuh ketegangan. Ada yang penuh makna, tapi ada juga yang menebar kebencian. Gaya dakwah yang beraneka tersebut juga mempunyai banyak pengikut. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bahkan ada yang bicara ayat suci, tapi pada saat yang sama menebar provokasi.
Berbicara tentang gaya dakwah yang menyenangkan, tentu kita tidak bisa lepas dari Gus Dur. Dakwahnya selalu menyenangkan dan penuh makna. Salah satu yang terkenal dari Gus Dur adalah Syir Tanpo Waton. Dalam gubahan syair tersebut disebutkan..."...Akeh kang apal Qur'an Haditse, Seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale...". Artinya, banyak orang yang hafal Al-Quran dan Al Haditz, tapi suka mengkafirkan orang lain. Sedangkan kafirnya dia sendiri tidak pernah diperhatikan, karena masih kotor hati dan akalnya.
Makna syiir tanpa waton banyak yang bisa kita jadikan pembelajaran. Jangan pernah selalu mencari kesalahan orang lain, sementara kita tidak pernah melihat diri kita sendiri. Ternyata diri kita juga penuh dengan kesalahan. Banyak orang yang merasa paling benar pemahaman agamanya, karena keturunan Nabi. Banyak orang yang merasa paling benar agamanya, karena telah berpakaian gamis dan lain sebagainya.
Mari kita lihat bagaimana kyai kampung yang sangat sederhana ketika berdakwah. Cara pakaiannya pun juga sangat sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya, mengandung nilai-nilai yang tidak ada tandingannya. Dibalik dakwaknya yang kadang bercanda, tapi terkandung makna yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah yang dicontohkan Gus Dur tersebut. Gaya dakwah ala nusantara ini secara tidak langsung juga diajarkan oleh para Wali Songo ketika menyebarkan Islam ke tanah Jawa.
Menjadi tugas kita bersama, untuk tetap mempertahankan gaya dakwah santun, humor tapi tetap penuh makna. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, dialog dengan hati tenang, kepala dingin, perlu dilakukan oleh semua orang. Dakwah harus saling menguatkan, bukan saling melemahkan. Dakwah harus saling mencerdaskan, bukan saling menebar kekhawatiran. Karena tak dipungkiri, di era seperti sekarang ini masih saja ada pihak-pihak yang melakukan dakwah dengan cara-cara provokatif dan menebar kebencian.
Akibatnya, tidak sedikit dari masyarakat yang korban karena minimnya literasi. Kita butuh tokoh-tokoh yang bisa meneduhkan hati, memberikan inspirasi, dan bisa memberi kekuatan baru di tengah pandemi ini. Jika ada tokoh yang masih menebar provokasi, tak perlu didengar. Dengarlah dakwah-dakwah yang bisa memberikan manfaat untuk kebaikan. Karena agama apapun, pada dasarnya menawarkan kebaikan. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H