Belakangan ini aksi unjuk rasa kembali marak terjadi. Unjuk rasa yang terjadi seringkali berakhir rusuh. Mobil dibakar, fasilitas publik di bakar, dan seolah semuanya itu legal dilakukan.
Semuanya itu dipicu oleh pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang dianggap tidak berpihak. Apalagi pemberitaan di media mainstream dan media sosial, seringkali membingungkan masyarakat. Mana yang benar, mana yang valid, dan mana yang bisa dijadikan acuan. Karena tingkat literasi masyarakat masih rendah, tidak sedikit masyarakat yang terprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis.
Apa yang diberitakan di media sosial ada yang benar, tapi tidak sedikit yang dibelokkan isunya. Belakangan pemerintah membantah adanya informasi yang tidak benar. Pemerintah mengklaim undang-undang ini untuk kepentingan semua pihak. Namun, pembelokan isu sudah terlanjur terjadi. Meski ada mekanisme hukum yang berlaku, yaitu melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi, nyatanya akibat pembelokan isu dan provokasi ini terlanjur memicu tindakan anarkis. Lalu, siapa yang diuntungkan?
Pemerintah memunculkan ada 'dalang' yang menggerakkan aksi unjuk rasa tersebut. Pihak yang berunjuk rasa membantahnya. Terlepas mana yang benar, kenyataannya ada aksi pembakaran. Belum lagi mobilisasi tersebut dilakukan di tengah pandemi, yang bisa memicu terjadinya klaster baru. Dan terbukti, setelah melakukan unjuk rasa ada yang reaktif dan positif setelah dilakukan swab test. Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Dan siapa yang diuntungkan?
Mari kita renungkan kembali. Kita semua tahu bagaimana perilaku anggota dewan. Namun, mari kita saling mengendalikan emosi. Jangan pelihara amarah yang membabi buta. Karena amarah ini bisa memicu terjadinya perilaku intoleran.
Dalam kondisi amarah tersebut, kelompok radikal bisa saja menyusup dan melakukan tindakan radikal, seperti aksi peledakan. Semuanya tersebut bisa saja terjadi, dan pernah terjadi. Mari kita belajar dari pilkada DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Mari kita belajar dari konflik Poso, mari kita belajar dari konflik Papua. Tidak ada gunanya memelihara amarah, yang bersumber dari provokasi.
Mari kita cari solusi secara santun. Jika ada perbedaan pendapat, ada upaya yang lebih baik dari pada melampiaskan dengan cara membakar fasilitas umum. Unjuk rasa boleh, karena hal itu diatur undang-undang. Namun unjuk rasa harus sesuai dengan substansinya.
Jika undang-undang itu dianggap bermasalah, kritiklah yang bermasalah. Jangan kemudian berbelok menjadi aksi anarkis. Sekali lagi, aksi anarkis hanya merugikan kita sendiri. Apalagi, kondisi sekarang ini masih dalam kondisi susah. Pandemi covid-19 telah memberikan dampak negatif bagi perekonomian.
Saatnya kita fokus pada substansi. Jika kita tidak bergandengan tangan di masa sulit ini, akan semakin terpuruk perekonomian. Dan yang susah, lagi-lagi kita sendiri. Negara telah berusaha, tapi hingga saat ini angka kasus positif masih terus bertambah. Saatnya disiplin menerapkan protokol kesehatan, agar kasus positif tidak bertambah.
Mari terus kritik DPR, pemerintah dan para pemangku kebijakan jika dinilai salah. Tapi ingat, kritiklah substansinya dan jangan mudah terprovokasi dengan informasi yang menyesatkan di dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H