Lihat ke Halaman Asli

Akmal Husaini

suka menjaga kebersihan

Belajar Saling Pengertian dan Tanpa Pamrih dari Sejarah Bangsa

Diperbarui: 8 Agustus 2020   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita Indonesia - jalandamai.org

Agustus menjadi bulan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setiap 17 Agustus negara ini memperingati hari kemerdekaan. Banyak yang menganggap biasa hari tersebut. Namun tidak sedikit yang menjadikan hari tersebut sebagai hari untuk introspeksi, merenungkan perjuangan para pendahulu yang telah berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah.

Apa yang bisa kita jadikan pembelajaran? Salah satunya ad.alah rasa saling mengerti dan menghargai antar sesama. Karena rasa inilah persatuan dan kesatuan diantara masyarakat bisa terpupuk.

Seperti kita tahu, di era itu penjajah seringkali menggunakan politik adu domba untuk memecah belah masyarakat. Dan terbukti, tidak sedikit masyarakat yang terprovokasi, saling tidak mempercayai, saling menghasut, bahkan dalam tingkat yang ekstrim saling bunuh.

Melalui pengertian dan menghargai antar sesama, bisa memunculkan kekompakan dan rasa kebersamaan. Bersama-sama hidup dalam penderitaan. Bersama harus keluar dari penjajahan. Kebersamaan itulah yang kemudian melahirkan kekuatan kolektif, untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Padahal, jika belajar dari literasi sejarah, ketika itu ada perbedaan pandangan antara golongan muda yang dipimpin Sutan Sjahrir dan golongan tua yang dipimpin Soekarno -- Hatta. Hal ini bisa kita lihat dari peristiwa Rengasdengklok.

Namun perbedaan-perbedaan tersebut nyatanya bisa ditoleransi. Kedua golongan tersebut bisa saling mengerti dan menghargai. Alhasil kesepakatan pun bisa tercapai dan teks proklamasi bisa diselesaikan dan kemerdekaan pun dapat diproklamasikan. Peristiwa itulah yang kemudian kita peringati setiap tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan.

Tidak cukup sampai disitu, perbedaan juga sempat terjadi antara Panitia Sembilan dan PPKI ketika pembahasan sila pertama Pancasila. Demi mengedepankan kepentingan bersama, kalimat 'Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya' diganti dengan kalimat 'Ketuhanan Yang Maha Esa.'

Pertimbangannya adalah masyarakat In donesia tidak hanya memeluk agama Islam, tapi juga ada Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam perjalanannya kemudian Konghucu juga diakui sebagai agama yang dipeluk masyarakat.

Hal diatas merupakan bentuk sikap saling mengerti dan menghargai, yang harus kita contoh dan teladani di era milenial ini. Banyak hal yang bisa kita jadikan pembelajaran dari sejarah perjuangan bangsa ini. Dari tokoh-tokohnya dan dari adat istiadat masyarakatnya bisa kita jadikan pembelajaran bersama.

Karena itulah mari kita saling mengerti dan memahami antar sesama. Jangan pamrih untuk kepentingan bangsa. Apa yang dilakukan para pendahulu adalah bentuk tanpa pamrih yang manfaatnya bisa kita rasakan saat ini. Apa yang kita lakukan saat ini mungkin akan bisa dirasakan oleh generasi berikutnya. Salam, sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline