Dunia mungkin patut gembira ketika ISIS dinyatakan kalah seratus persen. Namun dunia juga patut khawatir, karena ideology kekerasan yang ditanamkan ISIS ke seluruh anggotanya, masih ada dan berpotensi terus menyebar melalui kecanggihan teknologi dan media sosial.
Ketika pasukan ISIS terus dibombardir pasukan koalisi, pemimpinnya sempat memberikan perintah agar anggotanya untuk kembali ke negaranya masing-masing dan menguasai media sosial.
Tak heran jika ketika itu ISIS seringkali menyebar video kekerasan di internet. Dan kini, bibit kekerasan itu terus menyebar dan menjelma ke segenap perilaku masyarakat.
Sadar atau tidak, sebagian masyarakat kita saat ini justru aktif menyebarkan dan menyuburkan bibit radikalisme. Maraknya perilaku intoleran di masyarakat, entah itu dalam bentuk persekusi ataupun perilaku tidak manusiawi merupakan indikasi.
Ketika isu perbedaan agama selalu menjadi persoalan, padahal Indonesia adalah negara yang mengakui banyak agama, tentu menjadi bibit radikalisme.
Ketika ujaran kebencian seakan menjadi kebiasaan baru, tentu juga berpontensi menumbuhkan bibit radikalisme. Karena dasar dari radikalisme adalah intoleransi. Ketika dalam diri kita masih memelihara bibit intoleransi, maka bibit radikalisme itu berpotensi bisa muncul dengan wujud yang berbeda.
Seperti kita tahu, pemerintah Indonesia sempat menyatakan ada sekitar ratusan WNI yang bergabung dengan ISIS dan bersiap pulang ke Indonesia. Lalu, ketika mereka akan kembali bagaimana dengan sikap kita?
Apakah mereka sudah pasti akan meninggalkan paham kekerasan pasca runtuhnya ISIS? Menjadi tugas kita bersama untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Menjadi tugas Densus 88 dan aparat keamanan, jika memang menemukan ada indikasi mereka melakukan tindakan teror. Tapi menjadi tugas kita bersama, untuk terus menebar pesan damai.
Ideologi Pancasila terbukti telah mampu menyatukan keanekaragaman suku, budaya, agama dan bahasa dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.