Mengenai KPR inden dalam Peraturan BI tercantum SE BI No. 15/40/DKMP Huruf F nomor 2 berbunyi “Bank hanya dapat memberikan fasilitas KPP atau KPPiB jika properti yang dijadikan agunan telah tersedia secara utuh, yaitu telah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan.”Artinya, pengembang baru bisa mendapatkan dana dari pembeli setelah properti yang dibangunnya rampung source properti.bisnis.com. Berdasarkan peraturan tersebut KPR inden dapat cair apabila bangunan yang diajukan tersebut telah selesai dibangun. Disamping itu pemberian KPR inden juga wajib menyertakan jaminan dari pengembang senilai KPR yang diberikan. Jadi apabila nilai KPR pada satu proyek seharga Rp 10 miliar, maka nilai yang di jaminankannya juga harus sejumlah itu. Jaminan ini dapat berupa bank garansi, LC, ataupun deposito.source Housingestate.
Pengendalian kredit properti melalui penjaminan dari pengembang ini dahulu pernah dilakukan oleh Bank Indonesia, yang disebut corporate guarantee atau jaminan setor tunai. Namun, ketika aturan seperti ini dikeluarkan, bank-bank yang ada bersepakat untuk tidak memberlakukannya sebab dari pihak developer akan keberatan. Oleh karena itulah bank-bank pemberi kredit saat ini masih bisa tetap berjalan. Saat ini Bank Indonesia peraturannya lebih ketat lagi yakni bank-nya bisa didenda jika tidak memberlakukan peraturan yang telah ditebitkan ini, karena itulah pihak perbankan lainnya kuatir takut tidak bisa jualan.
Selain itu , untuk mengimbangi aturan ketat KPR inden maka pihak BI mengeluarkan Kebijakan penyempurnaan aturan uang muka atau loan to deposit ratio (LTV) yang salah satu nya untuk properti karena BI tau sektor properti penting.makanya ltv diturunin. Kebijakan baru pelonggaran LTV yang diterapkan BI bertujuan mendorong kembali pertumbuhan kredit yang melambat dengan kebijakan LTV terbaru dari BI, diharapkan bisnis properti akan semakin menguat dan mampu mencapai seluruh kalangan namun hal ada bisa saja berakibat tyang dikhawatirkan akan meningkatkan kredit macet (Non Performing Loans/NPL). Pasalnya, masyarakat akan diberikan kemudahan dengan cara relaksasi DP rumah pertama dan sedikit relaksasi pada rumah kedua dan ketiga.
Dari permasalahan di atas maka surat edaran aturan BI KPR untuk inden itu bukanlah tanpa sebab karena bank juga banyak di rugikan oleh pihak pengembang yang nakal,seperti di ketahui karana bahwa Bank tidak ada urusannya dengan developer, artinya bank tidak punya kuasa memaksa developer untuk memenuhi kewajibannya. Memang harus diakui, bank juga lalai ketika berurusan dengan developer yang nakal , Walaupun tanggung jawab KPR tetap melekat di konsumen tapi jangan khawatir, karena KPR itu dijamin oleh Hak Tanggungan (HT )atas rumah yang belum kebangun ,selanjutnya yang menjadi pertanyaan pokok permasalahan apakah bermasalah, jika dibikin macet aja terus nanti bank yang akan "mengeksekusek" rumah ?, Tapi logikanya gimana bisa dieksekusi orang rumahnya aja belum jadi, tapi perlu di liat juga apakah sertifikatnya juga belum jadi itu bakal jadi masalah bagi pihak bank . pihak pembeli tidak mau lagi ngelanjutin kpr itu maka masalah pun gak akan beres atau, Kalo orang bank telepon dan memang bener develepoer itu bermasalah bilang aja eksekusi aja rumah saya pak, nanti kan paling sesudah eksekusi saya hapus buku utang di bank. Kalo jawaban kayak gitu bakal pusing orang banknya. Resiko paling jelek, kolektibilas adalah di BI jadi 5, kredit macet, yang artinya tidak bisa utang lagi secara resmi dan kalo buat kartu kredit pasti ditolak, . Tapi itu bukan segalanya, kalo udah hapus buku dan hapus tagih dateng ke bank minta itu diputihkan.Perlu diingat, lebih baik menempuh pengeksekusian jaminan aja kalo opsi itu dipilih, karena resiko buat konsumen kecil, paling disuruh dateng ke PN. tidak keluar duit apapun ,jadi jelas yang di rugikan dalam hal ini adalah konsumen dan pihak bank.
Hal yang perlu di perhatikan juga untuk menghadapi developer seperti itu bagi pihak pembeli adalah bukan hanya janji secara lisan seperti rumah akan segera dibangun setelah proses pensertifikatan selesai karena sebagai konsumen tidak akan tau dibelakangnya bakal masalah,Permasalahan lainya biasanya di sebabkan juga antara konsumen dan pengembang (develpoer) di Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu tidak mempunyai kekuatan Hukum yang diatur kapan paling lambat rumah akan dibangun setelah DP dilunasi.yang seharusnya di perjanjian jual beli (PPJB) dimana sekitar bulan quartal pertama dengan tujuan mengikat harga di PPJB yang diatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dan juga developer yang mengenai jangka waktu atau penyelesaian pembangunan rumah tentunya merujuk pada hubungan hukum antara pembeli dengan pengembang (delevoper). Hal ini biasanya diatur dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”).
Apabila pihak developer cedera janji (wanprestasi) yang di atur di dalam PPJB tersebut maka bisa melakukan upaya hukum Lalu upaya hukum yg dapat di lakukan adalah melakukan SOMASI ATAU TEGURAN HUKUM (lihat pasal 1238 KUHPerdata) dengan dasar wanprestasi/ingkar janji.
Hal ini sesuai pendapat R Subekti yaitu bentuk wanprestasi ada 4 macam :
1.Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2.Melaksanakan apa yg dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya
3.Melakukan apa yg dijanjikan tetapi terlambat