Lihat ke Halaman Asli

Reorientasi Ilmu Pengetahuan, Upaya Menyeimbangkan Posisi Teori Barat dan Pemikiran Cendekiawan Muslim di Ranah Akademis

Diperbarui: 8 November 2024   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pin.it/6nFDu9yu6

Selama beberapa dekade, dominasi ilmu pengetahuan di ranah akademis dikuasai oleh pendekatan dan teori yang berasal dari tradisi Barat. Hal ini tercermin dalam kurikulum pendidikan tinggi yang banyak berfokus pada teori-teori yang dikembangkan di dunia Barat, seperti positivisme, empirisisme, dan epistemologi rasional. Akibatnya, pemikiran cendekiawan Muslim sering kali terpinggirkan dan kurang mendapat tempat di ruang diskursus akademis. Sebagaimana dipaparkan oleh Al-Attas dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam (1995), pendekatan ini tidak hanya mengurangi ruang lingkup pandangan dunia dalam kurikulum, tetapi juga menciptakan ketimpangan epistemik yang memperlebar jurang antara teori Barat dan perspektif Islam.

Menurut Ziauddin Sardar dalam Postmodernism and the Other (1998), ketidakseimbangan ini bukanlah fenomena kebetulan, melainkan hasil dari berbagai faktor historis, seperti warisan kolonialisme dan hegemoni budaya Barat yang terus berlanjut hingga hari ini. Di banyak negara bekas jajahan, sistem pendidikan yang berorientasi Barat diwarisi sebagai "standar global," tanpa memerhatikan kebutuhan budaya dan tradisi lokal yang berbeda. Misalnya, negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara umumnya mengadopsi sistem pendidikan Barat yang berfokus pada pendekatan sekuler dan teknologis, mengabaikan nilai-nilai lokal serta konsep-konsep spiritual dalam ilmu pengetahuan. Ketergantungan ini memperkuat dominasi teori Barat dan memperlemah keberagaman perspektif dalam dunia akademis global.

Dalam epistemologi Barat, prinsip-prinsip empirisme dan positivisme mendasari sebagian besar penelitian ilmiah, menekankan pentingnya data yang terukur dan dapat dibuktikan sebagai dasar validitas pengetahuan. Pendekatan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Descartes dalam Meditations on First Philosophy (1998), didukung oleh pemikiran filsuf-filsuf seperti Francis Bacon dan John Locke, yang menjadi pilar metode ilmiah modern yang mengutamakan objektivitas dan pengukuran. Namun, orientasi yang sangat materialistik ini sering kali mengabaikan dimensi spiritual dan nilai-nilai etika dalam memahami realitas, sehingga pengetahuan seolah-olah terisolasi dari makna yang lebih dalam tentang kehidupan.

Sebaliknya, dalam pemikiran Islam, sebagaimana diuraikan Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin (2002), pengetahuan tidak hanya bertujuan untuk menjelajahi alam semesta, tetapi juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperbaiki tatanan sosial. Dalam pandangan ini, ilmu adalah konsep yang holistik, mencakup keseimbangan antara akal dan iman, serta antara aspek material dan spiritual. Nasr (1981) dalam Knowledge and the Sacred menekankan bahwa pengetahuan menurut perspektif Islam adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih luas, yang mencakup aspek moral dan spiritual untuk mencapai tujuan yang mulia. Nilai-nilai ini, sayangnya, sering diabaikan di institusi akademis modern yang cenderung menekankan pada konsep-konsep sekuler, sementara nilai-nilai transendental jarang diintegrasikan ke dalam pendekatan ilmiah.

Pengabaian terhadap nilai-nilai dan perspektif lokal menciptakan ketergantungan intelektual yang semakin mengokohkan dominasi epistemologi Barat. Hussain (2004) dalam kajiannya tentang ilmu pengetahuan dan etika mencatat bahwa ketergantungan ini mengakibatkan kesenjangan besar dalam pendekatan dan metodologi yang ditawarkan oleh tradisi non-Barat. Hal ini tidak hanya membatasi perkembangan perspektif lokal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga menimbulkan ketidakseimbangan dalam cara kita memahami dan menafsirkan fenomena alam maupun sosial.

"Jika ilmu hanya dipandang sebagai penguasaan materi, maka manusia hanyalah alat bagi tujuannya sendiri, bukan penjaga kebenaran yang lebih tinggi." --- Seyyed Hossein Nasr.

Dalam konteks sejarah, kontribusi pemikir Muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun masih memiliki relevansi hingga saat ini. Sebagai contoh, Ibnu Sina atau Avicenna dengan karya-karyanya dalam bidang kedokteran dan filsafat menciptakan dasar-dasar medis yang penting dan berpengaruh bahkan hingga ke dunia Barat. Sementara itu, Ibnu Khaldun, yang terkenal dengan teorinya tentang siklus sejarah dan sosiologi, menawarkan sudut pandang unik yang berbeda dari filsafat sejarah Barat. Menurut Syed Farid Alatas dalam Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology (2014), pemikiran mereka tak hanya penting secara historis, tetapi juga memiliki nilai kontemporer yang dapat mengisi kekosongan perspektif dalam wacana ilmiah saat ini.

Seiring dengan meningkatnya isu-isu etis di era modern, di mana kemajuan teknologi sering kali membawa dampak sosial yang kompleks, pemikiran Islam yang berlandaskan etika dan spiritualitas menjadi lebih relevan. Pemikiran cendekiawan Muslim menawarkan cara pandang yang holistik terhadap ilmu, yang tidak hanya menekankan kemajuan teknologi, tetapi juga memberikan penekanan pada tanggung jawab moral dan kesejahteraan sosial. Perspektif ini, sebagaimana dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam memecahkan dilema etis yang muncul di era teknologi.

Untuk mengurangi ketimpangan epistemik, reorientasi kurikulum akademik merupakan langkah yang signifikan. Dengan memasukkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam kurikulum pendidikan, akademisi dapat menciptakan ruang untuk dialog yang lebih luas antara perspektif Barat dan Islam. Hussain (2004) dalam karyanya tentang pendidikan Islam menyarankan bahwa pendekatan multidisipliner yang menghubungkan ilmu Barat dan Islam dapat menciptakan pemahaman yang lebih inklusif dan koheren dalam bidang pendidikan.

Selain itu, kolaborasi akademik antara dunia Barat dan Muslim menjadi krusial, menekankan bahwa kerjasama ini dapat menghasilkan riset yang lebih komprehensif dan beragam, serta mendorong saling pengertian antar budaya. Memperkuat institusi akademis di negara-negara Muslim juga merupakan langkah penting untuk menjadi pusat referensi alternatif dalam wacana ilmu pengetahuan global. Hal ini tidak hanya membuka ruang bagi perspektif yang berbeda, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang ilmu pengetahuan sebagai konsep yang mencakup nilai material, moral, dan spiritual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline