Pengantar
Di dalam sebuah relasi manusia membutuhkan rasa saling mengerti antara satu dengan yang lainnya. Di dalam suatu perbuatan sering kali kita juga bingung apakah yang harus dilakukan dan mengapa kita melakukannya? Perbuatan manusia yang kurang pantas sering kali disebut tidak bermoral atau tidak memiliki etika.
Apakah yang disebut tidak beretika tersebut tergantung oleh siapa yang melakukannya? Atau tergantung budaya? Atau tergantung apa? Seorang filsuf bernama Max Scheler akan membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Di bagian selanjutnya akan dibahas mengenai riwayat hidup dari Max Scheler, pengaruh fenomenologi yang menjadi dasar Scheler dalam melihat adanya nilai di etika. Kemudian, tentu akan dibahas mengenai etika nilainya dan di bagian akhir ada penutup sekaligus tanggapan kritis dari penulis.[1]
Isi
Riwayat Hidup
Max Scheler lahir di Munchen, Jerman Selatan pada tahun 1874. Mayoritas penduduk daerah tersebut adalah Katolik. Ayah Scheler beragama Protestan, sementara ibunya orang Yahudi. Scheler masuk agama Katolik ketika berumur 15 tahun, tahun 1889. Akan tetapi, pada tahun 1898, karena konflik moral ia meninggalkan agama Katolik.
Hal tersebut, disebabkan karena ia mau menikah dengan wanita yang sebelumnya sudah pernah menikah namun telah bercerai. Pernikahan mereka tidak dapat disahkan oleh Gereja Katolik.
Namun demikian, pemikiran Scheler secara mendalam tetap dipengaruhi oleh Agama Katolik. Ketika menjabat sebagai dosen di Munchen, Scheler bercerai dengan istrinya dan digugat di pengadilan. Setelah bercerai dan ijin mengajar dicabut oleh universitas, ia pindah ke Berlin.