Tahun 2024, merupakan tahun politik di mana diadakan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif selama 5 tahun sekali pada awal tahun 2024. Setelah melaksanakan pemilihan presiden dan Pemilihan Legislatif pada tanggal 14 Februari 2024, Masyarakat Indonesia akan menghadapi konstestasi pemilihan kepala daerah secara serentak.
Pemilihan Kepala Daerah tahun ini diwarnai dengan adanya kotak kosong. Fenomena kotak kosong biasanya muncul dalam pemilihan umum maupun Pemilihan Kepala Daerah. Istilah "kotak kosong" mulai dikenal sejak Pilkada 2015. Fenomena kotak kosong ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan ada lebih dari satu paslon dalam Pilkada.
Berdasarkan data KPU, 37 wilayah memiliki satu pasangan calon atau calon tunggal dalam Pilkada 2024, terdiri dari 1 provinsi, 5 kota, dan 31 kabupaten. Artinya, para calon Tunggal akan bertanding dengan kotak kosong. Contoh kasus di mana kotak kosong menang melawan calon Tunggal pada pemilihan kepala daerah 2024 berada di Bangka, Kepulauan Belitung. Hasil secara resmi menyatakan, kotak kosong memperoleh 67.546 suara atau 57,25 persen, lebih unggul dari Mulkan-Ramadian yang hanya mengantongi 50.443 suara atau 42,75 persen. Lalu jika kita melihat kebelakang pada tahun 2018, Dunia perpolitikan Indonesia dihebohkan untuk pertama kali kemenangan kotak kosong pada pemilihan Wali Kota Makassar pada pertengahan tahun 2018 di mana Suara kotak kosong menangguhkan suara koalisi parpol.
Lantas mengapa polemik kotak kosong bisa terjadi ? Menurut hasil pengamatan saya, salah satu faktor dari kotak kosong ialah kemunduran demokrasi yang disebabkan partai politik hanya mementingkan kemenangan partai dibandingkan kepenting rakyat. Maksudnya adalah partai politik takut menerima konsekuensi kekalahan pada ajang pemilhan kepala daerah Contoh, calon walikota Surabaya Eri Cahyadi -- Armuji. Koalisi partai politik pengusung pasangan Eri cahyadi -- Armuji merupakan koalisi seluruh partai politik Indonesia yang gemuk. Sepertinya partai politik tidak memiliki niat untuk memajukan kadernya sebagai pesaing dari Eri Cahyadi -- Armuji.
Partai politik memiliki kalkulasi jika mereka memajukan kadernya sebagai pesaing dari pasangan Eri Cahyadi -- Armuji, maka kemungkinan besar peluang untuk menangnya sangat kecil. Maka dari itu, partai-partai politik lebih memilih untuk bergabung ke koalisi Eri Cahyadi -- Armuji untuk mencari kemenangan mutlak. Lalu, jika kita ulik lebih dalam biaya berpolitik sangatlah mahal. Contoh saja biaya kampanye, biaya logistik, biaya konsultan politik, dan sebagainya merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan. Partai -- partai politik pun mempertimbangkan hal tersebut jika peluang elektabilitas kadernya kecil. Maka, akan terjadi untung-rugi mengenai output yang dikeluarkan dan input hasil yang didapat.
Dengan mereka mencalonkan kadernya untuk maju sebagai pesaing dari paslon tandingan, setidaknya mereka telah menyelamatkan iklim demokrasi yang sehat. Meskipun, mereka akan kalah dari paslon lawan, setidaknya mereka masih memelihara sistem demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia tidak terjadi di Pilkada 2024. Tentu saja hal yang menjadi faktor lain terkait dengan kemunduran demokrasi di Indonesia adalah jumlah Masyarakat yang enggan menggunakan hak suaranya di Pilkada 2024 ini.
Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpercayaan Masyarakat terhadap pasangan calon yang dicalonkan oleh koalisi parpol atau secara independen tidak sesuai dengan kriteria dan kompetensi paslon yang dicalonkan dinilai kurang dalam mengurus suatu daerah. Sehingga Masyarakat daerah tersebut enggan menggunakan hak suaranya karena kualitas paslon yang jauh dari harapan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H