"Tujuan terbesar dari mendaki gunung bukanlah sampai ke puncak, tapi bagaimana agar bisa pulang dengan selamat."
*Anonim
Meski Wadizzuhur terletak di gunung, tapi para santri tetap punya hasrat yang kuat untuk mendaki gunung. Mereka tidak bosan dengan suasana pegunungan.
Ketika guru-guru menawarkan pada mereka untuk rihlah ke pantai atau wahana permainan, mereka kompak menolak. Mereka maunya mendaki gunung.
Dipilihlah mendaki ke danau Tanralili yang ketinggiannya "hanya" 1454 mdpl. Danau yang terletak di kaki gunung Bawakaraeng, tepatnya di desa Manimbahoi, Kec. Parigi, Gowa, Sulawesi Selatan.
Dengan alasan ketinggiannya yang tak begitu ekstrim bagi anak-anak, jalur pendakiannya yang ramai hingga tak perlu takut tersesat, ditambah rasa penasaran mereka yang ingin membuktikan keindahan danau Tanralili yang katanya memesona mata itu.
Segala sesuatu dipersiapkan. Dua minggu lamanya. Mulai dari persiapan fisik, mental, logistik, peralatan, biaya, hingga izin dari masing-masing orang tua yang harus menggunakan voice note sebagai bukti bahwa mereka mengizinkan.
Berikut ustadz Muhajir Muhsin, salah satu guru yang ikut mendaki menceritakan keseruan pendakian civitas Wadizzuhur ke Danau Tanralili dan Lembah Lohe.
Senin (29 Mei) saya bersama ustadz Rizky, beberapa pembina, dan 30 orang santri meninggalkan kampus Wadizzuhur menuju Malino. Perjalanan memakan waktu dua jam menggunakan mobil.
Kami tiba di Desa Lengkese, desa terakhir sebelum memasuki jalur pendakian jam dua siang. Kami memulai registrasi dan mengemas ulang logistik. Langkah pendakian pertama kami mulai pukul 15.30 siang. Jalur pendakian awalnya santai, tak begitu terjal, landai, membuat kami menikmati pendakian.
Namun, 10 menit perjalanan tibalah kami di jalur pendakian yang dikenal dengan nama "Tanjakan 1.000 Penyesalan". Tanjakan yang betul-betul hampir membuat kami mundur. Bagaimana tidak? Kemiringan gunung hingga 65-70 derajat, permukaan tanjakan yang berkerikil dan berbatu tajam, ditambah air hujan yang sempat turun membuat licin permukaan jalan.