Lihat ke Halaman Asli

Mudzakkir Abidin

Seorang guru yang suka menulis

Rumah Kebun Jagung

Diperbarui: 13 Juni 2022   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore tadi suasana langit agak mendung, tapi hujan nampak malas turun. Cuaca sangat mendukung buat saya berjalan-jalan di sekitar pesantren Wadizzuhur.

Saya mengajak Ziyad, anakku, Ihsan dan Rahmat yang keduanya merupakan anak Pak Jufri, tetangga pesantren menyusuri jalan yang permukaan tanahnya bergelombang, sebagian badan jalan mengandung lumpur becek bekas hujan, berjalan menuju rumah Daeng Lurang dan Daeng Sannewa, keduanya berhubungan mertua dan menantu yang tinggal sekitar satu kilo meter dari kampus.

Butuh sekitar 10 menit untuk sampai ke rumah keduanya. Setelah melalui jalan yang cukup besar, kami harus menyusuri lagi jalan setapak di tengah kebun jagung yang tingginya membuat kami tak terlihat dari luar. Memaksa saya untuk mengeluarkan HP dari kantong untuk merekam momen unik ini. Di jalan itu saya bertemu dengan istri daeng Sannewa dan putrinya yang baru pulang dari kebun.

Rumah keduanya terletak di dalam hutan. Hanya dua rumah bertetangga. Dikelilingi oleh kebun jagung yang luas. Rumah panggung yang bermaterial kayu. Rumah daeng Sannewa, sang menantu terlihat lebih baru dibanding rumah mertuanya.

Tapi saya memilih bertandang ke rumah daeng Lurang yang terlihat sudah agak reyot itu. Daeng Lurang baru saja pulang dari mengambil tuak manis di hutan. Bahkan parangnya masih saja tersampir di pinggangnya.

Ia tersenyum sambil mempersilahkan saya yang menyalaminya masuk ke teras rumahnya. Saya memilih duduk di atas dipan kayu yang menjadi semacam kursi tamu.

Tak berapa lama berselang, anaknya, istri daeng Sannewa datang dari rumahnya dengan sepiring jagung pulut rebus untuk ia hidangkan buat kami. Rasa jagungnya enak, apalagi ditambah bau asap kayu bakar, yang begitu pula dengan air minumnya. Ziyad yang terbiasa minum air isi ulang tak bisa meminumnya. Sayangnya saya datang telat, saat tuak sudah di atas tungku, dalam perjalanan menjadi gula merah.

Kami bercerita banyak hal, tapi saya lebih banyak bertanya. Soal kebun jagungnya, soal anaknya, soal gula arennya yang sedang ia masak, dan banyak lagi. Kebun jagungnya tak cukup satu hektar tapi hasilnya diperkirakan bisa mencapai dua ton.

Daeng Sannewa datang saat saya sudah sekitar 30 menit di sana. Ia juga baru pulang dari ladang jagungnya. Pembicaraan kami akhirnya melebar ke sana kemari. Ia menawarkan bantuan terhadap pesantren, apa pun bentuknya. Juga tentang sapi-sapinya. 

Saya pun bercerita tentang kebutuhan sapi kurban di Maros. Ia siap menyuplai. Katanya ia sering menyuplai sapi kurban ke kota. Tapi harganya cukup tinggi menurutku, tapi saya belum menawarnya. Mungkin harganya masih bisa turun.

Hujan akhirnya turun, tidak begitu deras, tapi cukup untuk menahanku untuk waktu yang lama. 15 menit menjelang Maghrib hujan berbentuk gerimis. Saya memaksa untuk pulang. Kami pulang melewati jalan yang kali ini jauh lebih licin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline