Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kajian terhadap karya sastra dan kebudayaan untuk diperluas dengan mengembangkan teori-teori multi-disipler. Salah satu teori yang muncul adalah teori ekokritik. Teori ecocriticism dapat diklasifikasikan dalam teori multidisiplin, di mana ecocriticism memadukan antara kajian ekologi dan kajian sastra. Sastra sebagai inspirasi erat kaitannya dengan alam, sedangkan alam membutuhkan sastra sebagai sarana pelestarian.
Istilah ecocriticism pertama kali muncul dalam esai Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism, yang ditulis oleh William Rueckert pada tahun 1978. Kajian sastra dengan pendekatan ini banyak digunakan, terutama di Amerika sejak awal tahun 1990- an (Garrad, 2004). Garrad (2004) mengungkapkan bahwa ekokritik merupakan kajian hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang terkait dengan analisis kritis manusia dan lingkungannya (ecocriticisme entailes 'the study of the relationshiep of the human and the nonhuman, throughout human cultural history and enthailing critical analysis of the terms "human" itself). Ekokritik dapat didefinisikan sebagai penelitian terhadap hubungan antara literatur dan lingkungan.
Tokoh penting yang sekaligus dinobatkan sebagai pelopor dari teori ini adalah Cheryll Glotfelty dengan esai nya yang berjudul, The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996). Pengembangan pendekatan ekologi sastra dan kemunculan teori ini berawal dengan ambisi Glotfelty untuk menemukan hubungan antara karya sastra dengan lingkungan sekitar. Glotfelty memiliki ketertarikan pada bidang ekologi namun di sisi lain juga ingin mempertahankan identitas-nya sebagai seorang ahli dalam bidang sastra. Tujuan utama Cheryll.
Eko-kritikus memberikan perhatian lebih pada keterikatan antara lingkungan dan sastra, termasuk perihatinan dalam ekologi yang disebabkan oleh hubungan yang tidak stabil antara kehidupan sosial dengan alam. Karya sastra tidak terpisahkan dengan alam dan lingkungan serta berbagai permasalahannya. Estetika sastra dibangin melalui kontribusi fenomena alam dan lingkungan yang menjadi masalah kompleks saat ini. Studi sastra ekologis ini mempertanyakan bagaimana karya sastra dapat mewakili alam atau lingkungan melalui nilai-nilainya. Hal ini mengispirasi untuk membuat karya-karya yang bertujuan untuk mengangkat permasalah alam atau lingkungan.
Puisi "Membaca Tanda-Tanda" karya Taufiq Ismail merupakan salah satu penerapan ekologi sastra. Taufik Ismail adalah tokoh sastrawan Angkatan '66 yang dikenal luas sebagai penyair kelahiran Bukittinggi pada 25 Juni 1935. Dalam puisi Membaca Tanda-Tanda, Taufik Ismail mengangkat tema puisi tentang kerusakan alam yang termasuk dalam bahasan isu-isu ekologi.
Membaca Tanda-Tanda menggambarkan eksploitasi lingkungan yang mengakibatkan kerusakan alam. Puisi ini menampilkan krisis ekologi di Indonesia, seperti pencemaran udara, hutan gundul, dan efek rumah kaca. Dalam puisi ini Taufik Ismail mengajak pembaca untuk membaca gejala alam yang terjadi dan peka terhadap perubahan alam yang semakin memprihatinkan. Alam yang dulunya indah dan nyaman sekarang rusak akibat tangan manusia. Taufik menyampaikan rasa rindunya pada lingkungan yang harmonis dan mempertanyakan apakah kitab isa membaca gejala perubahan alam yang memberikan peringatan untuk menjaga lingkungan lewat bencana-bencana.
Dalam puisi ini, pencipta menyindir manusia yang lalai menjaga alam dan juga menunjukkan kesedihannya melihat alam mulai kehilangan keindahan. Puisi ini menggunakan pemilihan kata yang tepat, misalnya kata 'kehilangan' dipilih untuk menggambarkan keindahan alam yang mulai hilang. Pencipta juga menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan alam seperti udara, danau, burung, hutan, gunung, dan sebagainya. Selain kata-kata yang menunjukkan tema alam, pencipta juga menggambarkan bencana lewat kata-kata seperti longsor, banjir, gempa, dan sebagainya. Taufik Ismail menggunakan bahasa-bahasa sederhana yang mudah dipahami sehingga pembaca lebih cepat menyerap pesannya.
Membaca Tanda-Tanda juga menggunakan citraan atau imaji, misalnya pada baris /Kita saksikan udara abu-abu warnanya/ merupakan citra penglihatan; /Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari/ menimbulkan citra pendengaran; serta /Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/ dan meluncur lewat sela-sela jari kita/ yang mengandung citra perabaan. Digunakan juga beberapa gaya Bahasa untuk menambah estetika karya ini. Misalnya dalam kutipan /Banjir air mata/ menunjukkan gaya Bahasa yang melebih-lebihkan atau hiperbola. Meskipun pola rima pada puisi in tidak teratur, tetapi ada rima luar yang terdapat antar baris.
Secara detail puisi itu menyimpan makna bahwa bencana alam muncul karena kelalaian tangan manusia yang lama kelamaan muncul, mulai dari polusi udara dan pemanasan global yang mengakibatkan kematian hewan dan tumbuhan sehingga alam kita menjadi gersang. Disusul juga amukan lain dari alam berupa gunung meletus, longsor, dan banjir yang akhirnyya membuat manusia menangis karena keganasannya. Tetapi dengan gejala yang begitu banyaknya, apakah manusia bisa memahami bahwa semua bencana itu tidak terjadi tiba-tiba? Taufik Ismail menekankan bahwa seharusnya kita membaca tanda yang telah diberikan Tuhan dengan menjaga alam karena jika tidak, manusia hanya bisa menyesal, meratapi dosa, dan merindukan alam yang asri, aman, dan nyaman.
Puisi ini dibuat karena keresahan pencipta akan kelalaian manusia dan menggambarkan bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan. Apabila manusia merusak alam, maka alam akan kehilangan keharmonisannya. Dan jika alam rusak, maka akan terjadi bencana-bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Abiet G. Ade yang juga membawakan tema yang sama dalam lagunya yang berjudul Berita Kepada Kawan.