Lihat ke Halaman Asli

Selingkuh Batin

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuserahkan sepenuhnya diriku untukmu, tapi maaf bukan hatiku. Terima kasih sudah kau berikan seluruh cintamu, tapi maaf itu tak cukup untuk membeli cintaku. Aku masih ingin terbang mengembara menyinggahi seluruh kolong langit, tapi sangkar emasmu memenjarakanku di sini. Tak ada guna kau mengagumi diriku, karena keindahan yang kuberikan hanya sebatas yang kau lihat. Bukankah kau hanya kagumi indahnya buluku, merdunya senandungku, lincah tarianku dan betapa berharganya aku? Sudahlah… Semua sudah kau dapatkan, semuanya bisa kau beli tapi tidak untuk perasaanku.

Sewindu lebih ku terpenjara di sini, terpisah dari kekasih lama yang setiap hari ku puja lewat kicau nyanyian. Untunglah kau tak fahami bahasa rinduku, karena rinduku hanya untuknya bukan untukmu.

“Apa kabarmu di sana?”

Maaf, bukan dirimu suamiku. Tapi dia yang telah mengajakku terbang dulu. Dia yang telah mengajariku cinta untuk pertama kali. Kemarilah bebaskan aku dari pasungan membosankan ini. Aku bahagia di permukaan, tapi tenggelam di dasar kenangan indah yang kita bangun dulu.

“Masihkah kau menyayangiku?”

Maaf, bukan kamu suamiku. Tapi dia yang lebih dulu menyayangiku, sebelum kau tukar dengan kasihmu. Mungkin besar kasih sayang yang kalian berikan sama, tapi terasa lebih berat ketika dia yang mengulurkannya. Dia yang mengalirkan ruh kimiawi dalam senyawa-senyawa rinduku.

Mengapa Tuhan mengecewakan keinginan? Mengapa Tuhan menggagalkan indah harapan? Padahal cukup satu pinta, satukan diriku dan dirinya dalam kesederhanaan cinta. Maaf, sekali lagi bukan denganmu suamiku.

---

Dingin malam masih tersisa di ujung pagi. Aku menggigil dalam dingin, menanti pagi segera datang. Di mana kehangatan itu, sudah lama ia tak mengunjungiku. Oh, sungguh aku rindu kehangatan dari obor pernikahan yang telah lama mati. Untunglah masih ada anak-anak yang cerianya sanggup menyalakan lilin-lilin penerang kebahagiaan. Aku sendiri di sini merawat anak-anak kita, maaf aku tak terbiasa memanggilnya ‘buah hati’ atau ‘buah cinta’, karena keraguanku masih terlampau besar apakah mereka benar-benar terlahir dari rasa cinta? Karena mencintaimu saja aku tak bisa.

Jangan salahkan aku tak mencintaimu, karena kamu tak mengajarkan itu. Jangan salahkan aku tak menyayangimu karena rasa sayangmu hanya bisa kudengar lewat suara. Jangan salahkan aku tak bisa berhenti memikirkannya karena kamu sama sekali tak melarangnya. Besar cintamu padaku sebesar cintaku padanya. Memang, pernikahan adalah upaya menyatukan cinta, tapi cinta tak selamanya disatukan oleh pernikahan.

Salahkah jika aku mencintai orang yang telah mengajariku cinta? Salahkah aku jika menyayangi orang yang telah memberikan kasih sayang? Setidaknya aku tidak membencimu dan meninggalkanmu, kurasa itu cukup! Toh, akupun sudah mengakui segala kesalahan, menjadi seorang istri yang belum bisa mencintai suaminya.

Udara semakin dingin menyambut sang fajar datang. Aku tetap di sini sendiri berbagi kehangatan bersama anak-anakmu. Tak ada dirimu saat anak istrimu menahan gigil dingin. Tak ada dirimu saat kami butuh dekapan kehangatan. Sangkar emasmu tak sanggup memberikannya. Lalu, masih salahkah aku jika mendamba kehangatan yang lain?

Dingin malam nyaris membuatku beku, hingga tiba-tiba ada deras hangat yang mengalir di seluruh aliran darah. Ada sergapan dekapan hangat menyelimuti seluruh tubuh dari belakang, ada belaian lembut di sepanjang rambut indahku, ada kecupan manis di jenjang leher dan telinga, diikuti sebuah bisikan:

“Memilikimu adalah hal terindah dalam hidupku.”

Jiwaku terbang menembus shaf langit, membumbung menembus batas kolong dunia. Seluruh sel yang tadinya hampir mati bergeliat dialiri chemistry syahdu. Aku masih sangat hafal dekapan itu, aku masih sangat hafal belaian itu, aku masih sangat hafal kecupan itu. Pasti dia yang selama ini ku rindu, karena tak mungkin suamiku bisa melakukan itu. Oh, terima kasih.. kau datang di saat ku lemah.

Fajar telah benar-benar datang, menyibak gelap dan dinginnya malam. Hingga semakin jelas sosok wajah gagah di hadapan. Pria tampan yang aromanya hampir saja ku lupa. Setangkai mawar menyelip di tangan kanannya, sedangkan tangan yang lain masih mendekap erat memberiku kehangatan.

“Happy anniversary my lovely wife”

“I love you”

Tersentak di antara haru dan malu. Ternyata dia suami yang telah lama pergi meninggalkanku ke negeri orang. Ia datang membawa kembali api pernikahan yang hampir saja padam. Oh, maafkan aku suamiku, tak bisa menjaga amanah batinmu. Maafkan aku suamiku, tak pernah berucap terima kasih atas besar pengorbananmu. Maafkan aku suamiku, atas cinta tulus yang tak pernah padam. Maafkan aku meragukan kesetiaanmu.

---

Ribuan laron beterbangan menyambut pagi setelah hujan semalam. Anak-anak kita tertawa ceria mengejar laron yang terbang rendah di tanah. Tak pernah kurasakan indahnya karunia cinta seindah pagi ini. Terima kasih, Sayang.. telah memberiku bahagia bersamamu dan bersama ‘buah hati’-‘buah cinta’ kita.

[KDS, 20/2/2013, 12:00]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline