Maryam Melap Darah yang
Memercik di Lukisan Bapak
Cerpen : AKHMAD ZAILANI
KUAS itu masih menari-nari di atas kanvas. Bergerak membentuk garis lurus berwarna hitam, putih, merah dan warna-warna lainnya. Atau sekali melenggak lenggok dengan warna-warni yang lain. Bergoyang ke kiri atau ke kanan. Dan terkadang ke atas atau ke bawah. Kanvas yang dasarnya putih itu kini berwarna-warni.
Tangan mungil itu masih asik menyapukan cat minyaknya di kanvas, seperti juga hidup, kita sendirilah yang akan memberi warna. Bila kita ingin hidup kita indah berikanlah warna-warna yang manis dalam hidup. Hidup adalah kanvas. Sedangkan kelahiran dan kematian adalah bingkainya. Warnailah hidup kita dengan langkah-langkah yang baik, dengan perbuatan-perbuatan amal, niscaya hidup kita akan terasa indah.
Sang pemilik jari lentik itu tak bersuara sedikit pun. Hanya tangannya yang lincah, bersuara di atas kanvas. Kali ini dia melukis tak memerlukan model seperti hari-hari sebelumnya. Begitulah anak itu. Bila pikirannya sedang gundah, lukisannya jadi beraliran abstrak. Coretan-coretan kuas dengan warna-warna yang sedang disapukannya di atas kanvas, seakan mewakili perasaan hatinya yang sedang gelisah. Hanya suara kuas-kuas itu yang terdengar halus. Kuas yang asik bercumbu dengan kanvas. Sedangkan yang lain, benda-benda di dalam kamar gadis itu diam dalam bahasanya sendiri. Di dinding kamar itu berderet lukisan-lukisan yang beraliran realisme. Gadis tujuh belasan tahun itu terkadang tahan berjam-jam menggoreskan kuasnya. Hingga lupa makan. Baginya melukis itu sudah mampu mengenyangkannya dan menghilangkan rasa laparnya. Bagi dia melukis itu sudah seperti makan saja.
Ada beberapa hasil lukisan gadis itu yang tergantung di dinding kamarnya. Dan lukisannya yang terasa hidup (bagi dia dan ibunya) adalah lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu. Seakan-akan bapak masih tinggal di dalam rumah kecil yang terbuat dari kayu itu. Gadis dengan rambut panjang itu melukis sejak dia masih berusia lima tahun : dengan mencoret-coret dinding rumahnya sendiri. Bila ada dinding dengan cat yang masih baru (sehabis di cat bapak), itulah kanvas yang paling bagus baginya. Dinding dengan cat yang masih baru itulah yang membuat liurnya meleleh dan tangan mungilnya gatal untuk menggerakkan kuas dengan coretan-coretannya. Gadis kecil itu takkan puas bila dinding rumahnya masih tak ada 'hasil karya besar-nya'. Itulah masa kanak-kanaknya yang bakat melukisnya tumbuh sejak kecil.
Dari hasil melukis dan sang ibu menjual gado-gado itulah dua anak-beranak itu mampu bertahan hidup. Bapak sudahmeninggal saat gadis itu masih berusia delapan tahun (waktu itu dia sedang berada di rumah paman di kota. Ibu yang menitipkan dia di sana untuk disekolahkan). Bapak di temukan tewas terapung di sungai dekat desa itu. Tubuh bapak ditemukan penduduk. Bapak telah tewas. Di tubuh bapak ditemukan bekas-bekas penganiayaan. Bapak dibunuh. Dan hingga saat ini belum diketahui siapa yang telah membunuh bapak. Hanya lewat mimpi-mimpilah anak dan ibu itu sering dikunjungi bapak. Hanya lewat mimpi pulalah anak dan ibu itu tahu siapa yang membunuh bapak.
Gadis itu masih mencoret-coretkan kuasnya di kanvas. Dan coretan-coretan itu masih (terasa) nampak belum berbentuk. Mungkin sang pelukis memang enggan menonjolkan bentuk realis. Karena perasaan memang tak dapat dilukiskan rupanya. Gimana bentuk wajahnya, tak bisa persis sama dengan wajah-wajah nyata lainnya. Perasaan hati atau emosi hanya bisa dilukiskan menuruti sang tuannya yang menggoreskan kuas di atas kanvas. Karena masing-masing pelukis berbeda dalam melukiskan rasa marah, rasa sedih atau perasaan lainnya. Begitu pula bila sang pelukis menumpahkan rasa itu kembali ke kanvas yang lain. Pasti berbeda.
Dan gadis semampai itu terkadang menggerakkan tangannya dengan cepat atau terkadang dengan gerakan lambat, diusapnya kanvas itu pada tempat yang itu-itu juga. Dia melukis dengan pikiran yang mengembara. Hanya perasaan emosinya sajalah yang turut membantu gerakan tangannya untuk menyapukan kuas di kanvas. Hanya perasaannyalah yang menyuruh tangan kanannya untuk mengambil warna-warna dari tube-tube yang berserakan di lantai kamarnya. Sedangkan tangan kirinya yang buntung (tumbuh sampai siku) hanya diam saja menyaksikan saudaranya (tangan kanannya yang tumbuh sempurna) bekerja.
Kanvas yang berukuran 60cm x 80cm itu kini telah berwarna-warna. Penuh warna yang dimaui sang pelukis : warna merah tampaknya lebih menyolok. Kanvas yang rencana sang pelukis akan 'diisi' dengan : lukisan burung-burung yang terbang bebas di awan atau tentang suasana pedesaan di mana anak itu tinggal, kini kembali di coret-coret lagi (biar aja, pikirnya. Nanti bisa pesan lagi sama paman bila memerlukan kanvas dan cat minyak lagi di kota). Tak henti-hentinya tangan itu bergerak mengikuti perasaan tuannya. Tak henti-hentinya gadis itu menumpahkan perasaannya. Dia tak peduli (seakan) apa gambar di kanvas itu. Dia hanya ingin menyalurkan emosinya lewat kuas bersama cat minyak di atas kanvasnya.
Akhirnya tangan mungil itu berhenti juga. Diletakkannya kuasnya di lantai. Dan dipandanginya 'lukisan' itu lekat-lekat. Agak puas dia sekarang. Tok tok tok! Telinganya sempat pula mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. “ Maryaaaam…,” suara ibu dari luar kamarnya. “Makan dulu…,”. Bila sudah ada peringatan semacam itu, baru Maryam mengalihkan perhatiannya dari lukisan. Bila sudah begitu, baru Maryam keluar dari kamarnya. Ibu selalu saja mengingatkan Maryam. Ibu khawatir anak satu-satunya itu nanti malah sakit. Ibu tahu Maryam tak bisa di pisahkan dengan hal yang ada sangkut pautnya dengan lukisan. Bila sudah melukis, dia terlalu asik dan lupa waktu. Salah satu lukisan Maryam yang ibu suka adalah lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu. Lukisan itu (terlebih-lebih ibu) benar-benar terasa hidup. Ibu menyayangi bapak, hingga sampai sekarang ibu belum mau untuk menikah lagi. Bagi ibu hanya bapaklah suami ibu. Hanya satu suami, bagi ibu.
Padahal ibu tahu, banyaklah sudah yang ingin melamar ibu. Ibu selalu menolak. Tak ada lelaki yang bisa menggantikan bapak, ujar ibu. Tak terkecuali Datu Hirang, seorang kaya raya di desa itu. Sudah beberapa kali Datu Hirang memberikan ibu bermacam-macam hadiah. Tapi ibu tetap tidak mau. Datu Hirang adalah seorang rentenir. Dia dulu sahabat bapak. Bersama bapak, Datu Hirang awalnya dulu berusaha. Bersama bapak Datu Hirang menemukan gua sarang burung walet. Bersama bapak, Datu Hirang mencari kayu Gaharu di hutan. Dulu, sebelum bapak menikah dengan ibu, Datu Hirang pernah datang melamar ibu.Ibu menolak. Ibu mencintai bapak dan menikah dengan bapak.
Dulu, pernah Datu Hirang mencoba memperkosa ibu, tapi sempat diketahui bapak dan Datu Hirang babak belur di hajar bapak, padahal bapak dan ibu sudah menikah waktu itu. Datu Hirang jadi sakit hati. Datu Hirang-- yang kulitnya hitam-- sejak itu mulai memikirkan untuk balas dendam. Dan di pinggir sungai dekat desa itu, bapak dihabisi oleh anak buah Datu Hirang. Bapak dibunuh lalu mayatnya di buang ke sungai itu. Dan sampai sekarang Datu Hirang masih saja merayu ibu. Walaupun Datu Hirang tahu ibu tidak mau menikah dengan dia, selalu saja dia memberi hadiah untuk ibu, gelang, kalung, dan sebagainya. Karena Datu Hirang mungkin berpikir suatu saat hati ibu akan luluh juga dan mau menikah dengannya. Tapi ibu tetap menolak. Barang-barang pemberian Datu Hirang selalu ibu kembalikan. Ibu tetap setia sama bapak. Dan lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu (menurut ibu) sudah mampu mengusir rasa sepi ibu. Lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu sudah mampu memberikan kehangatan bagi ibu. Tak ada orang yang mengira dan menduga, bahwa ibu yang masih cantik itu tidak mau menikah lagi.
Tak ada orang yang mengira dan menduga, bahwa bila malam tiba hingga sebelum fajar ibu bisa bercumbu dengan bapak. Bapak hadir memberi kehangatan buat ibu. Tak ada yang menyangka dan percaya bahwa lukisan yang tergantung di dinding kamar ibu benar-benar hidup! Bapak yang selalu tersenyum (hasil lukisan sang anak) selalu datang di malam yang dingin dan berembun. “Bu, ini lukisan bapak. Pakaian di lukisan ini Maryam warnai dengan darah Maryam. Warna merah di cat minyak punya Maryam telah habis, bu, jadi jari telunjuk Maryam, Maryam lukai dengan silet…,” ujar Maryam ketika menyerahkan lukisan bapak untuk di gantung di kamar ibu.
“Oh, Maryam, kenapa mesti warna merah dari darahmu. Telunjukmu tidak apa-apa kan?” ibu cemas waktu itu. “Tidak apa-apa, bu. Sudah Maryam plester…,” Maryam tersenyum. Ibu mengagumi lukisan Maryam. Lukisan bapak benar-benar hidup. Lukisan itu cukup besar (berukuran 110 m x 210 m), lukisan bapak yang mengenakan baju merah darah (yang benar-benar darah) yang selalu tersenyum. Pernah ibu bertanya kepada Maryam : “Maryam kenapa baju bapak kamu warnai merah, kenapa tidak putih atau warna yang lainnya?” Dan Maryam hanya menjawab : “Saya menyukai warna merah, bu.” Itu saja. Ah, Maryam memang suka dengan warna merah. Bila diperhatikan, cat minyak yang paling cepat habis adalah warna merah cat minyak miliknya. Warna merah yang selalu diidentikan dengan marah atau dendam yang membara mungkin selalu mewakili perasaan Maryam.
“Maryam, cat minyak masih ada?” tanya ibu. “Hampir habis bu. Cat minyak warna merah habis lagi. Ndak enak rasanya bila Maryam melukis ndak ada warna merahnya…,” jawab Maryam. “Titip sama Karto nanti. Tunggu saja. Nanti siang biasanya dia makan gado-gado di sini”. Karto adalah supir taksi. Bila siang tiba, dia makan (atau beli) gado-gado di warung ibu. Maryam selalu titip cat minyak sama dia. Karto tinggal di desa itu juga. Trayek taksinya dari desa ke kota atau kota ke desa. Biasanya yang memanfaatkan taksinya adalah para petani yang setiap pagi mengangkut hasil bertani atau berkebun untuk di jual di kota.
Taksi itu (atau tepatnya angkutan kota atau lebih tepatnya lagi gerobak besi) adalah milik Datu Hirang juga. Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Datu Hirang merupakan orang terkaya di desa itu. Dia memonopoli segala bidang usaha. Dia konglomerat desa itu. Kikirnya bukan main. Hanya kepada ibu dia tidak kikir karena ada maunya. Di bidang kawin pun dia jagonya. Istrinya ada sembilan. Dan dia ingin menggenapkan menjadi sepuluh tapi tidak kesampaian. Ibu masih setia sama bapak. Hidup Karto pun sulit. Dia banyak berutang dengan Datu hirang. Kerja menyupir taksi sia-sia belaka. Hanya cukup untuk makan hari itu juga bersama istri dan tiga anaknya. Tak sanggup pulalah dia melunasi utangnya. Sawahnya sudah diambil oleh Datu Hirang, tapi utangnya tetap masih ada dan terus kian membengkak. Itu hanya satu contoh.
Sebenarnya, sebagian penduduk di desa itu terjerat utang oleh Datu Hirang. Sawah miliknya sudah bukan lagi miliknya. Menggarap sawah (bekas sawahnya) dan hanya mendapat sebagian kecil saja hasilnya sebagai upah. Maryam menunggu Karto. Sebentar lagi pasti dia datang untuk makan siang di warung ibu. “Bu, kalau Kang Karto datang, tolong ya bu…Maryam ngantuk”. “Istirahatlah Maryam…”. Maryam melangkah masuk kamar dan ibu tetap melayani beberapa pembeli gado-gadonya.
Pukul tiga lewat lima belas siang, Karto belum datang-datang juga. Mungkin Karto makan di lain, pikir ibu. Warung ibu sudah sunyi. Dari jauh tampak tiga orang sedang menuju ke warung ibu. Ah, tapi sayang, itu bukan Karto. Itu…itu Datu Hirang bersama dengan dua orang kaki kanan kirinya, Gewok dan Barjah. Ah, mau apa mereka. “Halo Marni,” Datu Hirang menyapa ibu. Gewok dan Barjah tertawa. “Diam!” bentak Datu Hirang kepada kedua anak buahnya itu. “Maaf…warungnya mau tutup,” ibu memberesi isi warungnya. Hari memang sudah hampir sore. Dan ibu (seperti biasanya) mau menutup warung, tapi 'setan hitam' itu datang.
Datu Hirang atau oleh orang-orang di desa (tentu saja beraninya cuma di belakang) memberi julukan Si Tambi itu mulai mendekati ibu.Tapi ibu segera masuk ke dalam rumah. “Kamu tunggu di sini!” Si Tambi memerintah anak buahnya. Lalu dia bergegas masuk pula mengejar ibu. Pintu di kuncinya dari dalam. “ Marniii…aku ingin bicara,” Si Tambi berdiri di depan kamar ibu. Suaranya halus merayu. Kamar ibu terkunci dari dalam. “Pergi kamu! Kalau tidak aku akan berteriak!” suara ibu dari dalam kamar. Tapi sebelum ibu melaksanakan ancamannya, pintu kamar yang terbuat dari kayu itu telah didobrak Si Tambi. Ibu hanya sebentar sempat menjerit (itu pun lebih tepat terkejut). Mulutnya kini telah disekap oleh tangan Datu Hirang. Ibu lalu diseret di ranjang. Ibu meronta-ronta, tapi Datu Hirang malah semakin erat mendekap ibu. Pakaian ibu dibuka secara paksa oleh Datu Hirang.
Kedua manusia yang berlainan jenis itu sedang berusaha, : yang satu berusaha memaksakan keinginannya dan yang satu berusaha menolak keinginan lawannya. Kedua manusia itu tidak tahu (tidak sempat melihat) bahwa lukisan bapak yang tergantung di dinding itu, wajah bapak yang biasanya tersenyum kini berubah marah. Matanya merah. Lukisan bapak di dinding kamar ibu bergoyang-goyang. Tak sempatlah dua manusia yang berlawanan itu memperhatikan lukisan bapak yang berada di dinding tepat di atas kepala keduanya.
Ibu sedang lelah meronta. Sedang Si Tambi semakin bernafsu saja. Ibu ditindihnya di bawah. Pada saat itulah Si Tambi tidak menyangka, bahwa lukisan bapak bergoyang-goyang dan akhirnya menimpa kepala Datu Hirang. Datu Hirang hanya sempat mengeluarkan suara :“ Aduh!” lantas nafasnya pun tidak terdengar lagi. Kepalanya darah.
Ibu menjerit-jerit. Orang-orang berdatangan. Tapi siang itu Datu Hirang telah mati. “kok bisa mati tertimpa lukisan”,“Kepalanya bocor”, “Dia mau memperkosa”,. “Mampus”. Hanya suara-suara orang yang bersyukur terdengar. Hanya dua orang kaki kanan Datu Hirang, yaitu : Gewok dan Barjah saja yang membawa tubuh Datu Hirang pulang. Walaupun selanjutnya mereka berdua bingung, mau dibawa ke rumah istri yang ke berapa tubuh Datu Hirang tersebut. Mereka berdua berbeda pendapat di tengah jalan, lantas akhirnya mereka tinggalkan begitu saja tubuh Datu Hirang di jalan. Gewok dan Barjah berlari-lari pulang ke rumah. Sedangkan orang-orang sibuk menolong ibu. Walaupun ibu cuma pingsan. Di hati penduduk desa itu kini ada suatu kelegaan, bak terbebas dari suatu belenggu. Maryam melap darah yang memercik ke lukisan bapak, lantas meletakkan kembali pada tempatnya semula. Dia tersenyum menatap lukisan bapak yang tergantung di dinding. Dan bapak pun kembali tersenyum. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H