Lihat ke Halaman Asli

Mitigasi Dampak ASEAN-China FTA

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berlakunya ASEAN-China FTA (ACFTA) mulai 1 Januari 2010 disambut dengan wacana yang ramai. Banyak pihak menyarankan berbagai reaksi, dari usulan renegosiasi sampai saran untuk memperkuat riset dan pengembangan dalam rangka meningkatkan daya saing menghadapi persaingan. Sebagaimana galibnya setiap kondisi dan peristiwa, dengan titik pandang yang berbeda, dapat dihasilkan simpulan berbeda, termasuk apakah ACFTA suatu peluang atau ancaman, atau bahkan menyuguhkan keduanya sekaligus. Mengingat banyaknya nada pesimis berkaitan dengan ACFTA, artikel ini berusaha mengulas alternatif-alternatif kebijakan yang mungkin diterapkan untuk mengurangi dampak (negatif) ACFTA. Pemilihan topik ini didasari pemikiran bahwa melakukan renegosiasi ACFTA bukanlah suatu hal gampang, mengingat bahwa renegosiasi perjanjian multilateral tentu saja lebih sulit daripada renegosiasi perjanjian bilateral. Demikian pula, usulan penundaan berlakunya ACFTA hanyalah akan menunda penyelesaian masalah yang sudah di depan mata.

Dampak Negatif ACFTA

Penganjur perdagangan bebas menyatakan bahwa dampak positif perdagangan bebas antara lain adalah kenaikan volume perdagangan, peningkatan kesejahteraan bagi konsumen (consumer welfare), serta tekanan eksternal untuk berkompetisi sehingga menciptakan efisiensi. Meskipun demikian, diakui bahwa peningkatan kesejahteraan konsumen (dalam bentuk penurunan harga dan/atau berlimpahnya pilihan barang/jasa) pada saat yang bersamaan akan diikuti oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor-sektor yang kalah bersaing dengan produk asing. Dalam kaitan dengan ACFTA, dampak negatif ini sudah banyak disuarakan oleh para pihak, antara lain ancaman PHK sebanyak tujuh juta pekerja akibat tumbangnya industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja.

Alternatif Memitigasi Dampak

Para penganjur perdagangan bebas juga mengakui bahwa akan terdapat para pihak yang dirugikan selain pihak-pihak yang diuntungkan, sehingga perlu diupayakan redistribusi manfaat dari gainers ke loosers. Gainers atau loosers itu bisa dibagi ke dalam tiga golongan: konsumen, pemilik modal, dan pekerja. Pemilik modal, pengusaha atau entrepreneur bisa dikelompokkan lagi menjadi pemodal besar atau kecil atau berdasarkan sektor-sektor tertentu. Demikian juga, pekerja bisa dikelompokkan berdasarkan keahliannya atau berdasarkan sektornya.

Resep generik yang dianjurkan untuk menghadapi pasar besar adalah anjuran agar suatu negara berkonsentrasi pada industri-industri tertentu yang mempunyai keunggulan bersaing. Dengan jalan ini, penurunan pada sektor-sektor yang tersapu oleh pasar bebas dapat dikompensasi oleh sektor-sektor tertentu yang booming akibat pasar bebas. Kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan adalah kebijakan subsidi untuk industri sektor tertentu dan/atau kebijakan pendanaan. Sedangkan kebijakan tarif impor sudah pasti tidak dapat diterapkan karena termasuk barang haram menurut WTO. Dalam kaitan dengan pekerja, resep yang dianjurkan adalah melakukan pelatihan ulang (retraining) pada pekerja yang terkena PHK sehingga dapat dialihkan bekerja pada sektor-sektor yang booming.

Susahnya, kebijakan subsidi maupun pelatihan ulang memerlukan dana segar. Padahal, pemerintah sudah pasti akan kehilangan penerimaan dari bea masuk, sedangkan peningkatan penerimaan pajak penghasilan (PPh) akibat kenaikan investasi atau peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) akibat kenaikan perdagangan lebih sulit dipastikan nilainya. Dalam hal ini, resep generik memaklumkan bahwa pemerintah dapat mengenakan tambahan pajak pada sektor-sektor yang booming untuk diredistribusi pada para pihak yang terkena efek negatif dari pasar bebas.

Resep-resep generik tersebut, dapat dipakai sebagai tambahan selain dari beberapa wacana yang sudah berkembang, misalnya usulan pengenaan Standar Nasional Indonesia (SNI) atas semua produk China yang masuk ke Indonesia. Selain SNI, perlu dipikirkan pula aturan-aturan lain untuk memperketat aturan demi alasan kesehatan atau lingkungan. Wacana ini masuk akal, misalnya untuk mencegah masuknya produk mainan anak yang berkualitas rendah dan berbahaya bagi kesehatan. Berdasarkan kesepakatan WTO, aturan-aturan tentang kesehatan atau lingkungan dapat diterapkan, asalkan berlaku adil baik bagi barang dalam negeri maupun barang uang berasal dari China. Dalam hal ini, peran masyarakat madani untuk meningkatkan kesadaran dan memberdayakan konsumen sangat diharapkan karena gerakan madani relatif lebih sulit dikomplain oleh pihak China. Apabila gerakan tersebut diinisiasi pemerintah, dengan gampang pihak luar akan mengatakan bahwa itu adalah proteksionisme atau hambatan perdagangan (non-tarif measures).

Langkah Jangka Panjang

Sebagai perbandingan, patut disimak apa yang dianjurkan ahli Uni Eropa untuk Vietnam yang akan memasuki ACFTA tahun 2015, yaitu: (1) menarik lebih banyak investasi asing (FDI) untuk memodernisasi industri, (2) diversifikasi ekonomi, (3) meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, (4) meningkatkan ekspor tidak langsung lewat negara-negara ACFTA ke pasar pihak ketiga, dan (5) meningkatkan kualitas produk ekspor.

Tentunya, langkah-langkah jangka pendek (dan menengah) yang diuraikan di atas, akan kurang bermakna apabila tidak diimbangi dengan peningkatan efisiensi perekonomian dalam jangka panjang. Tanpa pembenahan dan keberpihakan, kita hanya akan terkena “semburan api” tanpa sempat ikut “terbang” bersama Sang Naga yang diyakini akan tetap sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi internasional di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline