Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Sekhu

profesional

[Untukmu Ibu] Semangat dalam Sepucuk Surat

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jaga adikmu baik-baik.” Demikian isi sepucuk surat yang selalu membuat Nayna semangat. Semangat belajar di sekolah dan juga tetap semangat mengerjakan semua pekerjaan rumah. Anak SMU itu tampak semangat kerjanya melebihi anak seusianya, bahkan sampai mengorbankan waktu sekolahnya, Semua itu dijalaninya dengan penuh keikhlasan sehingga tak jadi beban, betapa ia merasa lumrah adanya.
Bangun tidur jauh sebelum beduk subuh ditabuh, Nayna harus segera pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan keluarga. Kakinya yang mungil lincah berlarian kecil menempuh perjalanan ke pasar yang cukup jauh. Dari rumahnya yang tempatnya terletak menjorok ke dalam di sebuah kawasan kampung kumuh. Sebuah rumah yang seperti berada di kedalaman gua yang sangat gelap dan pengap, di antara sela petak-petak rumah yang begitu padat penduduk, berjejalan, dan amat penuh sesak.
Pergi di pasar, ia berjalan kaki. Tak ada uang lebih jadi ia harus berjalan setengah berlari, tepatnya berlarian kecil agar secepatnya ia dapat sampai ke pasar. Dengan uang belanja seadanya yang diberikan sang ayah yang kerja serabutan, ia pun harus bisa menawar sayur-sayuran di pasar yang harganya semakin membumbung tinggi, meski harga BBM sudah, tapi harga sembako tetap membumbung tinggi seperti tak terbendung.
Karena suntuk memikirkan harga sembako dan saking terburu-buru berlarian pergi ke pasar, Nayna terantuk batu dan kemudian jatuh sehingga tiga logam seratusan rupiah terlepas dari genggaman tangannya dan kemudian pelan tapi pasti menggelinding hingga sampai jatuh ke dalam got.
“Aku harus bisa mendapatkan uang itu kembali,” tekadnya dalam hati, betapa memang kemudian ia berusaha keras mengambilnya, meski tak mudah karena ternyata jatuhnya di got yang dalam dan juga hitam sehitam langit yang masih tak lepas dari pelukan sang malam.
Begitu susah-payah tangan mungilnya merogoh got untuk mencari uangnya yang jatuh, sampai seorang pemulung yang kebetulan lewat tak tega melihatnya sehingga tergerak ikut membantu mencarikan uang itu. Usaha yang sangat keras dengan bantuan pemulung tak sia-sia karena akhirnya uangnya berhasil ditemukan yang tampak begitu hitam kental bercampur dengan kotoran got yang belepotan.
“Terima kasih, Bang,” ucap Nayna sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan pemulung.
“Sama-sama, Neng,” kata pemulung menerima jabatan tangan dengan senyum penuh keramahan. “Kalau jalan hati-hati ya, Neng.”
“Iya, Bang, sekali lagi terima kasih atas pertolongannya,” ujar Nayna sambil berbisik dalam hati, semoga pemulung itu mendapat pahala dari Tuhan karena mau menolong dirinya dari kesulitan mencari uang yang jatuh di got.
Segera setelah itu, Nayna langsung buru-buru masuk ke dalam keramaian pasar yang letaknya tak jauh dari tempat itu.
Di pasar, Nayla dikenal sebagai anak kecil yang paling pandai menawar.
“Persis seperti Asri, ibunya,” demikian komentar dari salah seorang pedagang di pasar yang jualannya sering ditawar Nayna.
Meski harganya tinggi, tapi Nayna tampaknya tetap bisa menyiasati, tentu dengan cara yang kreatif, seperti memilih wortel yang kecil-kecil untuk kemudian dipisahkan dengan wortel yang besar-besar di depan pedagang sambil berkata: “Mbok, saya ambil wortel yang kecil-kecil ini, sengaja memilih kecil-kecil yang tentu tidak akan ada yang beli, bahkan sering simbok buang. Kalau dibuang kan sayang jadi kalau saya beli wortel yang kecil-kecil ini tolong harganya dimurahin ya, Mbok.”
“Wah, Eneng, memang benar-benar pintar menawar,” puji pedagang wortel dengan reaksi sedikit berkerut dahi, tapi kemudian tersenyum iba sambil berkata: “Ya udah, wortel yang kecil-kecil untuk Eneng saja karena memang tidak ada yang mau beli, bahkan sering saya buang. Terima kasih, Eneng mau memisahkan wortel kecil-kecil dari wortel yang besar-besar.”
“Sama-sama, Mbok, saya juga terima kasih diberi wortel kecil-kecil,” ucap Nayna sambil meraup wortel kecil-kecil untuk dimasukan ke dalam tas belanjaanya.
Semoga pedagang wortel mendapat rejeki banyak karena berbaik hati memberi wortel kecil-kecil, bisik Nayna dalam hati, yang setelah mendapat wortel kecil-kecil langsung berpindah ke pedagang sayur lainnya. Hari itu ia akan masak sop. Sop dengan wortel kecil-kecil yang tentu akan tetap enak kalau dimasak dengan resep dari nenek yang dikenal kalau masak selalu enak.
***
Selesai belanja di pasar Nayna cepat-cepat pulang ke rumah dengan mempercepat larinya karena matahari mulai menampakkan diri di ufuk barat sana. Ya, ia harus lebih cepat lagi berlari karena masih banyak pekerjaan yang dilakukan sebelum berangkat ke sekolah. Meski tahu kalau datang ke sekolah akan terlambat karena harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, tapi ia berharap tidak terlalu parah terlambatnya.
Sampai di rumah, ia langsung buru-buru masak sop. Kemudian sambil menunggu sop matang, ia mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti mencuci pakaian, menyapu halaman dan mengepel lantai. Semua dilakukannya sendiri dengan penuh semangat tanpa pernah mengeluh sedikit pun karena keikhlasan kerjanya itu telah dimuarakan pada sebuah harapan: “Aku ingin ketemu ibu.”
Sebuah harapan yang terdengar begitu amat sangat sederhana, tapi ia ingin menggantikan peran ibu yang menurut cerita ayahnya sangat rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian.
Yanti, teman sebangku dengannya di sekolah, begitu kagum mendengar harapan itu pada suatu waktu.
Dikarenakan harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian sehingga ia selalu terlambat datang ke sekolah. Seperti pagi itu, ia pun datang terlambat, bahkan lebih lambat dari biasanya karena insiden uangnya yang jatuh ke dalam got. Tapi ia tidak menyesal, malah membuatnya makin tabah menerima.
Kemudian, sesuai peraturan sekolah kalau ada yang terlambat maka dihukum tidak boleh masuk kelas pada jam pelajaran pertama, dan baru boleh masuk kelas pada jam pelajaran kedua. Begitulah Nayna yang kini harus berdiri di depan gerbang sekolah menunggu jam pelajaran selesai dan Mang Kasnap, penjaga gerbang sekolah jadi akrab menemaninya selama hukumannya berlangsung.
Ia hebat penuh semangat karena meskipun selalu terlambat datang ke sekolah dan sering tidak mengikuti jam pelajaran pertama, tapi ia dapat mengejar ketertinggalan pelajaran dengan meminjam catatan pada Yanti, teman sebangkunya, sehingga ia tetap mendapat prestasi terbaik.
Waktu terasa berjalan cepat, meski jarum jam tetap dengan putaran sama melalui detik demi detik menuju menit hingga sampai jam pelajaran usai.
Teng, teng, teng…!
Begitu bel pergantian jam pelajaran berdentang, Nayna langsung bersorak dalam hati sampai tak sadar kegembiraan terdengar oleh Mang Kasnap, sang penjaga gerbang, yang menemani selama dirinya mendapat hukuman.
Mang Kasnap tampak geleng-geleng kepala sambil membuka gerbang bagi Nayna yang sudah diperbolehkan masuk.
“Terima kasih, Mang,” ucap Nayna ramah pada sang penjaga gersang dengan senyumnya tetap terkembang seperti indahnya bunga-bunga mekar di taman sekolah, betapa ia tak marah pada Mang Kasnap karena itu sudah tugasnya menahan anak yang datang terlambat di depan gerbang sebagai hukumannya.
“Sama-sama, Neng,” Mang Kasnap membalasnya dengan lebih ramah lagi sehingga tampak cabe pada giginya.
“Mau mengirimnya, Mang?” Nayna menyindir Mang Kasnap penuh canda.
Mang Kasnap tahu betul sindiran seperti itu sehingga cepat-cepat dibersihkan giginya sehingga sampai dapat cuilan cabe menghiasi giginya barulah berkata: “Ah, Eneng Nayna, bisa aja candanya.”
Tapi Nayna sudah jauh memasuki sekolah, tentu saja berjalan buru-buru, takut kedatanganya kalah cepat dengan guru pelajaran berikutnya. Dan memang, begitu dirinya dapat masuk, sedetik kemudian masuk guru jam pelajaran kedua, betapa lega rasanya.
Yanti, teman sebangkunya, hanya bisa geleng-geleng kepala dan kemudian memberinya tanda jempol sebagai penghargaan Nayna dapat bergerak cepat sehingga tidak keduluan Bu Marhamah, guru statistik yang mengajar pada jam pelajaran kedua yang dikenal killer itu. Kalau keduluan bisa dipastikan ia tentu akan mendapat hukuman. Ya, cukuplah satu hukuman saja, demikian selalu harapan Nayna setiap akan diajar Bu Marhamah pada jam pelajaran kedua.
Masih dengan keringat yang bercucuran, Nayna langsung mengikuti pelajaran, sungguh tak sempat menyeka sehingga setetes keringat jatuh ke atas buku dan merembes pada kertas melunturkan tulisan sehingga huruf-huruf yang dilaluinya seperti mabuk. Tapi secepatnya Nayna dapat mencegah rembes tetesan keringat itu lebih luas.
Jam pelajaran statistik berjalan dengan lancar dan Nayna mengikutinya dengan konsentrasi penuh sehingga dapat menangkap ilmu yang diajarkan sang guru.
Kemudian, teng, teng, teng! Bel berdentang mengakhiri pelajaran Sehingga anak-anak langsung siap-siap membereskan buku pelajarn untuk secepatnya istirahat.
Ya, jam istirahat tiba, tapi Nayna tidak ke kantin seperti yang biasa dilakukan teman-temannya, melainkan tetap di dalam kelas untuk makan dari kotak makanan yang sudah ia siapkan dari rumah. Nasi putih dengan lauk tempe dan sayur sop tentunya cukup membuatnya kenyang. Uang saku yang diberi sang ayah tak seberapa dan itu pun harus ditabung. Ia memang rajin menabung, meski uangnya tak seberapa, tapi sedikit demi sedikit ditabung tentu akan menjadi cukup untuk sebuah cita-cita dapat membeli formulir ujian masuk perguruan tinggi negeri. Sekolah di bangku SMU ia mendapat beasiswa jadi dapat meringankan beban ayahnya yang bekerja serabutan dan penghasilannya pas-pasan hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
“Lalu dimana ibumu sekarang?” bertanya Yanti karena saking penasarannya.
“Entahlah, aku tidak tahu ibuku sekarang dimana,” jawab Nayna dengan wajah yang begitu berat. Berat oleh rindu pada sang ibu yang telah meninggalkan dirinya sejak ia masih kelas empat SD dan adiknya pada waktu itu masih tiga bulan. Sang adik baru seumur jagung dan termasuk masih bayi karena baru beberapa bulan dilahirkan.
Adapun ibu yang sekarang berada di rumahnya adalah ibu tiri, tapi tidak kejam, seperti yang dulu ia takutkan karena termakan hasutan orang-orang untuk hati-hati pada ibu tiri yang biasanya kejam dan hanya cinta pada ayahnya saja.
Seorang ibu tiri yang dinikahi ayahnya hanya untuk menenami karena konon menurut orang-orang katanya lelaki paling tidak tahan hidup sendirian dan memang kesepian ditinggal pergi istrinya. Ya, ibu tirinya hanya bertugas menemani sang ayah, tidak ada yang dikerjakannya selain hanya menemani karena semua pekerjaan rumah, mulai dari masak, mencuci pakaian, menyapu halaman, mengepel lantai, sampai membersihkan kamar ayah dan adiknya. Semuanya dikerjakan Nayna sendirian saja. Sementara itu, adiknya masih terlalu kecil untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sebanyak itu dan ia amat sangat sayang dengan adiknya sehingga tidak ingin sang adik ikut susah-payah mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sangat melelahkan.
Sang ibu tiri tampak seperti manekin di etalase toko yang kesehariannya hanya merias diri, menampakkan senyum manis meski hidup bersama ayah Nayna pahit karena serba kekurangan, dan terakhir yang wajib dilakukan adalah ia harus bisa menemani sang ayah yang kesepian semenjak ditinggal ibu kandung Nayna yang pergi entah kemana.
“Masa sih ibu tirimu tidak mengerjakan apa-apa?” Yanti bertanya karena merasa kasihan mendengar semua pekerjaan rumah dikerjakan Nayna sendirian saja, betapa makin iba teman sebangkunya itu melihat keringat mengucur deras di kening Nayna yang tampak kelelahan. Kucuran keringat yang menyiratkan akan gegap semangat untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah demi mempertahankan rindu pada ibu kandungnya yang pergi entah sekarang dimana.
***
Sepucuk surat tampak kini sudah begitu kumal kondisinya yang di sana-sini penuh dengan jejak air mata sehingga tampak bukan surat lagi, ya, sudah seperti serbet mengelap meja, tapi isi tulisannya masih tetap dapat terbaca: “Jaga adikmu baik-baik.”
“Ibu, aku selalu menjaga adik baik-baik, “ bisik Nayna dalam hati sambil berurai air mata, terlebih tadi siang sepulang sekolah ia melihat ada seorang ibu menggendong anaknya dengan begitu cinta dan penuh kasih sayang, betapa kerinduannya pada sang ibu seperti terbendung dan kini deras mengalir air mata mengucur membanjiri perenungannya.
Sepucuk surat itu senantiasa dibaca Nayna sebelum maupun sepulang sekolah, juga sebelum dan sepulang pasar. Demi isi sepucuk surat itu ia tetap menjaga semangat sehingga air mata selalu mengucur setiap kali rindu pada ibu tak terbendung dan dengan sedu sedan ia selalu menumpahkan kerinduannya; “Ibu, sungguh, aku benar-benar ingin bertemu denganmu…“

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline