Sterilisasi Monas (Monumen Nasional) memiliki implikasi yang cukup besar, yaitu perdebatan panjang dan saling tuding menuntut pertanggungjawaban. Konflik ini sudah berlangsung cukup lama bahkan sampai beredar petisi Onlineuntuk mengubah kebijakan ini. Menarik untuk kita pelajari kenapa begitu banyak pihak yang menginginkan Monas dibuka untuk kegiatan keagamaan. Padahal Monas statusnya adalah lambang kenegaraan yang dibuka untuk umum yang sudah jelas tujuan dan batasan kegiatan bagi khalayak umum yang mengunjunginya.
Pertama kita bahas alasan masing-masing pihak kenapa Monas perlu disterilisasi dan kenapa tidak perlu. Bagi pihak yang memandang perlu, mereka menganggap Monas selaku fasilitas umum boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan karena Monas memang memiliki ruang terbuka yang luas dan daya tampung massa yang cukup tinggi. Menurut mereka kegiatan keagamaan perlu diberikan izin dan Monas dibuka untuk segala jenis acara keagamaan.
Namun, dari segi birokrasi, ketertiban, kebersihan dan keteraturan membuka Monas untuk kegiatan keagamaan akan menjadi bumerang. Bagaimana tidak, kebijakan ini bukan berniat mendiskriminasikan kegiatan keagamaan, namun coba kita pelajari dampak yang terjadi seperti saat dahulu kala saat Monas dibuka untuk kegiatan keagamaan. Pertama, jumlah peserta yang besar tentu menghasilkan sampah, entah banyak atau sedikit. Masalah sampah ini akan menyebabkan permasalahan kesehatan dan kebersihan di areal sekitar Monas
Kedua, jika satu kegiatan keagamaan diberikan izin, maka permintaan izin kegiatan serupa akan langsung membludak. Kalau tidak diberikan izin satu persatu, akan ada asumsi Pemprov DKI ‘pilih kasih’ terhadap suatu keagamaan tertentu. Di sisi lain, jika semua kegiatan keagamaan diberikan izin, pengelola akan kesulitan mengatur jadwal. Dilema lainnya jika terus-menerus ada kegiatan keagamaan yang diadakan di Monas, kapan pengunjung bisa berwisata dan menikmati ruang terbuka Monas?
Soal ketertiban, jika terlalu banyak kegiataan keagamaan dengan massa yang membludak, akan banyak PKL-PKL liar yang memenuhi Monas dan mengganggu ketertiban, padahal kini di Monas sudah ada fasilitas Lenggang Jakarta untuk memenuhi kebutuhan kuliner atau souvenir yang berkunjung ke Monas. Ketertiban yang sudah tercipta ini akan bermasalah apabila terlalu banyak kegiatan massal di Monas dan sekitarnya.
Terakhir, masalah otoritas, siapa yang sebenar-benarnya bertanggung jawab dalam memberikan kebijakan sterilisasi Monas? Selama ini banyak pihak yang menuding Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama lah yang bertanggung jawab, namun kenyataannya beliau hanya melakukan amanah sesuai arahan presiden. Sterilisasi Monas bukan Pergub (Peraturan Gubernur) tapi Keppres (Keputusan Presiden)."Itu bukan wewenang gubernur. Itu yang menentukan zona khusus Keppres," ujar Ahok.
Zona khusus yang dimaksud adalah Monas masuk area ring-1 yang artinya harus steril dari kegiatan-kegiatan massal karena lokasinya yang dekat dengan kompleks pemerintahan. Terkecuali demonstrasi yang sudah mengantongi izin Kepolisian, kegiatan-kegiatan massal memang tidak diperkenankan dilakukan di areal Monas. Semoga data dan fakta ini dapat meluruskan pandangan dan penilaian kita terhadap sterilisasi Monas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H