Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Mukhlis

TERVERIFIKASI

Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

Memulai Pendidikan yang ber-Tanggung Jawab

Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari icca-chem.org

Suatu ketika saya pernah di tegur oleh pimpinan Fakultas tempat saya mengajar karena ada beberapa mahasiswa melakukan audiensi (dengar pendapat mahasiswa-fakultas) yang melayangkan protes langsung kepada pimpinan Fakultas tentang metode pembelajaran yang saya terapkan di kelas. Mahasiswa menyayangkan metode saya yang berbeda dengan pengajar lainnya, dan terkesan memberatkan. Waktu itu saya hanya bisa bercanda dengan mengucapkan “membuat sesuatu memang lebih sulit daripada mengetahuinya pak, saya hanya mencoba memulainya”.

Hari ini kebetulan saya menemukan dan membaca (lagi) tulisan serupa ide dengan apa yang saya lakukan saat di kelas, silahkan di lihat disini http://www.kompasiana.com/sutiono/emotional-intelligence-antara-sekolah-knowing-vs-sekolah-being_559bc5cab37e61b110970213. Tulisan tersebut (kembali) mengulas dan mengkritisi tanggung jawab pendidikan dengan perilaku sebuah masyarakat. Penulis menuturkan perbedaan perilaku kecil macam menyebrang jalan dan membuang sampah antara masyarakat dengan arah pendidikan “knowing” dan arah pendidikan “being”. Semua masyarakat memang sudah tahu bahwa tempat sampah misalnya adalah tempat untuk membuang sampah, tapi tidak semua masyarakat membuang sampah pada tempat sampah.

Bagi saya tulisan tersebut sangat menarik nan inspiratif, namun tidak semena-mena bangsa kita tertinggal dalam hal pendidikan “being” dengan bangsa Eropa atau Amerika. Saya masih sedikit menaruh optimism bahwa perilaku bangsa kita sekarang dan sistem pendidikannya bukanlah warisan nenek moyang kita, artinya saya percaya leluhur kita dulu telah mengajarkan ke”arif”an yang luar biasa. Mengapa sekarang menjadi seperti ini? Saya masih percaya hal tersebut berkaitan erat dengan sejarah penjajahan dan gaya feodalnya.

Kembali lagi kepada pengalaman saya, lanjut cerita ternyata memang benar bahwa saya menjadi salah satu “target” audiensi mahasiswa terkait dengan metode yang saya gunakan (dalam mata kuliah metodologi penelitian kualitatif). Bahwa saya memang menggunakan metode yang sedikit berbeda dengan kebiasaan itu memang saya akui. Alih-alih menggunakan makalah atau tugas tulis seperti biasanya, saya lebih memilih untuk menyuruh mahasiswa menulis bebas (artikel, opini, esai, cerpen bahkan puisi) dalam konteks tema kuliah setiap minggu. Bagi saya, tugas kuliah bukan saja untuk saya sebagai fasilitator kelas, melainkan justru lebih penting untuk mereka (mahasiswa) dan seluruh masyarakat. Oleh karena itu saya mewajibkan setiap manusia membuat blog pribadi (saya menyarankan Kompasiana). Saya sering berkelakar di kelas, kenapa saya menugaskan tulisan tiap minggu? Karena saya ingin melihat mereka memiliki “tanda pengenal khusus” yang membedakan mereka dengan anak SD, SMP atau SMA. Karena rata-rata mereka semua sudah memiliki FB, Twitter, Path dll. Terus apa bedanya mahasiswa dengan anak SD, SMP atau SMA jika hanya memiliki status dan foto selfi di FB dan saudaranya?

Tentang ujian akhir, saya memilih tidak melakukannya dan lagi-lagi saya ganti dengan tugas riset. Saya lebih suka menilai mereka berdasarkan progress, baik aspek kognitif maupun emotif. Tak tanggung-tanggung juga, saya memberikan porsi 80% penilaian pada kedua aspek tersebut. Suatu ketika, di kelas yang lain (matakuliah psikologi perkembangan), saya juga tak segan menugaskan mahasiswa masuk ke sekolah-sekolah dan kelas-kelas untuk mempraktekkan karya cerita yang mereka susun serta untuk mengajak siswa bermain permainan tradisional. Saya tidak ingin mahasiswa hanya “tahu” tahapan perkembangan, namun juga mengerti, bisa dan melakukan hal kecil berkaitan dengan berbagai jenis perkembangan.

Apakah saya keliru dalam menerapkan hal tersebut di kelas? Apakah saya pernah berperilaku yang cukup mengecewakan mahasiswa? Atau apakah metode tersebut tidak nyambung dengan target matakuliah saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus saja saya pikirkan seharian tersebut. Sampai akhirnya saya menemukan clue tentang inti tuntutan mahasiswa, yaitu kata “memberatkan”. Disini saya kemudian terkagum dan terkaget. Benarkah mahasiswa yang pemberani (biasanya disebut aktivis) melakukan audiensi yang penuh resiko itu hanya untuk menuntut hal kecil macam tugas kuliah? Bukankah mereka idealis dan progresif, mengapa merasa terbebani? Ataukah memang waktu yang menjadi masalahnya, sehingga mereka merasa terbebani?

Pada dasarnya apa yang saya alami, mirip dengan apa yang dialami penulis dalam link tulisan diatas. Mahasiswa tahu (knowing) bahwa pengetahuan harus terus di kembangkan, namun sekaligus beberapa diantara mereka juga ogah melangkah lebih jauh untuk mengembangkan pengetahuan (being). Mereka tahu tulisan hasil perkuliahan, tugas, makalah dan lainnya (biasanya sangat formal dan berbelit-belit) tidak akan lebih berguna jika hal tersebut dikemas dalam tulisan sederhana popular dan bisa diakses/dibaca semua kalangan melalui blog. Mereka juga tahu bahwa riset adalah nafas dari ilmu, namun sekaligus mereka lebih memilih ujian tulis (untuk mendapatkan nilai) daripada melakukan riset.

Semua metode hanyalah cara manusia untuk mendekati hal-hal yang dianggap ideal. Saya dan anda selalu melakukannya setiap saat dimanapun juga (mungkin) menggunakan metode yang berbeda. Namuan saya yakin kita semua bersepakat bahwa pendidikan berkepentingan bukan hanya mengantarkan manusia untuk tahu, namun lebih dari itu untuk mengantarkan manusia bertanggung jawab atas setiap yang mereka ketahui.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline