Adaptasi yang belum berjalan mulus menciptakan rantai stres yang mengerikan antara murid-sekolah-orangtua.
Saat pertama ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tanggal 30 Maret Tahun 2020, pandangan optimis bahwa pembelajaran online akan segera berakhir saat semuanya kembali normal.
Faktanya, saat ini pembelajaran online telah memasuki semester keempat, tahun ketiga akademik.
Entah sampai kapan sekolah harus menggantungkan sebagian besar keberlangsungannya pada teknologi konferensi video, mulai dari Google Meet, Skype, Zoom, Lifesize, Microsoft Teams dan masih banyak lagi. Sudah saatnya kita berdamai dengan kondisi dan menyiapkan segalanya lebih baik dari sebelumnya.
Kita harus bangun dari kondisi frustrasi. Tidak usah berkilah, bahwa kita mulai frustrasi dengan saling tuduh.
Wali siswa merasa tertekan dengan beban baru yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan, mendampingi secara intensif anak bersekolah --mendadak menjadi guru. Lihat saja aneka bentuk ungkapan perasaan mereka di media sosial.
Di pihak lain, tekanan pada lembaga pendidikan dan guru juga tidak kalah besar. Selain merasa tertuduh terus-menerus karena dianggap 'tidak bekerja' dan hanya memberikan tugas, energi mereka terkuras habis untuk bermigrasi ke pendidikan online.
Mulai dari kesulitan menyiapkan materi, berhubungan dengan fasilitas minim seperti jaringan internet dan perangkat komputer minim saat pembelajaran, kesulitan evaluasi, dan masih banyak lagi.
Guru yang awalnya cukup sekali menjelaskan, sekarang bisa berkali-kali bahkan seperti menjadi tutor privat.
Bayangkan saja, gawai mereka selalu sibuk dengan komplain wali siswa.