Di antara banyak emosi dasar, marah merupakan jenis yang jarang mendapatkan tempat yang sesuai dalam kategori perilaku (budaya) kita. Mengapa demikian? Saya tetap meyakini setiap budaya memiliki cara yang adaptif dalam mengekspresikan setiap emosi manusia, termasuk emosi marah.
Bahkan sampai saat ini saya masih percaya 100% keseluruhan budaya manusia menyepakati bahwa marah atau kemarahan adalah salah satu simbol kualitas kemanusiaan. Dia harus terlebih dulu ditaklukkan manusia guna strata kemanusiannya. Jadi masalahnya adalah terkadang cara-cara budaya kita seringkali tereduksi oleh cara berpikir instan yang mengedepankan hasil tanpa menikmati prosesnya.
Seperti kebanyakan orangtua, saya juga terkadang lupa dan merasa frustrasi dengan ekspresi marah anak-anak. Secepatnya saya merasa ingin mengalahkan kemarahan anak saya dan mengakhiri konflik menurut cara saya sendiri.
Orang tua secara jamak disebut malu untuk mengakui bahwa mereka terbebani oleh perilaku anak-anak mereka yang dianggap "sering" marah. Bagi kebanyakan kita (orangtua/dewasa), marah seolah-olah hanya hak manusia dewasa, anak-anak dan masa kecilnya tidak behak mengekspresikan emosi tersebut. Kita bahkan menyebut ekspresi marah anak sebagai perilaku yang melulu buruk.
Tulisan saya sebelumnya telah sedikit mengulas tentang bagaimana paradigma kita terkadang melulu mengejar "prestasi" akademik anak tanpa mengindahkan sisi emosional mereka. Lihat saja cara kita memilihkan sekolah untuk anak-anak kita. Tren memilih sekolah dengan indikator "bangunan fisik" merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan sosioemosional belum masuk agenda orangtua.
Jika terkait kemarahan mereka, kita dengan enak mengutipkan ayat suci atau hadist tentang kemarahan, bahkan terkadang menghardik mereka bahwa marah itu tidak baik, temannya syetan dan masuk neraka. Kita lupa, mereka membutuhkan seperangkat cara untuk mengendalikan dan mengekspresikan emosinya secara tepat.
Apakah marah itu, dan apakah itu buruk?
Marah dan kemarahan merupakan salah satu emosi dasar manusia. Kemarahan adalah perasaan neurofisiologis dasar, primal, spontan, namun sementara. Kemarahan seringkali dipicu oleh semacam frustrasi dan sering dianggap sebagai keadaan yang tidak menyenangkan. Sebagai salaah satu jenis emosi, kemarahan adalah nyata dan sangat kuat, namun tapi tidak perlu ditakuti, ditolak, atau dianggap buruk (baik dalam dan dari dirinya sendiri).
Nyatanya, semua makhluk hidup pasti pernah bertemu dengan keadaan frustrasi, yaitu keadaan dimana kita merasa apa yang kita inginkan (goal) sedang berada pada ancaman kegagalaan atau bahkan sudah pasti gagal. Jadi, jangan kege-eran, jangankan anak-anak (yang dia juga manusia), hewan saja juga mengalami keadaan frustrasi. Oleh karenanya hewan juga memiliki emosi marah. Masalahnya adalah apakah kita ingin membedakan diri kita dengan hewan atau tidak?
Kembali ke budaya, jika masih ada yang mengatakan bahwa budaya kita melarang kita untuk marah, saya rasa mari kita uraikan sebab-musababnya. Lebih tepat kalau kita mengatakan bahwa yang dilarang bukanlah marah atau kemarahan, namun bagaimana kita memilih ekspresinya.
Membedakan marah dengan ekspresinya