Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Mukhlis

TERVERIFIKASI

Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

Leisure Activity, Keluar dari Rutinitas dan Psikologi Positif

Diperbarui: 10 Agustus 2017   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dokumentasi pribadi

Diawal masa perkuliahan dan pembelajaran, seringkali dinding FB dan twitter dipenuhi dengan status dan kicauan mahasiswa atau pelajar yang terbebani dengan tugas kuliah. Ada yang hanya mengeluh, sampai ada yang terkesan marah-marah. Tanggungjawab dan beban sosial seringkali menjadi prediktor kuat munculnya gejala stress. Kalau kita membuka kembali keluhan di dinding sosmed kita, saya rasa banyak sekali keluhan muncul setiap harinya dari berbagai latar belakang profesi. Karyawan sering mengeluhkan beratnya target yang dibebankan kepada mereka. Pengusaha penat dengan manajemen usaha yang harus diawasi dengan ketat. Ibu rumah tangga menjerit karena rutinitas rumah tangganya, sampai-sampai presiden-pun seringkali dianggap mengeluh dalam pidatonya.

Benarkah kita sedang dilanda stress?? Depresi?? Atau malah kita yang begitu manja dan seringkali mengeluh dengan tanggungjawab hidup kita masing-masing. Masalah lain adalah kapan kita menganggap tanggungjawab sebagai beban hidup? Kapan juga kita menganggap itu sebagai arus kehidupan yang harus kita nikmati?

Hidup, merupakan definisi tanpa henti tentang berbagai dimensi, salahsatunya tentang tanggungjawab. Tanpa tanggungjawab, manusia akan tercerabut dari akar sosiokulturalnya. Itu tentu menghilangkan esensi kemanusiaan, manusia tanpa definisi.

Psikologi dalam berbagai kajiannya secara mendalam telah berusaha mendefinisikan kesehatan mental manusia. Sayangnya, seringkali kita terjebak pada tataran sisi lain dari kesehatan, yaitu penyakit, sakit dan abnormal. Meskipun dewasa ini psikologi berkembang pada ranah pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan manusia atau kita kenal dengan sebutan psikologi positif (Linley dan Joseph, 2004). Paradigma tersebut kemudian secara tidak langsung memberikan stigma bahwa psikologi (termasuk professional, ilmuan dan sarjana yang lahir darinya) hanya menyediakan penanganan (pengobatan) bagi mereka yang telah dilabeli (didiagnosa) sakit jiwa. Paling pol, psikologi sekarang juga dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lolos tidaknya seseorang dalam kerja dan kenaikan jabatan. Hal tersebut belum mampu menjawab keramahan dan kedekatan ilmu psikologi dengan masyarakat.

Kembali pada fenomena keluhan di sosmed. Selintas, itu merupakan sebagai bentuk katarsis yang wajar. Namun jika lebih jeli lagi, banyak sekali keluhan di sosmed yang berujung pada tuntutan hukum. Mulai dari kasus PM dengan salah satu Rumah Sakit swasta sampai terakhir yang paling hot tentu kasus FS dengan masyarakat Yogyakarta. Dalam kondisi tertekan, apapun dapat kita lakukan, apapun dapat terjadi, sayangnya sebagian besar dari kita tidak memperhitungkan efek dari perilaku kita saat tertekan. Tekanan psikologis dan perilaku yang ditimbulkannya terjadi begitu cepat tanpa kontrol penuh dari kesadaran kita saat itu.

Saya tidak ingin menawarkan anda terapi atau apapun intervensi psikologis, karena saya tahu sebagian besar dari anda menganggap itu wajar dan harus diselesaikan dengan cepat. Diselesaikan dengan cepat, itulah pikiran umum kita. Seperti halnya sakit kepala, sakit perut, pegal-pegal. Gejala stress seperti mengeluh, marah, sedih, dan lainnya juga harus diselesaikan dengan cepat dan tepat. Inilah seharusnya ranah aplikasi psikologi positif, sebagai generasi terbaru psikologi sebagai ilmu pengetahuan. 

Tekanan, dapat lahir dari manapun, salah satunya dari tanggungjawab keseharian kita. Jika kita sepakat dengan penyelesaian cepat dan tepat, saya akan mengajak anda untuk melihat aktivitas keseharian anda. Pertanyaannya adalah, adakah anda meluangkan waktu diluar rutinitas wajib anda untuk diisi dengan aktivitas yang paling anda sukai?

Pelajar, mahasiswa, karyawan, pengusaha sampai presiden-pun kadang lupa dengan hal ini. Melulu kita dipaksakan untuk menyelesaikan tanggungjawab tanpa memberikan jeda mental mereka untuk berekreasi. Dalam psikologi, istilah ini disebut sebagai leisure activity. Leisure activity berbicara tentang pemanfaatan waktu luang untuk diisi dengan kegiatan menyenangkan diluar aktivitas resmi seperti bekerja, kuliah dan sekolah (Han dan Patterson, 2007). Dalam berbagai penelitian terbaru, mereka yang merencanakan dan meluangkan waktu untuk leisure activity memiliki tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis yang tinggi. Studi lain menyebutkan leisure activity membawa individu kepada perasan positif terhadap orang lain, ini dapat dilihat dari bagaimana cara individu berteman, menambah teman, sampai pada menghargai orang lain (Brooks & Magnusson, 2007; Han & Patterson, 2007; Trainor, Delfabbro, Anderson & Winefield, 2010).

Artinya, jika anda merasa aktivitas overload, bosan dan mulai terbebani dengan hal tersebut, sudah saatnya anda merencanakan ulang aktivitas keseharian anda. Merencanakan? Iya, sebaiknya leisure activity direncanakan, begitu kata Hertting dan Kostenius dalam penelitian yang dilakukan di Swedia tahun 2012. Perencanaan kembali aktivitas keseharian kita dengan menyisipkan aktivitas menyenangkan dirasa sangat penting untuk menghindari burn-out, bosan, stress dan keluhan lagi.

Sperti yang pernah saya lihat dan teliti di desa batik Lasem Jawa Tengah, bahwa salah satu mengapa senyum ikhlas banyak saya temukan pada ibu-ibu buruh batik adalah karena membatik merupakan pekerjaan sampingan mereka setelah pekerjaan sebagai ibu rumah tangga selesai di sore hari. Ibu-ibu di desa Tuyuhan misalnya mengaku dengan membatik mereka menemukan kebahagiaan. Bukan hanya karena upah yang mereka terima, namun juga karena mereka merasa menjadi bagian dari pelestarian budaya, belum lagi mereka merasakan kebanggaan luar biasa jika batik Lasem diberitakan dalam media masa.

Apakah aktivitas leisure harus menghasilkan pundi-pundi finansial? Tentu tidak. Aktivitas ini lebih pada restart psikologis keseharian kita. Apapun yang menyenangkan seharusnya bisa anda rencanakan setiap harinya. Jangan tunggu sampai akhir pekan jika anda merasakan hari libur tidak menambah emosi positif anda. Bisa saja anda suka melukis, padahal anda adalah seorang kepala dinas misalnya. Atau anda suka menggambar, padahal anda adalah guru matematika. Aktivitas lainnya masih sangat banyak, seperti membaca, bernyanyi, ngegame, memancing, bersepeda, olahraga, jalan-jalan atau bahkan dengan beribadah. Asalkan aktivitas tersebut memberikan kontribusi positif diluar aktivitas rutin anda dan tidak merugikan orang lain.

Cukup mudah bukan? Daripada anda ngomel, menulis dan berkicau tentang keluhan anda, lebih baik anda merencanakan aktivitas diluar rutinitas anda. Namun anda juga perlu mengingat, leisure time merupakan waktu luang diluar aktivitas rutin, jangan sampai anda malah bermain dan melupakan aktivitas keseharian anda.

Selamat mencoba dan jangan lupa sebarkan kabar gembira pada orang lain :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline