Lihat ke Halaman Asli

Iran, Apakah Cuma Sekedar Program Nuklir..?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Program nuklir yang terus dikembangkan oleh Iran rupanya membuat beberapa negara jadi agak ‘gerah’. Padahal berbagai cara hingga pemberian sangsi embargo telah dilakukan, namun rupanya semua itu seakan sia-sia. Apalagi sejak negara-negara maju (Barat) tidak ada niatan memberi kesempatan tukar-menukar uranium dengan Iran. Kejadian itu malah direspon dengan peningkatan pengayaan uranium sebesar 20 persen oleh Iran, yang tentu saja semakin mendorong Amerika Serikat untuk terus lebih menekan. Menurut negara-negara Barat, tingkatan tersebut lebih dari yang dibutuhkan bagi pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai. Lah yang segitu saja sudah dicurigai tapi yang lebih dari itu malah dibiarin? Itulah yang disebut kebijakan standar ganda.

Belum lama ini sempat dibantah jika pesawat pengintai tanpa awak (drone) milik AS jatuh di tembak di wilayah Iran. Tapi kenyataannya memang pesawat itu tidak ditembak jatuh tapi malah ia mendarat mulus dengan resiko kerusakan kecil. Bantahan tentu saja digulirkan AS demi menjaga kredibilitas kemampuan persenjataannya di media masa. Untuk meyakinkan dunia, Garda Revolusi Iran pun akhirnya merilis video yang menampakkan pesawat pengintai tersebut. Pesawat yang mempunyai nomor ekor RQ-170 Sentinel serta memiliki kemampuan antiradar dan rupanya tinggal landas dari Afghanistan.

Bagi Iran tindakan penyusupan itu dianggap suatu agresi dan Iran pun protes secara resmi baik kepada Afghanistan maupun Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon. Seakan berita gembira yang harus dirayakan, tak lama kemudian Cina dan Rusia pun mengajukan permohonan izin agar supaya bisa menikmati ikut meneliti pesawat berteknologi canggih yang diproduksi oleh Lockheed Martin itu. Kebalikannya di negeri sendiri, berita dibajaknya pesawat ini merupakan kabar pukulan telak bagi AS.

Iran rupanya telah belajar dari pengalamannya selama ini berinteraksi dengan Barat dan itu semua dijadikan bekal bahwa Iran mampu mandiri tanpa mau diatur maupun disetir kebijakannya. Julukan “Iran memprovokasi dunia” pun seakan hanya dianggap angin lalu, bahkan diikuti dengan berbagai sangsi embargo senjata dan ekonomi oleh negara-negara Barat. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah keadaan ekonomi dunia kali ini tengah terpuruk. Berselisihnya negara-negara Uni Eropa dengan Inggris dalam menargetkan kesatuan fiskal lebih ketat untuk mengakhiri krisis utang terburuk di Eropa menjadi persoalan tersendiri, apalagi AS sangat tergantung sekali akan pasar Eropa. Sedang Iran malah berjaya seiring dengan meroketnya harga minyak.

Kabar akan penyerangan Iran akhir-akhir ini sering didengar di berbagai media masa, walaupun para analis meyakini kalau perang di abad ke-21 ini telah pecah. Bukan tanpa dasar yaitu dibuktikan dengan kejadian meledaknya beberapa fasilitas-fasilitas Iran secara misterius. Gaya berperang model sabotase dan spionase pun telah dilakukan keduanya. Selain meminimalisir resiko banyaknya korban manusia yang berjatuhan juga menghemat biaya peralatan tempur, bahkan bisa dibilang lebih efektif dalam keadaan terpaan isu ekonomi yang tidak jelas. Paling tidak pengalaman AS dalam perang Irak dan Afghanistan memberikan benturan tersendiri baik oleh warga negerinya maupun warga dunia.

Pilihan untuk menyerang sebagaimana yang diinginkan sekutu AS yaitu Israel rupanya terlalu berisiko. Selain bisa memicu insiden yang lebih besar, Iran ini juga memiliki kekuatan militer terbesar di Timur Tengah disamping Israel. Kekuatan pasukan Iran terdiri dari 545 ribu personel aktif. Jumlah tersebut belum termasuk personel kepolisian dan tentara Garda Revolusi yang sangat ditakuti.  Personel cadangannya berjumlah 650 ribu, ditambah lagi relawan paramiliter yang dikenal sebagai Basij dengan jumlah anggotanya mencapai sekitar 12,6 juta orang.

Dengan anggaran pertahanan US$9.17 miliar dolar, personel militer Iran pun diperkuat dengan persenjataan yang cukup canggih. Termasuk rudal Shahab-3, yang diyakini Israel mampu menjangkau hingga 2.000 km. Iran juga memiliki rudal Ghadr-1 yang daya jelajahnya menjangkau 1.800 km dan rudal Sejjil dengan jangkauan 2.000 km. Pengalaman Iran akan embargo persenjataan menjadikan Iran mandiri akan memproduksi senjata dalam negeri sejak 1992, yang mana industri militernya telah berhasil memproduksi tank, kendaraan lapis baja, rudal pandu, kapal selam, sistem radar, jet tempur dan kapal militer.

Belakangan ini, Iran juga secara resmi mengumumkan pengembangan senjata seperti Fajr-3 (MIRV), Kowsar, Hoot, Fateh-110, sistem rudal Shahab-3 dan pesawat tidak berawak. Ini akan menjadi lebih canggih lagi jika Iran mampu mengakses dan memanfaatkan teknologi canggih yang dimiliki pesawat drone AS. Tapi kemampuan pesawat drone Iran pun telah teruji ketika mampu mengikuti kapal tempur AS USS Ronald Reagan selama 25 menit tanpa terdeteksi sebelum kembali ke pangkalannya.

Ketakutan AS dan sekutu-sekutunya terhadap Iran tidak hanya sekedar program nuklir saja, namun nyatanya lebih dari pada itu. Keadaan alam Timur Tengah yang kaya akan minyak merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lebih daripada sekedar program nuklir semata. Buktinya negara-negara Uni Eropa pun masih bertentangan akan embargo Iran karena mereka pun masih mendapat pasokan minyak dari Iran. Iran pun sejak awal telah menjalin aliansi dengan Rusia dan Cina guna meredam AS dan sekutunya yang nampaknya berjalan dengan baik. Selain itu Rusia dan Cina juga tidak ingin sumber daya alam Iran jatuh ke Barat. Sepertinya strategi aliansi regional meredam ekspansi AS berhasil terus diupayakan oleh Iran.

Jika cuma masalah program nuklir, ada banyak negara memilikinya, bahkan mempunyai hulu ledak luar biasa dan jumlah yang lebih banyak dari Iran. Kemudian jika keadilan yang diutamakan maka tiap negara berhak memilikinya, namun pertanyaannya apakah hanya sekedar program nuklir saja kemudian Iran menjadi bulan-bulanan embargo negara-negara Barat? Yang pasti Iran sebagai negara yang berdaulat tidak akan terima ketika wilayahnya di ‘obok-obok’, harga diri bangsa itu penting dan ketegasan pemimpin negaranya itu lebih penting. Itu semua nampaknya telah ditunjukkan oleh Iran sebagai pelajaran yang berarti buat bangsa-bangsa lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline