Oleh: Akhmadi Swadesa
RUMAH sederhana namun besar yang terbuat dari kayu atau papan pilihan itu, terasa amatlah besarnya ketika yang menghuni hanya tinggal sepasang suami-istri yang telah berusia lanjut. Pak Toha, berumur enam puluh tahun lebih, dan Bu Jamilah yang kini berusia menjelang lima puluh tahun.
Ke tiga anak kandung mereka; Pritem, Sardi dan Anisah, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di kota-kota yang jauh. Anisah malah di luar negeri, karena bersuamikan orang asing.
Yang pasti, hanya satu kali saja dalam setahun mereka bisa berkumpul, yaitu pada saat lebaran Idhul Fitri. Ketiga anak-anak Pak Toha dan Bu Jamilah pada saat itu datang memboyong anak-anak mereka, beserta istri-istri dan suami datang mengunjungi orangtua atau mertua mereka. Menjadi ramailah rumah itu, penuh canda-tawa para anak serta mantu dan cucu-cucu yang lucu-lucu dengan beragam tingkah-polahnya.
Sebelum Pritem dan Sardi berumahtangga, meskipun mereka sudah tinggal dan bekerja di kota-kota yang jauh itu, namun pada waktu-waktu tertentu, atau mereka sedang cuti, dalam beberapa bulan bergantian saja Pritem dan Sardi pulang menjenguk kedua orangtuanya. Namun, setelah mereka menikah dan memiliki anak, hal itu tidak dapat mereka lakukan lagi, kecuali pada saat hari lebaran saja setahun sekali. Berbagai kesibukan yang mereka geluti sebagai kepala keluarga, membuat mereka tidak dapat lagi sering-sering pulang kampung menemui bapak dan ibunya.
Demikian pula dengan si bungsu Anisah. Gadis itu memang, boleh dikata, yang paling lama tinggal bersama kedua orangtuanya. Ketika kedua kakaknya, Pritem dan Sardi, sudah berangkat ke kota lain untuk bekerja meraih peruntungan, Anisah dari kecil hingga menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi, lantas bekerja di perusahaan milik orang asing dan kemudian mendapatkan jodoh pula di situ -- saat itu dia masih berkumpul serumah bersama Pak Toha dan Bu Jamilah, bapak dan ibunya. Anisah baru diboyong suaminya ke luar negeri setelah mereka memiliki seorang anak lelaki berumur setahun ketika itu.
Setelah semua anak-anaknya pergi meninggalkannya, paripurnalah sudah rasa kesepian yang melingkupi Pak Toha dan Bu Jamilah. Agar hari-hari yang dilewati tidak terasa suntuk dan membosankan, pasangan yang telah beranjak senja itu, menyibukkan diri dengan bercocok tanam di halaman di sekitar rumah. Berbagai jenis tumbuhan yang berguna mereka tanam, hasilnya bisa mereka manfaatkan sendiri.
Kegiatan rutin yang lain selain berkebun, yang kerap dilakukan Pak Toha dan Bu Jamilah, adalah memberi makan kucing-kucing liar yang mereka berdua temui di mana saja, terutama di taman-taman kota atau di kawasan pasar-pasar tradisional.
Ada kebahagian tersendiri yang dirasakan Pak Toha dan istrinya, Bu Jamilah, saat memberi makan kucing-kucing liar itu, yang nampak sangat kelaparan dan rakus, sehingga makanan yang diberikan sebentar saja habis dilahab tanpa sisa.
"Binatang juga sama seperti manusia, Pak. Kalau sedang kelaparan, makannya lahap sekali," kata Bu Jamilah beberapa waktu lalu.
"Memang. Tapi manusia bisa lebih rakus lagi dari binatang, Bu. Manusia bisa makan banyak proyek. Apa saja bisa dimakannya, seperti semen, tiang listrik, dan sebagainya," sahut Pak Toha sambil tertawa.