Oleh: Akhmadi Swadesa
Di Balai Desa, hari ini, sedang berlangsung acara peringatan Hari Anak Nasional. Beberapa acara hiburan telah disuguhkan oleh para anak-anak dari berbagai tingkat pendidikan. Mulai dari TK hingga SMA. Meriah sekali.
Itu merupakan acara pembukaan. Setelah itu pidato-pidato dari para tokoh masyarakat. Lantas puncaknya, adalah pidato dan wejangan dari pak Camat, bapak Jaron Punjadi.
"Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli ini, saya kembali mengingatkan kepada para orangtua, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, untuk selalu memperhatikan anak-anaknya, memberikan hak mereka berupa kasih sayang yang tulus, hak mereka untuk bermain dengan riang gembira, dan sebagainya," kata pak Camat memulai isi pidatonya.
Beberapa orang ibu mencibirkan bibirnya mendengar kata-kata pak Camat itu.
"Sok tua, seperti sudah biasa punya anak aja. Kawin aja belum," bisik bu Ronah.
"Beristri dulu sampeyan, Pak Camat, punya anak dulu, baru boleh menasehati orang yang sudah berkeluarga dan punya anak seperti kita," timpal bu Soudah.
"Saya sumpahin dia biar cepat dapat istri," bisik ibu yang lain, tertawa.
Pak Camat terus saja berpidato. Hampir setengah jam lamanya. Dan ketika acara bubaran, seorang ibu berusia sekitar empat puluh tahunan, datang menghampirinya.
"Bapak Camat, Jaron Punjadi, masih ingat saya?" tanya wanita itu sambil tersenyum.
Jaron sesaat tertegun. Nanap ditatapnya ibu itu. Lantas lelaki bujangan yang merupakan orang nomor satu di desa itu, tersenyum lebar.
"Ibu Saniah...Oh, tentu saja. Lama betul kita tidak ketemu, Bu," sahut Jaron, sambil mengajak bersalaman.
"Iya. Hebat kamu sekarang, Ron. Kalau aku bersama anakku si Tuti tidak tersesat kemari, rasanya tidak bakal bertemu dirimu."
"Oh, Ibu bersama si kecil Tuti yang dulu itu?"
"Ngawur kamu, Ron. Eh, Pak Camat. Si Tuti sekarang sudah bukan kanak lagi."
"Di mana dia sekarang?"
"Itu, nunggu di warung Soto Banjar di samping Balai Desa ini. Yuk, kita samperin dia."
Ibu Saniah adalah pemilik rumah kos-kosan di ibukota provensi. Jaron yang berasal dari kota kecamatan, begitu selesai SMA-nya, langsung meneruskan kuliahnya di ibukota provensi dan indekos di rumah kos ibu Saniah itu, hingga pendidikannya di Perguruan Tinggi itu selesai. Itu dulu sekali. Sudah banyak tahun yang lewat. Dia sangat mengenal keluarga bu Saniah, termasuk Tuti salah satu putri dari ibu itu, yang saat dia masih kuliah, gadis itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
"Saya sangat terkesan mendengar pidatomu tadi, Ron. Betapa kita memang harus menyayangi anak-anak kita, dari mulai dalam perut ibunya. Sekarang Hari Anak Nasional. Relevansinya dengan tema dan isi pidatomu tadi, sangat tepat," kata bu Saniah sambil berjalan di sisi Jaron.
"Terima kasih, Bu Saniah. Sudah seharusnya kita melimpahkan rasa sayang kita yang tulus kepada anak-anak kita...."
"Tapi, sayang sekali kamu belum menikah, Ron. Belum punya istri. Jadi isi pidatomu tadi belum bisa kamu aplikasikan ke dalam kehidupan nyata."
Wajah Jaron bersemu merah. Ada rasa malu menghinggapinya mendengar ucapan jujur bu Saniah itu. Iya ya, kapan kiranya aku memperoleh jodoh dan beristri ya? tanya Jaron kepada diri sendiri.
Dan di meja pojok di rumah makan Soto Banjar itu, nampak duduk seorang gadis manis sambil menghadapi segelas jus alpukat yang sisa setengah gelas. Piring dan mangkok yang telah kosong bekas menu Soto Banjar, masih ada pula menggeletak di atas meja itu.
"Tuti sayang. Ayo, tebak! Siapa yang bersama ibumu ini?" kata bu Saniah dalam nada tanya, kepada gadis manis itu.
"Hallo, Tuti. Masih ingat sama saya?" tanya Jaron.
Tuti hanya menggeleng, tersenyum.
"Ini lho, Tut. Yang dulu indekos di rumah kita. Mas Jaron. Yang dulu sering kamu antarkan kopi panas ke kamarnya."
"Oh," kata Tuti, tersenyum malu.
"Mas Jaron ini, sekarang jadi Camat di sini. Hebat kan?"
Semua tertawa. Jaron mengajak Tuti bersalaman. Ketika Tuti berdiri, Jaron terkesima. Ternyata gadis itu memakai baju yang gombor, karena sedang hamil.
"Oh, sedang berbadan dua rupanya," komentar Jaron, tertawa kecil, tapi sekaligus juga hatinya kecewa menerima kenyataan itu. Dia berharap Tuti masih sendiri. Tapi ternyata?
"Tuti sedang hamil tujuh bulan jalan, Ron," jelas bu Saniah, suaranya berubah lirih. "Tapi ini takdir...Kasihan sekali dia. Sungguh. Semua ini memang harus kita terima. Mau bagaimana lagi...."
"Memang ada apa, Bu Saniah?"
"Pak Camat tentu tahu kejadian sebulan lalu di desa ini. Seorang staf perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bernama Delon, tewas secara mengenaskan, akibat tertimpa bongkahan tandan buah kelapa sawit yang dia dodos atau galah. Itu sebenarnya kan bukan tugas atau pekerjaannya. Dia sudah di posisi wakil manager, yang kerjanya banyak di belakang meja. Tapi hari itu memang na'as. Dia turun ke lapangan melihat para pekerja yang sedang bekerja memanen buah kelapa sawit. Dia memohon untuk mencoba mendodos atau menggalah tandan buah kelapa sawit dari pohonnya yang sudah mulai tinggi, meskipun para pekerja sudah berkali-kali melarangnya. 'Ini bukan pekerjaan Bapak, tapi pekerjaan kami,' kata para pekerja itu. 'Tidak apa, aku cuma mau tahu, mau mencoba, betapa kerja memanen buah kelapa sawit bukanlah kerja yang mudah,' jawab Delon sambil meraih galah panjang yang pada ujungnya terikat pisau pemotong yang sangat tajam. Dan akibatnya, seperti itulah, dia tewas kejatuhan tandan buah kelapa sawit yang keras dan berat itu. Nah, Delon itu adalah mantuku, Ron. Suami si Tuti ini. Mereka baru menikah setahun lalu. Yang dalam kandungan Tuti ini adalah anak pertama mereka. Oh, kasihan sekali anakku...." Air mata berlinang di pipi bu Saniah.
Jaron terdiam mendengar cerita itu. Sebagai camat, dia pun sudah mendengar peristiwa kematian Delon yang tragis dan mengenaskan itu. Namun, baru sekarang dia tahu, kalau lelaki yang bernasib malang itu adalah suaminya Tuti, putri bu Saniah.
"Bagaimana tanggapanmu Pak Camat, Jaron Punjadi?" tanya bu Saniah, setelah lama mereka terdiam.
"Bagaimana apanya maksud, Ibu?" Jaron balik tanya. Heran.
"Lho, Tuti dengan anak yang dikandungnya ini. Sekarang kan Tuti, telah menjadi janda?"
Jaron terkejut mendengarnya. Merah padam wajah lelaki tiga puluh lima tahun yang masih hidup sendiri itu.
"Menurut Bu Saniah, baiknya bagaimana?"
"Saya sih oke saja. Nggak keberatan. Tuti juga. Kandungannya, seperti yang kukatakan tadi, sudah jalan tujuh bulan. Kasihan kan, kalau jabang bayi itu nantinya lahir tanpa ayah. Saya rasa ini jodoh yang manis untukmu, Ron."
"Ah, Ibu ini." Jaron tertawa riang. Dia tatap Tuti. Gadis yang sangat manis, dan masih muda pula, gumam Jaron.
Wanita muda yang sedang hamil itu pun tersenyum tipis, dan menunduk.
"Kalau memang semuanya sudah oke. Saya rasa tidak perlu banyak pertimbangan lagi. Saya juga suka sama Tuti, suka saya sama dia sejak dia masih kecil. Itu jujur lho, Bu Saniah. Saya akan menikahi Tuti, dan menganggap anak yang dalam kandungannya itu sebagai anak saya sendiri," kata Jaron, tapi ucapannya itu tidak bisa didengar oleh bu Saniah dan Tuti, karena Jaron hanya bicara dalam hati.
"Bagaimana, Ron? Bersedia kan...." Bu Saniah bertanya lagi, tapi itu hanya pura-pura, sebab dari sikap dan sinar mata Jaron, wanita paruh baya itu tahu kalau Jaron memang menyukai Tuti, putrinya yang bernasib malang itu.
Bu Saniah kemudian, tanpa disangka Jaron dan Tuti, meraih kedua tangan makhluk berlainan jenis itu. Lantas menyatukan tangan kanan Jaron dan tangan kanan Tuti. Kedua tangan itu akhirnya berkait. Jaron meremas lembut jemari tangan Tuti yang putih mulus dan menggemaskan. Dengan gerakan lembut, Tuti juga membalas remasan tangan Jaron itu.
Jodoh yang manis! ***
Samarinda, 23/7/'24. Selamat Hari Anak Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H