Lihat ke Halaman Asli

Rindu Kekasih

Diperbarui: 19 Juli 2024   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa

     HUBUNGANKU dengan Mayani terjalin kembali, setelah sekian lama terputus karena kesibukan kami masing-masing. Aku melanjutkan kuliah di ibukota provensi, Mayani tetap di kampung halaman, menjadi guru TK, sekaligus mengelola rumah usaha berbagai macam kerajinan dari bahan rotan.
     Dan ternyata rasa cinta di hati kami pun belumlah padam.
     Hari Minggu aku mengajak Mayani mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah kami kunjungi, saat memadu kasih di masa-masa SMA. Tempat favorit kami dulu adalah bukit berbunga yang terletak di bagian selatan desa. Ke sanalah kami sekarang menuju.
     Kami berjalan kaki saja menyusuri jalan setapak yang menanjak, yang di kiri-kanannya dipenuhi semak belukar pohon keremunting yang buahnya berwarna ungu. Buah keremunting itu dapat di makan dan rasanya manis --disukai oleh anak-anak--namun akan meninggalkan warna ungu seperti tinta pada bibir dan gigi, jika tidak buru-buru membasuhnya dengan air.
     Sepanjang perjalanan, Mayani banyak bercerita tentang adanya rencana dibukanya areal perkebunan kelapa sawit di desa kami ini. Dan kabar itu telah luas menyebar di kalangan warga. Seperti biasa, ada yang setuju dan ada yang tidak.
     "Menurutmu sendiri bagaimana, May?" tanyaku memancing.
     "Aku tidak setuju. Karena seperti yang bisa kita lihat, perkebunan-perkebunan kelapa sawit di beberapa daerah kecamatan di provensi ini, sama sekali tidak dapat meningkatkan tarap hidup warga setempat. Masih banyak yang hidupnya tetap miskin," kata Mayani. "Sementara di sisi lain, dibukanya perkebunan kelapa sawit justru merusak hutan yang merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka, yang seharusnya dilindungi."
     Aku mengangguk. Setuju juga sama seperti Mayani. Sebaiknya perkebunan kelapa sawit tidak dibuka di daerah kami, yang hutannya masih luas menghijau.
     "Perkebunan kelapa sawit juga terlampau banyak menyedot air, sehingga akibatnya sungai-sungai di sekitar tumbuhan itu menjadi kering," ungkap Mayani lagi.
     "Kau tahu itu, May?" selidikku.
     "Beberapa waktu lalu aku ikut meninjau perkebunan kelapa sawit di desa kecamatan lain, dan aku mendapat keterangan demikian dari seorang ahli botani. Kenyataannya memang demikian."
     "Kita berdoa saja, semoga investor itu tidak jadi membuka bisnis kelapa sawitnya di desa kita ini."
     "Tentu saja. Banyak yang berharap begitu. Tapi investor punya modal besar, bisa melakukan apa saja, dan warga desa tidak punya kemampuan untuk mencegahnya."
     Aku menghela napas panjang. Akhirnya kami sampai di puncak bukit yang banyak ditumbuhi aneka bunga warna-warni itu. Langit sore membentang cerah, dan angin tak henti-hentinya bertiup, mengoarkan aroma wangi yang lembut dari rambut Mayani yang tergerai sebahu.
     "Bukit ini masih seperti dulu, Ardi," ucap Mayani.
     "Ya, bukit ini masih seperti dulu. Bunga-bunga selalu bertumbuhan dan mekar mewangi," sahutku.
     Kuraih dan kubimbing tangan Mayani. Kami melangkah ke salah satu sisi bukit dan berdiri berdampingan. Memandang jauh ke bawah. Ke rumah-rumah penduduk yang tersamar-samar oleh pepohonan yang menghijau.
     "Indah sekali desa kita, May."
     "Ya, sangat indah."
     Kami berpandangan dan sama tersenyum. Tangan Mayani masih kugenggam, dan rasanya tak ingin kulepaskan lagi.
     "Setelah selesai kuliahmu, apakah kau akan kembali ke desa kita ini, Ardi?" tanya Mayani tiba-tiba. Ditatapnya wajahku dengan nanap, seolah dia tak yakin aku cinta pada tanah kelahiran.
     "Mengapa kau tanya seperti itu, May? Desa ini tempat kelahiranku, kampung halamanku. Bapak dan ibuku di sini. Mana mungkin aku tidak akan kembali ke sini, May," jawabku, dan kucium rambutnya dengan sepenuh sayang.
     Mayani tersenyum. "Banyak orang yang telah jadi sarjana, enggan pulang ke kampung halamannya," kata gadis berkulit kuning duku yang bertubuh langsing semampai itu.
     "Oh ya? Aku tidak bakal seperti itu. Karena ada gadis yang amat kucintai di sini."
     Kucubit pipi Mayani dengan gemas. Gadis itu tertawa renyah.
     Kami lantas memandang kembali ke rumah-rumah penduduk di bawah sana. Desa kami yang indah.
     "Adakah gadis-gadis di kampusmu yang menarik hatimu, Ar?"
     "Tentu saja, May. Aku kan lelaki normal, munafik kalau aku berkata tidak ada gadis yang menarik di kampusku."
     "Ya. Kau jujur."
     Kami tertawa bersama.
     "Selama ini, ketika kita lama tak bertemu, apakah kau merindukan aku, May?" Kali ini aku mengusiknya dengan pertanyaan itu.
     "Sangat. Aku sangat rindu padamu, Ardi. Kukira kau sudah tidak ingin menemuiku lagi, mungkin sudah ada gadis lain kukira...."
     "Sebenarnya aku pun demikian. Aku sangat rindu padamu. Sejak kecil kita bersama. Tak mungkin aku bisa melupakanmu, May."
     Angin bertiup lembut menyentuh wajah Mayani yang manis itu. Aku memandanginya dalam-dalam. Mayani membalas tatap mataku. Kusentuh bibir tipisnya yang merah ranum itu dengan ujung jari telunjukku. Dia diam saja, namun senyum rekah di bibirnya.
     "Aku sayang padamu, May," bisikku sambil kurengkuh pundaknya yang bagus itu. Mayani membiarkan aku memeluknya dengan sepenuh sayang dan cinta. Tak ada kata-kata. Hanya hati kami yang sibuk berkata-kata tentang kerinduan dan rasa sayang, yang menyatukan cinta kami berdua.
     Setelah dua minggu berada di kampung -- dan selama itu tidak ada hari-hari yang kulewati tanpa Mayani---akhirnya aku harus kembali ke ibukota provensi karena waktu liburku sudah habis. Aku harus kembali bergelut dengan pelajaran dan berbagai aktivitas di kampus.
     "Doakan agar studiku berjalan lancar, May," kataku sebelum kami berpisah.
     "Tentu saja, Ar. Dan kalau ada waktu libur lagi, pulanglah kemari. Aku selalu menunggumu," bisik Mayani.
     "Kangen ya?"
     "Iya, dong. Kau sendiri apa selama ini tidak kangen padaku?"
     "Bohong kalau aku bilang tidak. Rasa kangenku padamu melebihi rasa kangenmu padaku."
     Mayani tertawa renyah.
     Aku mengangguk. Kuraih kedua tangannya dan kuremas dengan lembut. Kami sama tersenyum.
     Sungguh. Membayangkan semua itu kembali, di dalam kamar kostku pada  malam yang bergerimis ini di ibukota provensi, aku pun tersenyum. Nanap kupandangi potret close-up wajah Mayani di layar handphone androidku. Wajah yang cantik itu. Wajah yang menyimpan banyak cerita manis penuh kenangan, di kampung halaman. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline