Lihat ke Halaman Asli

Akhmadi Swadesa

Menulis Fiksi

Bromocorah (Bagian 4)

Diperbarui: 17 Juli 2024   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Ilustrasi sumber: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa

    Begitu tiba di depan pintu kamar 121, Boro langsung mengeluarkan kunci duplikatnya dan dengan gerakan cepat segera membuka pintu kamar tersebut. Namun baru saja seluruh tubuhnya berada di dalam, terdengar daun pintu kamar 122 di sebelahnya membuka. Kipuh terlambat masuk mengikut bersama Boro, tapi daun pintu 121 dengan cepat dan halus dia tarik menutup rapat, dan Boro yang sudah berada di dalam kamar 121 mengetahui ada yang kurang beres.
     Dari dalam kamar 122 keluar seorang lelaki bertubuh besar bertampang Timur Tengah, dengan bola mata jauh terperosok masuk ke dalam dan hidung bengkung mirip paruh burung enggang. Dia menampak Kipuh yang seperti kebingungan.
     "Cari siapa, Bung?" tanyanya dengan suara berat.
     "Cari teman saya, Bang Habieb," jawab Kipuh, sedikit membungkuk memberi hormat.
     "Maaf, saya bukan seorang habieb. Saya orang biasa saja. Siapa teman Anda? Dia nginap di hotel ini?"
     "Benar. Dia juga nginap di sini. Namanya Haji Doman bin Bahlul." Bohong Kipuh.
     "Oh ya. Saya tidak mengenalnya. Nginap di kamar nomor berapa teman Anda itu?"
     "Kalau nggak salah kamar nomor 12...12...123...."
     "Hhm. Ya. Silakan...."
     "Saya pedagang batu cincin dan jam tangan, Bosku. Teman saya itu, sebenarnya teman baru kenal juga, mau membeli beberapa batu cincin dan juga jam tangan...Siapa tahu juga Tuan berminat?"
     "Maaf, saya tidak ada waktu dengan Anda. Silakan temui teman Anda itu ya?" kata orang tinggi besar itu. Lantas dia menengok lagi ke dalam kamar yang pintunya masih terbuka, dan berkata: "Ayo, Zalimah sayang, mari kita cepat pergi. Kurasa tuan Steve sudah lama menunggu kita di restoran itu!"
     "Iya, sayang. Sudah selesai kok dandannya," sahut perempuan dari dalam dengan suara yang manja.
     Seorang wanita cantik berambut pirang dan juga bertubuh tinggi, namun agak montok, ke luar dari kamar itu. Dia memakai gaun panjang warna merah tua tanpa lengan. Aroma wangi yang sedap dan berkelas mengoar ke udara.
     Si lelaki segera mengunci pintu kamar, lalu menggandeng tangan si wanita yang mungkin juga memang istrinya, dan berjalan pula menuju pintu ke luar.
     Kipuh segera bergerak menuju kembali ke kamar 121. Dan masuk menyusul Boro. Tidak nampak temannya itu di dalam. Rupanya Boro bersembunyi di bawah tempat tidur.
     "Ada apa, Kip?" tanya Boro setelah tahu yang masuk adalah Kipuh.
     "Penghuni kamar 122 barusan pergi ke luar juga, pas tadi kau baru memasuki kamar ini, oleh sebab itulah aku tidak sempat mengikutimu," jawab Kipuh.
     Boro mengangguk. "Oke, mari segera kita periksa isi kamar ini. Setelah itu baru kita sikat pula kamar sebelah, nomor 122 itu," tukasnya.
     "Sialan! Tidak ada satu pun barang berharga kita temukan di sini, apalagi uang!" kata Boro.
     "Pintar mereka," timpal Kipuh tertawa. "Mereka sudah bertindak waspada lebih dulu."
     Tiba-tiba handphone di saku celana Boro bergetar. Ada telpon. Boro menarik hp-nya ke luar. Dia lihat yang menelpon adalah Gordon.
     "Secepatnya kalian berdua tinggalkan kamar ini, ada polisi datang mau memeriksa sebuah kamar. Dari salah satu petugas hotel, kudapatkan informasi kalau pada kamar yang akan diperiksa itu, telah terjadi kehilangan barang berharga yang nilainya sampai ratusan juta," jelas Gordon di telpon.
     "Waduh, ternyata ada yang bertindak mendahului kita," bisik Kipuh.
     "Oke, Gor. Siap. Aku dan Kipuh segera mengamankan diri."
     Boro dan Kipuh memperhatikan keadaan kamar, masih tetap rapi seperti ketika mereka masuk tadi. Semua barang atau benda yang ada di situ, tetap pada tempat semula. Ini sangat penting bagi mereka, karena itu semua akan menyangkut keselamatan mereka sendiri. Sebisanya jangan ada jejak yang tertinggal.
     Suara langkah perlahan dari dua pasang kaki pria dan wanita, mendekati daun pintu kamar 121. Ternyata itu adalah penghuni kamar itu sendiri yang beberapa waktu lalu pergi ke luar cari makanan enak. Mereka segera memasuki kamar sambil terus  bercakap.
     "Apa yang ditawarkan rekan dari PT Timbul Tenggelam tadi, memang merupakan bidang bisnis yang baru dan bagus," ucap si lelaki seraya melemparkan handphonenya ke kasur hotel yang empuk. "Belum banyak yang tahu, kalau cangkang buah kelapa sawit yang terbuang percuma di pabrik-pabrik pembuatan minyak kelapa sawit itu, ternyata bisa diolah menjadi komoditi yang bermanfaat."
     "Ini akan menjadi salah satu sumber keuangan kita di masa datang, kalau saja bisnis itu nanti  berhasil kita kelola," komentar si wanita.
     "Tentu saja, Sayang. Sudah kukalkulasi berdasarkan ketersediaan bahan dari banyak pabrik yang ada, keuntungan yang bakal kita peroleh besar sekali. Tumpukan uangku akan semakin menggunung."
     "Hhm... Lalu kapan Papah membelikan aku rumah dan mobil baru, sebagaimana yang pernah Papah janjikan?" Wanita itu berkata sambil bergelayut manja di pundak lelaki itu. Bibirnya rekah tersenyum.
     "Secepatnya, Sayang. Kalau aku menang dalam taruhan pacuan kuda nanti, atau bisnis cangkang buah kelapa sawit itu sudah berjalan, apa yang pernah kujanjikan kepadamu itu, akan segera kukabulkan."
     "Setelah itu kita akan menikah?"
     "Tentu saja. Setelah itu kita akan menikah."
     "Benar lho ya, Say. Jangan janji-janji terus."
     "Aku pasti serius."
     Mereka berpelukan. Tapi sebentar saja. Handphone yang tergeletak di atas kasur itu menjerit nyaring. Si lelaki sedikit kaget. Bunyi dering yang khas itu pastilah dari istrinya dari kota yang jauh di sana.
     "Ya, Bu. Aku masih di sini. Kami masih di ruang rapat, membahas prospek bisnis kayu sungkai untuk masa datang. Ya. Kemungkinan tiga hari lagi aku sudah pulang. Bagaimana dengan anak-anak kita. Baik? Syukurlah. Sudah dulu ya, Bu. Bapak masih rapat. Salam rindu untukmu dan anak-anak kita. Cupcupcup!" Si lelaki memutuskan hubungan telpon itu, melemparkannya kembali ke kasur yang empuk itu.
     Si wanita yang menyaksikan itu hanya tersenyum. Kembali dirangkulnya tubuh lelaki itu sambil berbisik: "Aku pengin, Yang...."
     Keduanya sudah bersiap-siap menanggalkan pakaian. Namun, seketika terdengar daun pintu diketuk dari luar.
     Lelaki dan wanita itu saling berpandangan.  Merasa terganggu. Niat tadi ingin segera bergumul jadi tertunda. Si lelaki lantas bergerak menuju pintu dan membukanya.
     Dua orang polisi berdiri di depan pintu sambil memberi hormat.
     "Maaf, Pak-Bu. Kamar ini akan kami periksa!"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline