Lihat ke Halaman Asli

Akhmadi Swadesa

Menulis Fiksi

Bromocorah (Bagian 3)

Diperbarui: 10 Juli 2024   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Ilustrasi sumber: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa

     Jadi kalau sekarang Gordon merasa selalu diporotin oleh Silmah, dia maklum saja. Karena umumnya, perempuan-perempuan yang datang dari tempat-tempat prostitusi, memang memiliki prilaku memoroti para lelaki, tak terkecuali suaminya sendiri. Siapa suruh aku dapatkan istri dari tempat seperti itu, pikir Gordon.
     Gordon pamit kepada istrinya pergi ke luar rumah untuk melakukan beberapa penagihan, katanya. Padahal itu bohong saja. Dia mendatangi kediaman temannya yang bernama Boro, untuk melakukan diskusi kecil terkait rencananya berangkat ke Borneo.
     Ketika Gordon tiba di rumah kontrakkan Boro, ternyata di situ juga sudah ada Kipuh yang datang lebih dulu.
     "Rencanamu berangkat ke Borneo, bagaimana?" tanya Kipuh mendahului, sembari menantap Gordon.
     Mereka berbicara dengan suara perlahan, takut ada yang mendengar.
     Boro dan Kipuh adalah teman Gordon satu profesi, yaitu tukang rampok atau  bromocorah yang menyamar sebagai pedagang keliling yang menjual batu cincin serta jam tangan murah berbagai merek.  Kadang mereka beroperasi bersama-sama, namun lebih sering bekerja sendiri-sendiri di daerah atau kawasan yang berbeda-beda.
     "Rencanaku besok pagi sudah bertolak ke Borneo dengan kapal laut. Butuh tiga hari dua malam untuk tiba di kawasan yang terkenal kaya dengan segala hasil bumi itu," sahut Gordon. "Apa kalian berdua mau turut serta?" tanya Gordon.
     "Tidak!" jawab Boro dan Kipuh bersamaan.
     "Yang menjadi incaranku di Borneo ini, tepatnya di sebuah desa kecamatan yang bernama Longi, adalah seorang saudagar batu mulia, namanya Haji Cuek, yang sebulan lalu berhasil memperoleh sebongkah batu berlian dari daerah pendulangan intan di sekitar kawasan Gunung Rambutan," cerita Gordon.
     "Ya, kami pun sudah dengar kabar itu. Sebenarnya yang mendapatkan batu berlian itu, adalah orang suruhannya yang memang dipekerjakan untuk mencari dan mendapatkan batu yang sangat berharga itu. Konon orang suruhan itu sudah dinaikkan haji dan dibelikan sebuah rumah oleh Haji Cuek," kata Boro.
     "Ya, hadiah yang sebenarnya kurang memadai kalau dibandingkan dengan yang akan diperoleh Haji Cuek, milyaran yang akan dia dapatkan kalau berlian itu sudah dia jual," timpal Kipuh.
      Gordon mengangguk. Sudah terbayang di matanya, kehidupan yang gilang-gemilang akan jadi miliknya, seandainya batu berlian itu nanti sudah jadi kepunyaannya dan dia jual.
     "Hati-hati saja kau di sana nanti, Gor. Tetap waspada, karena di sana konon banyak penduduknya yang  punya ilmu gaib," Boro memberi peringatkan.
     "Sudah tentu. Bagiku ini adalah proyek serius, yang harus ditangani secara cermat dan penuh kehati-hatian."
     "Dan ingat selalu kesepakatan kita selama ini, bahwa kita merampok harus tanpa kekerasan. Tidak sampai melukai apalagi membunuh orang. Kita adalah perampok-perampok cerdas, yang benar-benar menggunakan akal, dan sangat taktis dalam bekerja," ucap Kipuh. Dan, mereka pun tertawa-tawa.
     "Jangan lupa uang dengar untuk kami berdua, Gor, kalau kau berhasil menggondol bongkahan berlian itu," timpal Boro.
     "Pasti itu, kalian pasti kebagian," sahut Gordon.
     "Sekarang, mari kita susun rencana kita yang akan kita lakukan malam ini," Boro berkata dengan suara pelan.
     "Acara pacuan kuda itu memang baru akan dilaksanakan dua hari lagi, tapi para peserta dan tamu-tamu dan rombongan dari berbagai daerah sudah ramai berdatangan kemari. Itulah sebabnya, aku dan Boro tidak bisa ikut serta dengan sampeyan ke Borneo, Gor," bisik Kipuh. "Karena di sini juga banyak sasaran yang bisa digarap."
     "Malam ini aku ikut bersama kalian beroperasi di sini, karena aku perlu tambahan untuk uang belanja  istriku. Tadi Silmah minta tambahan uang belanja dapur...." kata Gordon, terkekeh.
     Tepat jam enam sore mereka bertiga sudah mulai bergerak menuju  sebuah hotel kelas melati yang cukup terkenal di kota ini. Mereka masing-masing membawa tas besar berisi batu-batu cincin dan jam tangan-jam tangan murah aneka merek sebagai barang dagangan. Lantas mereka memesan satu kamar untuk bertiga.
     "Rame ya, Mas?" Boro berbasa-basi dengan seorang pelayan hotel.
     "Lumayan, Pak. Setiap kali ada acara pacuan kuda di kota ini, hotel dan penginapan laris-manis," sahut pelayan tersenyum.
     "Yah, mudahan kami juga kebagian rezeki, dagangan kami bisa juga laris-manis," timpal Kipuh.
     "Bapak-bapak berdagang apa?" tanya pelayan hotel yang bertubuh kerempeng itu.
     "Sepertinya sampeyan karyawan baru di hotel ini ya? Kalau orang lama pasti kenal dengan kami, karena telah beberapa kali kami nginap di sini" sahut Gordon. "Kami berdagang batu cincin dan jam tangan, Mas."
     "Oh, berdagang batu cincin dan jam tangan...Benar, Pak, saya baru sebulan kerja di sini," kata pelayan hotel itu.
     "Tentu banyak bos-bos yang nginap di sini ya, Mas?" pancing Boro.
     "Ada beberapa orang yang saya tahu. Kamar nomor 121 dan 122 ditempati saudagar-saudagar dari pulau seberang."
     Boro, Kipuh dan Gordon berpandangan sambil mengangguk-angguk pelan.
     Setelah mereka bertiga berada di dalam kamar, Kipuh bertanya kepada kedua orang temannya: "Siapa yang punya duplikat kunci kamar 121 dan 122?"
     "Aku punya," kata Gordon.
     "Aku juga punya," timpal Boro.
     "Sebenarnya, hampir semua kunci kamar di hotel ini aku sudah punya kunci duplikatnya," ucap Gordon, tertawa. Dia menatap Kipuh. "Tapi malam ini kau dan Boro yang masuk ke kamar-kamar itu, tugasku memantau mereka yang pergi ke luar," sambung Gordon, dan disetujui oleh Kipuh dan Boro.
     Demikianlah cara-cara mereka menggasak sasarannya. Setiap kali mereka menginap di hotel atau di penginapan, kunci kamar yang mereka tempati akan mereka buatkan kunci duplikatnya untuk mereka simpan sendiri. Pada waktu yang lain, ketika mereka menginap lagi di hotel atau di penginapan itu, sebisa mungkin mereka harus mendapatkan kamar yang berbeda dengan kamar yang sudah dibuat kunci duplikatnya. Dari kamar itu, mereka akan memperhatikan dengan seksama, siapa yang akan menempati kamar yang sudah mereka duplikasi anak kunci kamar tersebut. Dan tatkala si penghuni keluar kamar untuk berbagai keperluan, mereka akan masuk dengan tenang dan menggasak apa saja yang berharga di dalam kamar itu.

     Namun yang tidak kalah penting bagi mereka adalah harus secara teliti mengamati jumlah orang yang menghuni kamar yang akan menjadi target, juga pakaian yang dikenakan para penginap itu, baik warna maupun bentuknya, semua itu bisa mereka tiru hingga mendekati kesamaan.
     Ada pun dengan keberadaan kamera cctv, dengan berbagai cara bisa mereka atasi, baik dengan cara mematikan lampu hotel atau penginapan itu dalam waktu beberapa detik, atau dengan cara menyamarkan sorotan kamera rahasia itu dengan kain yang tipis dan transparan. Ini memang pekerjaan yang tidak mudah, namun selalu saja mereka bisa mengakalinya. Meskipun pada intinya, mereka akan lebih senang beroperasi di tempat-tempat yang tidak memiliki kamera cctv. Oleh karena itulah, Gordon dan teman-temannya hanya menyasar di hotel-hotel atau di penginapan-penginapan kecil saja, yang mereka nilai dari segi keamanannya tidak terlampau ketat.
     Yang jelas, baik Gordon, Kipuh maupun Boro, sama-sama memegang prinsip akan pentingnya kehati-hatian atau kewaspadaan yang tinggi dalam melakoni pekerjaan mereka yang sangat berbahaya itu.
     Menjelang pukul sepuluh malam, penghuni kamar nomor 121 keluar dari kamarnya. Mereka nampaknya hanya berdua, yaitu sepasang suami-istri barangkali. Si lelaki segera mengunci pintu kamarnya sambil terus bercakap- cakap dengan si wanita. Gordon yang menyaksikannya dari ruang tamu hotel, segera memberi isyarat kepada Boro dan Kipuh yang berdiri di ujung lorong.
     Kipuh dan Boro sambil pura-pura berbicara serius,  segera memapasi pasangan itu dan menyapa mereka dengan ramah.
     "Bapak, Ibu. Selamat malam," sapa Kipuh, tersenyum sambil membungkukkan badan. Basa-basi.
     "Iya. Selamat malam. Mau ke luar dulu nih, cari makanan enak," sahut si bapak, balas tersenyum kepada Kipuh dan Boro, dan terus berjalan menuju pintu ke luar.
     "Silakan, Pak-Bu," kata Boro, ikut pula membungkukkan badannya, berlagak sopan.
     Boro dan Kipuh perlahan bergerak menuju kamar 121.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline