Oleh: Akhmadi Swadesa
SEKARANGLAH waktunya untuk berbuat baik, pikir Sabri sambil menatap lurus ke arah wanita cantik yang baru saja turun dari bis antar kota itu. Wanita itu sejenak celengak-celinguk seperti ingin meminta pertolongan. Sabri mengerti itu. Bergegas dia menghampiri sambil tersenyum kecil.
"Ada yang bisa saya bantu, Ibu?" tanya Sabri sopan.
"Oh ya?" sahut wanita cantik itu. "Saya ingin ke rumah pak Tawir, Ketua RT, adik bisa tunjukkan jalan menuju ke rumah beliau?"
"Boleh, Bu. Mari saya bantu bawa barangnya, dan saya tunjukkan jalan ke rumah pak Tawir," sahut Sabri.
Sabri meraih barang yang sanggup dia bawa saja, karena toh dia masih bocah kecil yang belum mampu memikul barang yang berat-berat.
Bis yang ditumpangi wanita cantik itu tadi sudah melanjutkan perjalanannya. Tapi deru mesinnya masih terdengar dari kejauhan.
Wanita cantik itu -- Suci, menyandang ranselnya yang besar di punggung, sementara sebelah tangannya menenteng sebuah tas kecil. Sabri sendiri menjinjing tas kecil juga yang ringan saja di atas kepalanya.
"Saya memang disuruh pak Tawir menunggu Ibu di tempat bis antar kota itu biasa berhenti," jelas Sabri, tersenyum.
"Oh, begitu? Terima kasih. Namamu siapa, Dik?" tanya Suci, tersenyum.
"Sabri, Bu."
"Oh, Sabri. Sekarang Sabri sekolahnya kelas berapa?"
"Kelas 6, Bu. Tapi hampir dua tahun sekolahnya di rumah aja, karena ada virus Corona," jelas Sabri pintar.
"Benar, Sabri. Kamu sebaiknya selalu pakai masker kalau pergi-pergi ya? Meskipun sekarang wabah virus Corona sudah berkurang."
"Iya, Bu. Tapi, Ibu kok nggak pakai masker?"
Suci tertawa. "Oh ya, tadi Ibu lepas dan lupa memasangnya kembali. Hmm, sekarang Ibu pakai masker lagi ya?"
Sabri tertawa. Walau pun ibu ini pakai masker, dia tetap kelihatan cantik. Dan juga wangi. Tentu saja, dia kan seorang dokter. Dia tahu itu dari pak Tawir. Dokter memang harus cantik, bersih dan wangi, pikir Sabri penuh kagum.
Pak Tawir, dan beberapa orang tokoh di desa itu menyambut gembira kehadiran dokter Suci. Bahkan mereka turut mengantarkan Suci ke rumah dinas yang berdiri di samping gedung Puskesmas.
Rumah dinas untuk dokter itu baru dibangun. Minimalis. Dindingnya beton bercat putih. Atapnya seng warna biru. Dokter Suci-lah yang pertama kali menempatinya, karena dia pun merupakan dokter pertama yang ditugaskan di desa kecil itu.
"Besok saya antar ke Kantor Desa, sekalian berkenalan dengan Kepala Desa kita yang muda dan masih bujangan pula. Hari ini beliau tidak ada di sini, pagi-pagi sekali tadi pak Kades berangkat ke kota kabupaten karena diundang rapat oleh pak Bupati," jelas pak Tawir.
Suci hanya tersenyum dan mengangguk.
Namun ketika keesokkan harinya Suci diantar ke Kantor Kepala Desa dan bertemu dengan kepala desa itu, Suci bukan main terkejutnya dia bahkan nyaris pingsan.
"Kamu....?!" cetusnya lirih seraya menatap tajam kepada lelaki muda tampan di depannya.
Kepala Desa muda itu menggeleng, dan tersenyum.
"Selamat datang Dokter...di desa kami ini," sambut pak Kades seraya mengulurkan tangan mengajak Suci bersalaman.
"Kamu...Bagaimana mungkin...." Suci menyambut uluran tangan itu, masih dengan kebingungan.
"Oh ya. Apakah Dokter sudah mengenal saya?"
"Aneh! Kamu...Bukankah kamu sudah...?"
"Ada apa Bu dokter?"
Suci menggeleng keras. Balik badan. Dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Don, pak Kades muda itu, menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti. Dia menyuruh Tawir, Ketua RT, masuk ke ruangannya.
"Ada apa dengan dokter cantik itu, pak Tawir? Mengherankan sekali. Dia menatapku seolah-olah aku ini ada masalah dengannya?" kata Don.
"Apakah pak Kades sudah mengenalnya?" tanya pak Tawir.
"Sama sekali tidak. Baru pertama kali ini bertemu."
"Sepertinya tidak mungkin...."
"Tidak mungkin bagaimana? Saya benar-benar tidak mengenalnya, Pak Tawir. Coba Pak Tawir temui dokter itu. Tanyakan, mengapa sikapnya tadi seakan menuduh saya telah berbuat sesuatu yang tidak menyenangkannya."
"Bu Dokter, saya mau tanya. Apakah Bu Dokter sudah lama kenal dengan Kades kami itu?" tanya pak Tawir yang segera saja menemui Suci.
"Tentu saja. Saya sangat mengenalnya. Tapi dia berpura-pura tidak mengenal saya. Sombong dia sekarang," jawab Suci penuh emosi.
"Tapi...." Pak Tawir menatap Suci. Bingung.
"Mentang-mentang sudah jadi Kepala Desa. Apa dia lupa ketika masih kuliah dan jadi anak indekosan? Dia kuliah di jurnalistik dan saya di kedokteran. Kampus dan perguruan tinggi kami memang berbeda, tapi kami tinggal berdekatan."
"Bu Dokter...."
"Saya sering mentraktir dia dan membantu keuangannya kalau kiriman orangtuanya terlambat tiba. Dan oleh karena kedekatan kami itu, maka kami jadi sama-sama suka dan pacaran. Kami berjanji untuk menikah setelah sama jadi sarjana."
"Pak Kades, setahu saya, dia sarjana pertanian, bukan lulusan jurnalistik," tukas pak Tawir pelan.
"Saya tidak habis pikir, bagaimana dia bisa berbohong seperti itu. Benar-benar keterlaluan!"
"Bagaimana itu Bu Dokter?"
"Beberapa bulan setelah dia diwisuda sebagai sarjana, dia pamit pada saya untuk pulang kampung. Katanya ingin bicarakan kepada kedua orangtuanya tentang hubungan kami."
"Lantas Bu Dokter?"
"Tapi pada saat itu virus Corona memang mulai mewabah dimana-mana. Beberapa bulan dia berada di kampung, dia kabarkan pada saya, bahwa dia terkena virus berbahaya itu dan sedang dalam perawatan. Dan seminggu setelah itu, saya mendapat kabar dari keluarganya, lewat nomor handphonenya sendiri, kalau dia telah dinyatakan meninggal dunia karena Covid 19 itu."
"Oh, begitu?" Pak Tawir tercengang.
"Ya. Tapi ternyata itu bohong kan? Ternyata dia masih hidup kan? Jadi Kepala Desa di sini kan? Dia berbohong kepada saya, mungkin saja Dan sudah punya kekasih lain atau bahkan sudah menikah di sini," kata Suci lagi, dan kali ini suaranya melemah. Sebelah tangannya menepis ke udara. "Tapi sudahlah. Mungkin Tuhan memang menghendaki kami harus jalan masing-masing. Kami memang harus melupakan. Biarlah Dan menjadi masa lalu."
"Bu Dokter, saya akan ceritakan semua ini dengan Pak Kades. Saya harap dia mengerti, dan mau memaafkan serta menerima...." Pak Tawir tersenyum.
"Tidak perlu, Pak Tawir. Tidak perlu membujuknya. Dan sudah melukai hati saya. Saya akan melupakannya," cetus Suci pelan. Ada dua butir air bening keluar dari kedua sudut matanya, mengalir perlahan di kedua pipinya yang putih dan mulus itu.
Pak Tawir mengangguk. Pamitan. Dan segera ngebut dengan sepeda motor bebeknya untuk kembali menemui pak Kades muda yang gagah dan berwajah tampan itu.
Pak Tawir lantas menceritakan semuanya, tentang pengakuan dokter Suci. Tak ada yang ditambahi atau pun dikurangi. Don, pak Kades, terkesima mendengarnya. Oh, jadi begitu rupanya, aku tak pernah tahu tentang ini, sungguh, bisik Don dalam hati.
Sore itu, Suci baru saja selesai mandi. Dia mengenakan baju daster warna pink tanpa lengan, sehingga pundaknya yang putih dan bagus itu kelihatan. Menggemaskan.
Suci membuat segelas teh hangat manis, siap duduk dan baca novel di depan jendela yang menghadap ke arah sungai berair jernih di bawah sana. Suara burung ramai berkicau di pepohonan di sekitar rumah.
Namun ada terdengar suara langkah kaki di luar, dan kemudian bunyi ketukan di daun pintu. Suci berjalan pelan dan membukanya. Dia terkejut. Pak Kades berdiri di depannya sambil tersenyum ramah.
"Aku tidak mengira adikku Dan punya kekasih secantik ini," kata pak Kades, masih tersenyum. "Dokter Suci, ketahuilah, aku adalah Don, bukan Dan kekasihmu yang dulu itu. Kami memang saudara kembar, tapi aku lebih dulu lahir maka dari itu aku adalah kakaknya."
"Apa...?"
"Jujur aku sama sekali tidak tahu kalau Dan punya kekasih yang bernama Suci dan seorang dokter pula."
"Dan adikmu?" Dahi Suci berkerenyit. Oh, mengapa Dan dulu tidak pernah cerita kalau dirinya punya saudara kembar? Dan dan Don benar-benar mirip, sangat sukar membedakan keduanya. Roman Suci penuh keterkejutan.
"Ya. Seperti yang kukatakan tadi, Dan adalah adik kembarku. Sayang Covid 19 telah merenggut nyawanya beberapa waktu yang lalu."
Suci memerah wajahnya. Ditatapnya tajam wajah Don. Hhm, benar-benar gagah dan keren seperti Dan, ucap Suci dalam hati. Tapi Kepala Desa yang muda dan gagah itu masih tetap tersenyum. Dia balas tatapan dokter Suci.
"Suci, lelakimu yang bernama Dan itu telah tiada. Dia telah pergi untuk selamanya. Aku, Don, siap menjadi lelaki pengganti untukmu," bisik Don, lembut, namun itu hanya dalam hati! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H