Oleh: Akhmadi Swadesa
Pemulung Pertama
TIBA-TIBA saja hujan turun. Pagi pukul delapan. Pemulung muda itu terkejut. Tanpa banyak pikir dia segera meninggalkan gundukkan sampah itu, dengan keranjang besar dipunggung dan ganco di tangan, berlari mencari perlindungan. Dia menemukakannya di bawah pohon mangga besar yang berdaun amat lebat dan rindang. Di situ hujan tak dapat menyentuhnya. Ditariknya napas penuh kelegaan.
Keranjang bambu yang ukurannya lebih besar daripada tubuhnya itu dia turunkan dari punggung dan meletakkannya di tanah. Ganco atau besi pengait dimasukkannya ke dalam keranjang. Lalu dia duduk jongkok di sampingnya. Menatap hujan yang makin deras saja. Kesal hatinya. Perolehan belum seberapa, hujan sudah turun. Oh, nassiib!
Dalam minggu-minggu ini alam memang seolah tidak mengijinkan dia untuk bekerja. Cuaca selalu saja buruk. Hujan turun kalau tak pagi, siang, atau sore dan malam. Maklumlah memang musimnya. Mau bagaimana lagi? Dia tak dapat berkutik, seperti juga teman-teman seprofesinya yang lain. Kalau nekat juga mengais rejeki di tempat-tempat sampah, dalam deras hujan, bisa-bisa jatuh sakit. Sengsara jadinya. Dia pernah mengalaminya dulu. Oleh sebab itu kini dia tak mau nekat lagi. Hujan turun lebih baik istirahat saja.
Ada juga beberapa tetes air yang jatuh mengenai tubuhnya. Dibiarkan saja. Toh pakaian yang dikenakannya sudah nyaris seminggu belum dicuci, baunya lumayan, maka basah sedikit tak apalah. Dia masih juga menatapi garis-garis hujan yang berguguran membasahi bumi. Kalau saja aku bisa merubah air hujan yang melimpah ini menjadi duit, pikirnya, alangkah menyenangkan.
Dia kemudian ingat keluarganya di kampung. Pada adik-adiknya, dan terutama pada ibunya. Sudah dua tahun lamanya dia meninggalkan mereka dan dalam waktu itu dia belum pernah sekali pun pulang. Kadang memang timbul rasa kangen yang memuncak pada mereka, ingin pulang dan kumpul-kumpul kembali dengan mereka, tetapi dia selalu dapat menekan perasaan itu sedalam-dalamnya hingga ia mampu untuk terus bertahan menantang hidup di kota megapolitan ini, meski hanya sebagai pemulung.
Dia malu pulang bila masih dalam keadaan gembel seperti sekarang ini. Tekadnya harus membawa sangu yang banyak jika ingin kembali ke kampung halaman. Sekarang uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit jumlahnya belum seberapa. Celakanya, uang yang sudah terkumpul itu sering dipergunakan untuk sesuatu hal yang tak terduga, sehingga tabungan itu sukar bertambah jumlahnya.
Pun keinginannya untuk dapat mengirimkan uang kepada keluarga di kampung tidak pernah terlaksana.
Dan ayahnya? Dia seketika menghempaskan napasnya keras-keras. Benci dia bila ingat lelaki yang tak bertanggung jawab itu. Ayahnya pergi meninggalkan ibunya sejak lebih empat tahun yang lalu. Tega membiarkan ibunya bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya, sementara dia pergi begitu saja tanpa pernah memberi kabar. Hanya saja, sebelum berangkat, ayahnya itu bilang kalau dia pergi ke kota megapolitan itu. Untuk mencari pekerjaan . Tak ada yang dapat mencegah kepergiannya. Ibunya pasrah saja menerima nasib. Seperti juga dia pasrah ketika putranya tersebut mengutarakan niatnya untuk menyusul ayahnya ke kota ini, dua tahun silam.