Lihat ke Halaman Asli

Akhmadi Swadesa

Menulis Fiksi

Hantu Gunung Lampu

Diperbarui: 27 Juni 2024   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Horor. Ilustrasi sumber: Pixabay


Oleh : Akhmadi Swadesa

INILAH yang menjadi pikiran Sarkidi: Apakah kalau dia melamar Rubiah untuk menjadi istrinya bakal diterima? Mengingat perempuan itu sudah cukup lama hidup menjanda semenjak Ganepo, suaminya, yang konon tewas dikerubuti ribuan lintah di kawasan Gunung Lampu lebih setahun lalu.
     Sarkidi lihat selama ini Rubiah nampak enjoy saja dengan kesendiriannya, seolah untuk kembali hidup berumahtangga sudah tidak dia pikirkan lagi. Apalagi perkawinannya dulu dengan lelaki bernasib sial itu, si Ganepo, sama sekali tidak mendapatkan keturunan. Rubiah benar-benar menikmati kesendiriannya.

     Sore ini bergerimis, namun tidak menghalangi niat Sarkidi untuk pergi ke warung kopi milik Rubiah yang terletak dekat pasar kecamatan.
     "Hujan gerimis begini kok ke luar, enaknya tidur di rumah sambil meluk guling," goda Rubiah menyambut kedatangan Sarkidi di warungnya.
     "Ya, enak meluk kamu dong, Rub, daripada meluk guling," balas Sarkidi sambil mengedipkan matanya, balas menggoda Rubiah yang bertubuh montok itu.
     Rubiah mencibirkan bibirnya yang semi dower. "Mau minum apa sampeyan?"
     "Biasalah. Kopi panas gulanya dikit. Dan bikin juga Indomie rebus pakai telor, kasih sawi dan cabe tujuh butir."
     "Oke. Sip deh," kata Rubiah sembari memerintahkan Tukinem, asistennya, untuk menyiapkan pesanan Sarkidi.
     "Rub, ada filem bioskop bagus di kota kabupaten. Mau nggak kalau saya ajak nonton," tukas Sarkidi setelah menghabiskan Indomie rebusnya.
     "Filem apa, Mas?"
     "Filem silat campur roman percintaan."
     "Kenapa sampeyan nggak ngajak cewek lain saja?"
      Sarkidi tersenyum senang. Sekaranglah saat yang tepat menembak Rubiah, pikir Sarkidi.
     "Nggak ada cewek lain, Rub. Hanya kamu. Mau ya?"
     "Ntar lihat waktuku dulu, ada nggak. Kalau tak repot, boleh deh."
     "Bagus lho filemnya. Rugi kalau nggak nonton. Aku sudah baca iklannya di koran."
     "Huh, iklan kok dipercaya."
     Sebenarnya Rubiah bukan tidak tahu kalau Sarkidi ada hati terhadapnya. Dia tahu, lelaki yang berprofesi sebagai tukang bangunan itu sudah lama  naksir dirinya, dan ingin dia jadi istrinya. Hal itu pernah dikatakan Saudah, temannya, yang tinggal bertetangga dengan Sarkidi. Suami Saudah sendiri juga pekerja bangunan alias tukang, dan menjadi teman seprofesi Sarkidi. Mereka sering bekerja sama jika dapat borongan mengerjakan sebuah rumah atau bangunan.
     "Sarkidi bilang pada suamiku, kalau dia sebenarnya naksir kamu, dan ingin kamu bisa jadi istrinya," kata Saudah dulu.
     "Sementara ini aku belum terpikirkan untuk bersuami lagi, Dah. Mungkin nanti," jawab Rubiah ketika itu.
     Sarkidi sendiri adalah lelaki bujang lapuk yang belum pernah berumahtangga. Dia merupakan pekerja bangunan yang ulet. Dari hasil kerjanya dia mampu membeli sebuah pondok kecil berdinding papan dan beratap rumbia. Di pondok antik itulah Sarkidi kini tinggal seorang diri.
     Dan asal tahu saja, suami Rubiah dulu, si Ganefo, juga adalah teman akrab Sarkidi. Cuma mereka beda profesi. Kalau Sarkidi sebagai tukang bangunan, si Ganefo senang mencari barang-barang antik dan menjualnya. Sebut sajalah si Ganefo ini sebagai pebisnis barang-barang antik...Gitu aja kok repot!
     Singkat cerita suatu hari Ganefo dapat info dari seseorang bahwa di kawasan Gunung Lampu ada tersimpan barang antik peninggalan zaman Belanda. Konon keberadaan barang antik itu tersimpan di kawasan puncak Gunung Lampu tersebut. Hal inilah yang menarik bagi Ganefo dan mengusik pikirannya terus-menerus. Kalau aku bisa mendapatkan barang-barang antik itu aku bisa jadi kaya raya,  pikir Ganefo.
     Ganefo lantas menemui Sarkidi yang kebetulan sudah hampir sebulan ini belum dapat kerjaan.
     "Sar, sampeyan mau hidup kaya raya nggak?" tanya Ganefo dengan tampang serius.
     "Hanya orang yang tak waras yang nggak mau hidup enak dan kaya raya, Fo," sahut Sarkidi diplomatis.
     "Lho, ini serius."
     "Lha iya, benar. Emang ada caranya?"
      Ganefo lalu menceritakan tentang harta karun yang tersimpan di kawasan Gunung Lampu itu.
     "Nah, mumpung kamu juga belum dapat kerjaan, mending sampeyan ikut saya pergi ke Gunung Lampu, ngambil itu harta karun peninggalan zaman Belanda yang sudah jadi barang antik. Entar kalau udah ketemu itu barang antik dan saya jual semua, kamu kebagian deh barang dua atau tiga persen," kata Ganefo.
     Tanpa banyak pikir Sarkidi menyetujui rencana itu. Kalau memang rezekiku nggak bakalan lari kemana, gumam Sarkidi.
     "Terus terang ya, Sar, kalau saya mau cepat kaya sekarang juga bisa," tukas Ganefo seraya merogoh saku celananya dan mengeluarkan bungkusan kecil berwarna hitam. Dan dari bungkusan beraura mistis itu, Ganefo keluarkan sebiji batu berwarna merah menyala. Dia celupkan batu itu pada gelas berisi air putih. Ajaib! Air putih itu pun menjadi merah.
     "Nih, lihat. Ini batu merah delima namanya. Kalau dicelupkan ke dalam segelas air putih maka air itu akan ikut menjadi merah. Seperti ini," jelas Ganefo. "Batu merah delima ini sudah ada yang nawar lima ratus juta. Tapi saya nolak. Saya baru mau menjualnya dengan pembeli yang mampu membayar 5 milyar. Bayangkan duit segitu, Sar. Kalau sampeyan belikan kerupuk atau es  cendol,  bakal tenggelam oleh kerupuk dan es cendol kampung kita ini."
     Ganefo terkekeh-kekeh. Dia katakan bahwa batu merah delima itu tak pernah lepas dari tubuhnya. Kemana saja selalu dia bawa.
     Dan pada hari yang telah mereka tentukan, dengan membawa peralatan seperti cangkul dan linggis, juga bekal makanan secukupnya, berangkatlah Ganefo dan Sarkidi menuju Gunung Lampu untuk mencari harta karun atau barang antik itu.
     "Kalau sudah tiba di sana kita harus hati-hati, Sar. Di kawasan itu banyak kolam berisi ribuan hingga jutaan ekor lintah. Siapa saja yang kejeblos ke kolam itu, manusia atau binatang, tidak ada yang bakal selamat. Hanya hitungan menit sudah jadi tengkorak, karena dihisap darahnya dan dimakan dagingnya oleh lintah-lintah yang selalu kelaparan itu," cerita Ganefo, entah dari mana dia dapat informasi seperti itu, kalian tidak perlu tahu. Yang jelas Sarkidi ngeri juga mendengarnya. Itu benar-benar horor, pikir Sarkidi. Mati dikerubuti ribuan hingga jutaan ekor lintah!
     Dibutuhkan waktu dua hari dua malam untuk sampai di Gunung Lampu. Dua hari berjalan kaki pada siang hari, dua malam ditempuh dengan naik perahu pada malam hari. Itu sudah menjadi aturan yang tidak tertulis untuk menuju kawasan yang konon selalu terasa seperti terang-benderang itu meskipun berhutan lebat. Oleh karena itulah kawasan dataran tinggi tersebut dinamai Gunung Lampu.
     Sepanjang perjalanan keduanya, baik Ganefo maupun Sarkidi, selalu membayangkan kehidupan yang indah-indah seandainya nanti mereka sudah kaya raya dari hasil menjual harta karun atau barang antik yang diperoleh dari Gunung Lampu itu.
     Ketika akhirnya mereka sampai juga di kawasan Gunung Lampu, rasa lelah sepanjang perjalanan serasa lenyap, berganti dengan rasa nyaman yang deg-deg plas kinclong karena sebentar lagi mereka akan menemukan harta karun yang melimpah.
     Namun rasa senang Sarkidi sebentar saja, berganti dengan rasa ngeri-ngeri bangsat yang amat sangat, waktu dia teringat cerita Ganefo tentang kolam yang dihuni jutaan ekor lintah itu. Dia sudah melihat ada beberapa kolam yang mereka lewati. Air kolam itu nampak hitam dan seperti bergerak-gerak terus. Itu pasti jutaan ekor lintah di dalamnya, ucap Sarkidi dalam hati.
     Lantas Sarkidi teringat batu merah delima milik Ganefo yang selalu ia kantongi itu. Batu merah delima itu sangat mahal harganya kalau dijual. Dan pemiliknya bisa hidup kaya raya. Mengapa tidak batu merah delima itu saja menjadi milikku, pikir Sarkidi. Tidak perlu mencari harta karun atau barang antik di kawasan Gunung Lampu ini, yang belum diketahui keberadaannya.
     Dengan pikiran tamak itu Sarkidi yang berjalan di belakang Ganefo, secepat kilat menggerakkan kaki kanannya, menendang dengan kuat kedua kaki Ganefo. Tentu saja Ganefo terjatuh ke tanah. Sarkidi dengan tangkas menindih tubuh temannya itu dan mencekiknya. Tubuh Ganefo yang besar menjadi lemas dan lidahnya terjulur. Sarkidi pastikan bahwa Ganefo sudah mampus seratus persen. Dia rogoh saku celana Ganefo dan dia sikat bungkusan kecil warna hitam berisi batu merah delima itu. Lantas dengan badannya yang juga besar dan berotot sebagaimana pekerja bangunan pada umumnya, Sarkidi bopong itu Ganefo dan dilemparkannya ke dalam kolam yang ia yakin dihuni ribuan bahkan sampai jutaan ekor lintah.
     Sarkidi kemudian berlari dengan kencang. Kabur!
     Sambil menyumpah-nyumpah Ganefo bangkit dari aktingnya. Tidak ada seekor lintah pun di dalam kolam itu. Hanya pakaiannya basah kuyup lengket ke tubuh. Dengan tenang Ganefo keluar dari kolam itu. Tanpa merogoh saku celananya dia sudah tahu tadi, Sarkidi yang tolol dan blo'on itu mengambil batu merah delima itu. Batu merah delima buatan yang ada kabel mengandung listrik di dalamnya. Kalau dimasukkan ke dalam gelas berisi air putih, batu palsu itu akan menyala merah. Dulu Ganefo membelinya seharga lima belas ribu rupiah dari tukang batu cincin keliling. Gua kibulin lu tolol, ucap Ganepo dalam hati.

     Tapi Ganefo bersyukur telah ditemani Sarkidi hingga tiba di Gunung Lampu itu. Masalah perbuatan Sarkidi yang berniat mencelakakannya tadi, peduli amat. Yang penting kalau aku benar mendapatkan harta karun itu semuanya untukku sendiri, tak perlu berbagi dengan siapa pun, gumam Ganefo.
     Ada pun tadi, saat dia dicekik Sarkidi, akibat Ganefo sering latihan pernapasan dan sesekali olah raga yoga, maka dia mampu menahan napas selama beberapa menit. Tubuhnya ia lemaskan dan lidahnya dijulurkan, sehingga Sarkidi meyakini kalau dia sudah mati, lantas melemparkannya ke dalam kolam. Sangat sempurna permainan akting Ganefo.
     Ganefo lantas meneruskan perjalanannya memasuki kawasan Gunung Lampu itu. Di jauhan dia lihat ada nampak atap rumah dari daun rumbia yang diapit pepohonan. Ada asap membumbung naik ke atas dari rumah itu, menembus celah-celah dedaunan. Ternyata ada orang yang tinggal di tengah hutan belantara ini, kata Ganefo.
     Bagaimana dengan Sarkidi? Setiba di desa, Sarkidi langsung menemui Rubiah dan bercerita tentang musibah yang dia alami bersama Ganefo, suami Rubiah, di Gunung Lampu.
     "Gunung Lampu benar-benar angker, Rub. Tempat setan bersarang. Jalannya licin penuh lumut. Aku dan Ganefo suamimu sama terpeleset. Beruntung aku tertahan di batang pohon. Tapi suamimu Ganefo? Ooh, nasssiiib! Sungguh sial nasib suamimu itu. Dia jatuh terguling masuk ke dalam kolam yang dihuni ribuan ekor lintah yang besar-besar dan selalu lapar. Dengan tubuh sakit aku mengejarnya ke kolam itu. Sayang terlambat, hanya beberapa menit saja kukira, tubuh Ganefo hanya tinggal tulang tengkorak saja, darah dan dagingnya sudah ludes dimakan para lintah yang buas itu," cerita Sarkidi.
     Rubiah menangis menerima kabar itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ini takdir dan jalan hidup yang harus dia terima. Pasrah.
     Dan cerita yang sama Sarkidi sebarkan ke seluruh penduduk desa. Tentu saja ada yang percaya, ada juga yang tidak.
     Kemudian mengenai batu merah delima milik Ganefo yang dia rampas itu, Sarkidi akhirnya tahu kalau benda itu bukan batu merah delima asli yang sangat berharga seperti yang ia harapkan. Dia sangat menyesal. Hanya karena nafsu serakah, dia terperdaya oleh batu merah delima palsu sialan itu, hingga sampai membunuh Ganefo, temannya sendiri.
     Rasa sesal di hati Sarkidi sampai berlarut-larut hingga badannya kurus. Oleh sebab itu dia getol mendekati Rubiah, dia ingin memperistri Rubiah dan bertekad untuk membahagiakannya, sebagai kompensasi atas tindakannya membinasakan Ganefo, suami Rubiah.
     "Bagaimana kalau malam Minggu lusa aja kita pergi nonton filem bioskopnya, Rub?" usik Sarkidi lagi.
     "Ya. Seperti yang kukatakan tadi, kira-kira ada waktu nggak aku. Kalau memang aku tak ada kerjaan, bolehlah," jawab Rubiah. "Kebetulan sudah lama juga aku nggak nonton filem bioskop," sambungnya.
     Sarkidi mengangguk senang. Namun pada malam harinya menjelang waktu sholat Isya, Sarkidi sedang tidur-tiduran di ranjangnya, tiba-tiba terdengar pintu pondoknya diketuk. Sarkidi perlahan turun dari tempat tidur sambil kentut satu kali.
     "Sarkidi...Keluar sampeyan!" teriak sebuah suara.
     Sarkidi kaget mendengarnya. Itu suara Rubiah. Benar saja, ketika pintu pondoknya dia buka, Rubiah berdiri sambil memegang payung hitam. Memang saat itu hujan gerimis.
     "Ada apa, Rubiah, tumben kamu kemari? Janji kita kan malam...."
     "Diam sampeyan," potong Rubiah. "Aku datang kemari tidak sendiri. Aku datang bersama hantu Gunung Lampu, yang siap menghisap darah dan memakan daging sampeyan!"
     "Hah? Hantu Gunung Lampu?" Sarkidi bertanya, bengong.
     "Ya. Lebih setahun lewat suamiku, Ganefo, kau binasakan di Gunung Lampu. Sampeyan cekik dan lemparkan dia ke kolam yang banyak lintahnya. Sampeyan yakin saat itu dia sudah mati. Nah, sekarang dia sudah hidup kembali dan jadi hantu, siap balas dendam kepadamu!"
     Tangan Rubiah lantas bergerak ke belakang. Menarik seseorang. Dari kegelapan sesosok tubuh muncul. Rambutnya panjang melewati bahu. Demikian juga kumis dan jenggotnya. Alis matanya tebal. Bola matanya menyorot tajam ke depan, ke wajah Sarkidi.
     Selama lebih setahun di Gunung Lampu Ganefo memang tidak pernah mencukur bulu-bulu di tubuhnya. Semua dibiarkan tumbuh panjang. Dia ikut bekerja mendulang emas bersama sebuah keluarga yang memang sudah lama tinggal di kawasan Gunung Lampu itu. Dari hasil mendulang emas, Ganefo bisa mengumpulkan butiran-butiran emas sebotol kecil penuh seukuran botol minuman kratingdaeng. Itu modalnya nanti untuk mengembangkan usaha apa saja bersama istrinya tercinta Rubiah.
     Ada pun tentang harta karun atau barang antik peninggalan zaman Belanda di Gunung Lampu, semuanya itu hanya omong kosong saja. Tak pernah ada.
     "A-aa, siapa dia Rubiah?" Sarkidi bergidik, ngeri.
     "Akulah Ganefo. Suami Rubiah. Sekarang jadi hantu Gunung Lampu dan siap mengunyah dan memakan habis tubuh sampeyan yang haram jadah!" ucap Ganefo.
     Wajah Sarkidi pucat pasi bagai tak dialiri darah. Dia begitu terkejut. Sungguh diluar dugaannya; ternyata Ganefo masih hidup! Sangking terkejutnya, secepat kilat dia membalikkan badan, menerabas daun jendela pondoknya yang kecil itu dan melompat ke luar. Dia benar-benar kabur entah ke mana. Selamanya Sarkidi tidak akan pernah lagi balik ke desa itu! Tidak akan pernah! ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline