Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Fawzi

Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam

Ibnu Masarrah: Dunia adalah Buku yang hanya dapat dibaca oleh Mereka yang Memiliki Mata

Diperbarui: 27 Desember 2024   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ibnu Masarrah, nama yang kurang terkenal namun keberadaannya menjadi peletak dasar filsafat dan mistisisme di Andalusia. Ia lahir di Kordoba pada 269 H/883 M (Palacios, 2017: 33). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abd'Allah ibn Masarrah ibn Najih al-Qurtubi al-Jabali (Dahlan, 2003: 140).  Sejak kecil di didik oleh ayahnya, seorang guru terkemuka pada saat itu yang menganut paham Muktazilah. Namun, paham tersebut hanya diajarkan kepada keluarganya saja, tidak kepada orang lain. Saat ayahnya meninggal, Ibnu Masarrah mulain menjalani hidup layaknya seorang asketis (Corbin, 1993: 222) hingga ia selalu memimpin kelompok murid di Kordoba Sierra hingga akhir hidupnya (Nasr, 2022: 183).

Kehidupan filosof memang tidak selamanya mulus, ia pernah dituduh zindiq karena dianggap memegang gagasan sesat dan bid'ah seperti men-takwil ayat Al-Qur'an dan menolak ilmu-ilmu yang dikenal oleh kaum ortodoks serta menyangkal pengampunan dan pertolongan Tuhan. Tuduhan serius itu membuatnya pergi meninggalkan Andalusia (Bellver: 333). Ia bersama adiknya pergi ke Timur lalu menemui sufi terkemuka di Mekkah seperti al-Junaid, Nahrajuri dan Abu Said ibn Muhammad ibn Ziyad ibn al-Arabi.  Selain Mekkah, Basrah juga menjadi tujuannya. Keberadaannya di Basrah sering dikaitkan dengan lingkaran Qadariyyah dan kesan yang kuat jika ia menganut paham muktazilah.

Saat kembali ke Andalusia, ia memimpin uzlah di perbukitan sekitar Kordoba bersama para muridnya, sebab itu ia digelari al-Jabali. Pada akhir kehidupannya, tuduhan kepadanya semakin kuat dan membuat tekanan mental pada dirinya hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Rabu, 20 Oktober 319 H/931 M setelah salat Asar pada usia 53 tahun di tempat uzlahnya, Sierra, Kordoba. Sekalipun telah wafat, sosoknya akan terus hidup pada murid-muridnya dan sosoknya sangat berpengaruh terhadap filosof sesudahnya.

Menarik untuk ditelisik pemikirannya yang memengaruhi filosof sesudahnya. Terdapat adagium arab filsafat yakni seandainya tidak ada perenungan/pelajaran maka filsafat akan tidak ada artinya. Selaras dengan inti pemikiran Ibnu Masarrah yakni masalah perenungan. Ia secara khusus membuat karya Rislat al-Itibryang berisi kunci sistem esoteriknya berupa kontemplasi sebagai latihan mental untuk naik pada tingkat keberadaan yang paling tinggi. Dalam al-Itibr, ia berpendapat bahwa proses kontemplatif yang mengarah pada kebenaran yang sama dengan wahyu melalui proses mengamati dan memikirkan terhadap tanda-tanda Tuhan baik di langit maupun di bumi untuk memahami realitas yang lebih tinggi (Masarrah: 1).

Dalam karya tersebut, ia mengatakan jika dunia merupakan buku yang dapat dibaca oleh mereka yang memiliki mata. Mata yang dimaksud bukanlah mata fisik tetapi mata hati dengan segala cahaya pemikiran yang benar dapat menyibak keajaiban nyata dan tersembunyi (Bellver, 2020: 292). Pada Rislat al-Itibr menunjukkan bahwa aktivitas merenungkan dan mengamati tanda-tanda yang ada di alam semesta itu guna mendapatkan keberadaan yang tertinggi. Pengamatan dan penalaran bermula dari bawah untuk naik ke atas, karena sejatinya Tuhan bersemayam di atas singgasana dan kerajaannya ialah langit itu sendiri (Masarrah: 2).

Baginya, setiap yang diciptakan oleh Tuhan mengandung tanda-tanda yang menunjukkan ada-Nya. Bergaya perenungan seperti Nabi Ibrahim, Ibn Masarrah memulainya dari bawah hingga ke atas. Air, menjadi objek pengamatan yang sederhana Ibn Masarrah, ia lihat gerakan air selalu ke bawah, artinya gerakan ke atas bertentangan dengan gerak alamiahnya. Namun, ada sesuatu lain yang melawan pergerakan air, yaitu api. Api senantiasa bergerak ke atas, tetapi api sendiri ternyata bisa dilenyapkan oleh apa yang disebut udara. Sedangkan tanah dapat menyimpan sesuatu yang bisa bertumbuh. Hal-hal tersebut memaksanya untuk mengamati agar memikirkannya bahwa keempatnya merupakan berbagai kekuatan pada alam semesta yang saling mengelaborasi, berpaling dan berbeda (Masarrah: 5).

Perbedaan itu membuat keempatnya saling berbagi. Lihatlah tumbuhan, tanpa tanah tidaklah tumbuh jenis tumbuhan walaupun sekarang sudah bisa menggunakan media air. Umpan dan biji yang ditanam kemudian disiram oleh air akan menumbuhkan jenis pohon yang bercabang, memiliki daun, buah serta bunga yang berbeda. Begitu pun api dan udara yang sama-sama memiliki signifikansinya tersendiri dalam proses tumbuhan. Dengan mengamati tanda-tanda yang ada di alam semesta, baginya alam semesta tersusun oleh empat unsur: air, api, tanah dan udara. Keempatnya mengalami proses pemuaian dan pemadatan. Pemuaian terjadi karena prinsip benci mendominasi, sementara prinsip cinta menjadikan pemadatan. Kedua prinsip tersebut bercampur baur pada alam universal yang terdiri dari tubuh dunia atau materi kedua. Selain itu, dia juga mengamati proses reproduksi manusia bahwa generasi manusia terjadi saat penyebaran sperma laki-laki dan ovum perempuan ketika kedua molekul tersebut bersatu (Palacios, 2017: 60).

Pengamatan Ibn Masarrah tidak sampai di situ yang terbatas pada empat unsur kekuatan alam semesta dan proses regenerasi manusia, karena sifatnya terbatas yang hanya menimbulkan satu gerakan saja. Ia melalui kesaksian hatinya yang disebut intuisi terus berupaya melihat apa yang ada dibalik empat unsur alam semesta itu. Melihat disekelilingnya, langit dinamainya, merupakan objek pengamatan yang tinggi, karena itu seorang pengamat mesti mencari tahu apa yang ada di langit. Ketika diketahui benda-benda langit seperti matahari, bulan, bintang dan lain sebagainya. Ibn Masarrah menyebut ada tujuh bidang/lapisan langit yang bobot tubuhnya besar, keluasan lebarnya dan ketinggiannya. Penciptaan langit yang sangat luar biasa yang tidak ada cacat di dalamnya membuat Ibn Masarrah kembali memikirkan pada pandangannya bahwa langit lebih terhormat daripada keempat kekuatan alam tadi. Ketika mencari kekurangan pada penciptaan langit yang sempurna, malah terjebak pada kehinaan dan keletihan yang ditandai ketidakberdayaan, sesuai dengan inti Q.S Al-Mulk: 4. Sampai disini, indra dan nalar sudah tidak mampu lagi menembus ada apa di balik penciptaan langit sebab keduanya terbatas.

Sebagai mistikus, ia dengan kesaksian hatinya sekaligus sebagai instrumen pengetahuan menyebut bahwa di balik kesempurnaan penciptaan mesti ada jiwa yang agung dan ruh yang melingkupi dunianya dan tidak pernah mati di bawah keduniawian. Jiwa yang agung tentu lebih mulia dibandingkan penciptaan yang bersifat fisik dan terbatas. Jiwa lah yang menggerakan alam semesta secara teratur. Keteraturan itu semua didasarkan adanya intelek yang mendiami dan mengatur gerak kehidupan alam semesta. Intelek lebih tinggi dan terhormat dari yang sebelumnya yaitu jiwa karena pengelolaan di alam semesta yang didasarkan atas apa yang sudah di atur oleh intelek kepada jiwa yang dalam hal ini jiwa hanya tunduk pada intelek karena tidak mempunyai kemampuan mandiri untuk memilih kehendaknya (Masarrah: 7-8). Kedudukannya bertempat di 'Arsh Allah (tempat predestinasi luhur kehendak agung). Intelek merupakan efek dari yang ada di atasnya yang tidak bisa lagi dicegah darinya, oleh karena itu segala wujud tidak akan ada dengan sendirinya. Apa yang ada di atasnya ialah kebenaran hakiki, yakni Tuhan yang menciptakan kita berdasarkan pengetahuan dan kehendak-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline