Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Fawzi

Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam

Interkoneksi-Visualisasi Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam: Tawaran Pemecahan Problematika Klasik Pelajaran Sejarah Peradaban Islam

Diperbarui: 25 Desember 2024   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Latar Belakang Masalah

Historia Magistra Vitae, Sejarah merupakan guru kehidupan. Sayangnya, guru tersebut belum terinternalisasi ke dalam jiwa peserta didik. Hal itu disebabkan oleh metode yang membuat peserta didik merasa bosan dan jenuh sehingga sulit memahami materi (Munawir dkk, 2024: 31). Peserta didik merasa bosan lantaran metode yang digunakan oleg guru bidang tersebut cenderung monoton yang hanya mengandalkan ceramah tanpa hadirnya visualisasi, guru hanya memerintah peserta didik untuk menghafal tahun, nama-nama tokoh, tempat serta kejadian-kejadian runtut (Kusen, 2019: 29). Apalagi jika kompetensi peserta didik memiliki riwayat kesulitan menghafal sehingga peserta didik sukar menerima pelajaran SPI (Al-Anshory dkk, 2020: 78).

Jika model pengajaran SPI masih seperti itu saja, maka pelajaran SPI cenderung ditinggalkan dan membuat peserta didik tingkat Madrasah Aliyah yang kebanyakan Generasi Z mengalami burnout akibat tugas hafalan sejarah tersebut. Hemat Kamus Psikologi American Psychological Association (APA), Burnout merupakan kelelahan fisik, emosional, yang disertai penurunan motivasi, penurunan kinerja dan sikap negatif pada diri sendiri dan orang lain akibat tekanan pekerjaan yang berlebihan, namun tidak menutup kemungkinan bisa saja disebabkan oleh masalah pribadi, sekolah bahkan media sosial (instiki.ac.id). Bahkan banyak yang menilai jika Gen-Z disebut generasi Strawberry, eksotis namun mudah hancur apabila sedikit ditekan.

Masalah yang juga sama dirasakan oleh peserta didik yang penulis ajar ketika mereka belajar SPI pada tingkat tsanawiyah maupun menengah pertama berbasis Islam terpadu. Berikut ungkapan peserta didik tersebut:

"Jujur aja selama 3 thn belajar SPI di MTs itu aku ga ngerti apa-apa, rasanya sulit bgt buat memahami materi yang disampaikan. Kelas-kelas sebelumnya pelajaran SPI sangat susah dipahami karena mungkin faktor guru yang mengajar-ucap murid yang penulis ajar". 

Mengingat pentingnya pelajaran SPI yang banyak memuat kebijaksaan hidup guna memelihara pelestarian identitas, pengambilan pelajaran dan sarana pemahaman mengenai hidup dan mati (Sardar, 1986: 208), maka metode implementasi pelajaran ini mesti maksimal. Metode tersebut mesti mengikuti perkembangan psikologis dan zaman, dengan berbasis teknologi sebagai media pembelajaran guna menghadirkan visualisasi (Menurut KBBI, ialah pengungkapan gagasan melalui gambar atau media lainnya) sejarah Islam dan senantiasa membawa semangat ruh integrasi ilmu yang dalam hal ini interkoneksi bukan hanya antar disiplin ilmu tetapi juga interkoneksi antara pengajar dengan peserta didik.

Upaya yang dilakukan

Interkoneksi bukan hanya tertuju pada berbagai disiplin ilmu, baik ilmu humaniora dengan ilmu agama, ilmu sains dengan ilmu humaniora dan lain sebagainya, tetapi bagaimana keterhubungan pada diri peserta didik dengan pengajar, baik keinginannya, kondisi mentalnya dan psikomotoriknya. Dalam hal ini, pengajar mesti bertindak sebagai fasilitator sebagaimana Rabindranath Tagore katakan jika fasilitator berperan dengan cara membiarkan murid tumbuh dengan bakat dan potensinya masing-masing agar ia mencapai self-realization. Baginya, lembaga pendidikan seperti madrasah atau sekolah umum ialah taman. Konotasi taman selalu menghadirkan kegembiraan, kenyamanan dan bebas mengukir kenangan. Jadi, penulis hanyalah fasilitator yang mengarahkan peserta didik inginkan untuk pembelajaran yang tepat dan sesuai. Hal itu yang menjadi ruh semangat mengajar penulis. Berikut upaya-upaya penulis lakukan:

  • Sebelum pembelajaran SPI dalam satu semester dimulai, pada pertemuan pertama, penulis memberikan pertanyaan reflektif menyangkut diri peserta didik, orang tua dan keinginan pada pelajaran SPI. Hal itu guna menumbuhkan kesadaran akan dirinya dan orangtua dalam aktivitas belajar.
  • Setelah mengetahui keinginan seluruh peserta didik, maka penulis akan menggabungkan menjadi kesatuan metode. Banyak peserta didik yang menginginkan pembelajaran yang tidak ada tekanan, membahagiakan, diadakan bermain sambil belajar, implementasi materi dengan praktik dan menonton film serta memperlihatkan gambar sebagai bentuk visualisasi pembahasan SPI.
  • Maka, penulis mulai mengimplementasikan metode sesuai keinginan peserta didik. Pada setiap pertemuan, penulis senantiasa mengadakan game yang disertai pembelajaran, mempraktikkan materi SPI seperti berdakwah melalui permainan tradisional Wali Sanga kemudian menampilkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad dan Keemasan Dinasti Islam dengan mempraktikannya kembali, menonton film kesejarahan peradaban Islam maupun memberikan visual gambar fakta sejarah guna melatih daya memori peserta didik agar lebih mudah mengingat dan menjelaskan materi SPI dengan menghubungkan disiplin ilmu lain terutama yang terkait kebijaksaan hidup.
  • Tak kalah pentingnya adalah penulis mencoba masuk ke dalam dunia peserta didik agar mereka tidak merasa tertekan, takut dan canggung kepada penulis. Hal itu penting diterapkan guna mengikis feodalisme dan membangun keakraban. Seringkali juga, pada setiap pertemuan pembelajaran SPI, penulis mengaitkan materi dengan masalah kehidupan yang menuai perdebatan antar peserta didik maupun dengan penulis.
  • Lalu, upayakan memberi pencerahan hidup dengan mengasihi peserta didik bekal nasihat yang berhubungan dengan dunia Gen-Z agar mereka terbentuk karakter akhlak al-karimah nya.
  • Terakhir, pada pembelajan terakhir tiap semester, penulis selalu mengadakan ruang evaluasi pembelajaran (bentuk Google Form) baik kritik, masukan maupun saran dari peserta didik kepada metode yang penulis gunakan. Penulis lakukan itu guna mengingatkan diri sendiri untuk terdorong menciptakan metode pembelajaran yang peserta didik inginkan dan tentunya lebih baik lagi.

Dampak bagi Peserta Didik

Setelah penulis menggunakan metode tersebut, peserta didik merasa bahagia dan tidak tertekan sehingga mudah menguasai materi, tidak bosan terhadap pelajaran SPI bahkan berubah menjadi pelajaran yang ditunggu-tunggu. Hal tersebut penulis dapat setelah melakukan evaluasi pada akhir pertemuan semester ganjil ini yakni dengan peserta didik mengisi Google Form yang penulis siapkan sebagai bahan evaluasi. Terhitung 309 jawaban (respon) peserta didik atas pembelajaran SPI selama satu semester bersama penulis seluruhnya merespon secara positif diantaranya sebagai berikut:

-SERUUUU BANGETT!! DAN SUPER PAHAM!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline