Saya dilahirkan dari rahim seorang ibu dalam keluarga yang turun-temurun memeluk islam. Beberapa tahun kebelakang seringkali saya tersenyum sinis dan bertanya heran di dalam hati, ''mengapa kita yang sama-sama bernaung dalam rumah islam yang satu sering kali merayakan idul fitri maupun idul qurban pada hari yang berlainan?''
Padahal jauh-jauh hari sebelum dunia mengenal sosok yang dianggap jenius sekelas Einstein, jauh sebelum adanya cerita buah apel yang terjatuh pada saat Newton tengah khusyuk berkontemplasi, bahkan jauh sebelum Rosulullah SAW beserta para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah, para ilmuwan terdahulu telah banyak yang menguasai ilmu perbintangan dan sistem penanggalan, baik yang mengacu pada pergerakan bumi terhadap matahari (kalender syamsiyah) maupun yang mengacu pada sistem qomariyah (peredaran bulan).
Yang membuat saya heran, tak lain dan tak bukan adalah mengapa di zaman yang serba modern dimana dunia ini telah memiliki alat-alat perhitungan super canggih serta mempunyai akurasi yang sangat tinggi kita masih saja terjebak dalam perbedaan penetapan hari raya --yang seringkali telah membuat sebagian kita menjadi saling merasa lebih benar daripada sebagian kita yang lain. Padahal di belahan bumi yang lain para ilmuwan modern (yang kebanyakan mereka adalah non-muslim) tengah antusias mempelajari bagaimana caranya mendirikan tempat tinggal dan hidup di luar angkasa, bagaimana menguasai sistem informasi dunia, serta hal-hal yang sangat bermutu lainnya dalam rangka usaha menguasai dunia bahkan alam semesta raya.
Entah disadari atau tidak, kita malah masih saja asyik berkubang dalam masalah yang remeh-temeh mengenai penetapan hari raya yang belum pernah berujung. Masalah ini tentu saja telah membuat orang seperti saya tak berhenti bertanya:
"Kapankah kita akan melantunkan takbir dalam satu malam kemenangan yang sama?
Kapankah kita memiliki satu kalender (internasional) islam yang sama sehingga tak ada lagi hari raya versi pemerintah, versi Muhammadiyah, versi aboge, versi Arab Saudi, versi Mesir, dan versi-versi lainnya yang membuyarkan keutuhan kita? Bukankah kita kerap kali mengatakan bahwa eksistensi islam adalah rahmat bagi alam semesta? Bukankah kita wajib kompak agar kita bisa memimpin dunia?"
**********************************************************
Namun di atas semua itu, bahkan dalam kurun waktu yang telah lama sebelum saya mampu merangkai pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan tersebut --walaupun saya tidak menyadari dengan sepenuhnya, sebenarnya jiwa saya telah merasakan bahwa sebuah perbedaan tidak selamanya mempunyai korelasi yang negatif. Setidaknya fenomena unik ini telah berlangsung pada kehidupan yang saya jalani selama ini. Dan saya sangat menikmati keberagaman ini. Bagi saya, tak masalah ketika ibu saya tidak merayakan hari raya dalam satu hari yang bersamaan dengan saya, seperti halnya beliau yang tak pernah protes ketika dalam shalat shubuh (sendirian atau menjadi makmum) saya tak memakai do'a qunut --meskipun sebenarnya saya hafal do'a itu, toh saya bisa menggunakannya kapan saja pada kondisi tertentu dimana saya harus menjadi imam sholat shubuh bersama orang-orang yang terbiasa memakainya.
Dalam kasus lain, bukanlah sebuah masalah jika pada pagi hari di suatu hari raya (yang memiiki dua versi) saya telah menunaikan sholat ied namun pada sore harinya saya juga ikut berbuka puasa bersama ibu saya. Bagi keluarga saya, perbedaan-perbedaan khilafiah tersebut adalah aneka warna yang semakin memperindah lukisan dalam kanvas kehidupan kami.
So, mulai sekarang marilah kita kesampingkan perbedaan ini demi meraih cinta sejati-Nya.
Selamat berpuasa arafah/tarwiyah (bagi yang menjalankan).