Aku masih ingat, sehari selepas Natalan, kita sekeluarga berduyun-duyun mengunjungi tetangga umat Kristiani. Mengucapkan selamat kepada mereka, bersilaturahmi dan saling berbagi bingkisan dan kue-kue. Begitu juga sebaliknya, ketika Hari Raya Lebaran tiba, giliran mereka yang berkunjung. Bermaaf-maafan, cium pipi kanan kiri dan mereka memberikan kue atau buah-buahan. Selama bertahun-tahun seperti itu, tak terasa menjelang dewasa, kegiatan tersebut mulai hilang dan akhirnya hilang sama sekali.
Hari ini ? Jangankan saling mengunjungi, untuk sekadar mengucapkan Natal pun berbagai dalil dikeluarkan. Komunikasi yang terjalin hanya sebatas basa-basi, cukup "say hello" dan menyunggingkan senyuman. Tidak ada lagi kehangatan semacam dulu, tak ada lagi obrolan yang mesra dan intens. Seakan-akan apa yang kita lakukan di masa lalu menjadi sebuah kesalahan, yang harus dilupakan.
Tetapi tetanggaku yang Kristen tidak lupa. Mereka masih tetap mengirim kue-kue dengan rajinnya. Kadang merasa malu sendiri, kita tidak bisa membalas kebaikan yang sama terhadap mereka. Sebab, ada beberapa anggota keluarga yang sudah bersiap dengan berbagai macam dalil dan alasan agar kita tidak berbuat hal yang sama. Secara pribadi, aku mengucapkan selamat Natal dan ikut berbahagia bersama tetangga-tetanggaku yang nonmuslim.
Entahlah, dahulu tidak seperti sekarang. Apakah dahulu pemahaman agama kami yang kurang dan rasa toleransi kami yang tinggi, ataukah sekarang pemahaman agama kami yang berlebih, namun harus dibayar dengan rasa toleransi kami yang semakin berkurang ?
Sedangkan kami diajarkan untuk menjalin hubungan sesama manusia atau yang sering disebut "hablum minannas." Semestinya, sesuai dengan pemakaian bahasanya, menjalin hubungan antar sesama manusia tidak meluputkan siapapun. Tidak melihat ras, bangsa, atau agamanya.
Apalagi contoh "hablum minannas" dari Rasulullah Saw dan para sahabatnya pun tidak kurang banyaknya. Misalnya, ketika ada utusan umat Kristiani dari Najran mengunjungi Rasulullah Saw di Madinah. Mereka kemudian meminta waktu untuk sembahyang, dan Rasulullah Saw mengizinkan salah satu sudut masjidnya untuk digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Begitu pula ketika ada iring-iringan jenazah seorang Yahudi. Lantas, Rasulullah Saw berdiri, hal ini mengundang pertanyaan sahabat-sahabatnya, mengapa Beliau Saw berdiri ? Rasulullah Saw, bukankah Yahudi itu pun manusia ? Di sini terdapat nilai-nilai untuk saling menghormati, dari manapun latar belakang orang tersebut. Bahkan kepada yang tidak mempunyai adab dan tatakrama. Misalnya, suatu ketika Nabi kedatangan tamu seorang Baduy. Dan si Baduy tersebut membuang hajatnya di salah satu sudut masjid Nabi. Hampir saja, para sahabat yang geram dengan kelakuan si Baduy hendak memukulnya, namun Nabi Saw mencegahnya dan membiarkan si Baduy menyelesaikan hajatnya, karena toh, kotoran tersebut bisa dibersihkan.
Tetapi bukti paling kuat perjalinan hubungan yang baik atau toleransi dari Nabi Saw dengan umat nonmuslim adalah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah, khususnya di pasal 1 disebut, kaum Muslimin dan yang bersekutu dengan mereka (non Muslim) adalah satu umat. Mereka bersaudara satu dengan yang lain. Selanjutnya, pada pasal 6, juga disebut, Yahudi yang mengikuti kaum Muslimin memiliki hak yang sama dengan mereka untuk ditolong dan dilindungi. Tidak ada diskriminasi antar semua pemeluk agama.
Semoga ini menjadi pengalaman pribadi aku sendiri, dan masih ada tempat-tempat di mana toleransi yang masih kuat. Namun, melihat survei, berita dan media sosial yang berseliweran, sepertinya rasa toleransi di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ada saja berita tentang penutupan dan penolakan pendirian gereja, persekusi terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Padahal, katanya pemerintah tahun ini mencanangkan sebagai tahun toleransi. Apakah ini sekadar menjadi slogan ?
Soalnya kita memang dari dulu asyik membuat slogan-slogan. Lihat saja, puluhan hingga ratusan slogan bermunculan di era Orde Lama hingga Orde Baru. Slogan tinggallah slogan. Muncul dan tenggelam sesuai kebutuhan, tanpa pernah terukur efektif atau tidaknya sebuah slogan.
Sayangnya, seolah menjadi budaya, era reformasi malah melanjutkan praktik ini. Slogan bermunculan setiap pergantian kekuasaan. Kemunculan slogan mulai dari level RT hingga pemerintah pusat. Mereka berlomba-lomba menciptakan slogan. Seperti yang sudah-sudah, slogan tinggallah slogan, realisasinya ? Jangan pernah menanyakan hal itu, karena tidak ada alat ukur yang jelas untuk mengukur seberapa efektifkah atau seberapa berhasilkan slogan tersebut.
Aku tidak rindu Orde Baru. Tapi, masa kecilku, di masa itu, rasa toleransi masih mengakar kuat, dan seiring waktu hingga hari ini, aku melihat fenomena yang kurang sedang, bahkan tidak sedap sama sekali. Toleransi terkikis, dan menghilang. Tapi seperti kataku, mungkin ini hanya perasaanku saja.