Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Muhaimin Azzet

Penulis, blogger, dan editor buku.

Dalam Pesona Cinta (9)

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu pada jam tanganku telah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Sebentar lagi subuh. Biasanya pada jam-jam segini, aku tenggelam dalam tahajjud. Shalat malam ini memang sangat ditekankan di pesantrenku. Meskipun hukumnya sunnah muakad, tak ada santri yang berani meninggalkannya. Padahal, Kiai Badrul tak pernah marah bila ada santri yang meninggalkan shalat tahajjud. Berbeda dengan shalat wajib lima waktu, Kiai Badrul akan memanggil santri yang ketahuan tidak shalat. Wow…, siapa pun santri itu bila dipanggil Kiai Badrul dapat dipastikan akan mengkeret. Bayangkan, Kiai Badrul yang penyabar itu, bila memanggil santri yang ketahuan tidak shalat tanpa alasan yang dapat dibenarkan oleh syar’i, beliau akan berkata dengan dua pertanyaan saja, “Mengapa tidak shalat?” dan “Akan diulang lagi atau tidak?” Setelah itu, santri dipersilakan kembali ke kamarnya.

Sedangkan shalat tahajjud, bila ada santri yang meninggalkannya, Kiai Badrul tidak akan memanggilnya. Seusai berjamaah shalat subuh, setelah berdzikir dan berdoa, beliau akan berdiri menghadap jamaah untuk membacakan ayat suci al-Qur’an yang berbunyi, “Waminal laili fatahajjad bihii naafilatal laka ‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaa.”* Itu saja, tanpa tambahan pesan apa pun, lalu beliau duduk kembali. Dan, beliau akan melakukan hal yang sama bila ada santri yang tidak menjalankan shalat tahajjud lagi. Demikianlah, hingga akhirnya di dada para santri tertanam sebuah kesadaran bahwa shalat tahajjud memang bukan kewajiban, tetapi kebutuhan yang teramat rugi bila ditinggalkan.

Adzan subuh terdengar lirih berkumandang dari sebuah pengeras suara masjid di depan sana. Laju bus JS mulai melambat. Setelah tampak sebuah masjid di kanan jalan, bus JS semakin pelan, berbelok dan memasuki halaman masjid.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, mohon maaf kita berhenti dulu, bagi penumpang yang akan shalat subuh dipersilakan turun,” kondektur bus itu berkata dengan sopan kepada para penumpang.

Penumpang yang hampir semuanya sejak tadi ketiduran, bangun satu per satu. Selanjutnya, semua penumpang itu berbondong turun. Termasuk bapak tua yang duduk di sampingku.

“Maaf, sejak tadi saya tidur lelap sekali sehingga tidak tahu kalau Adik duduk di samping saya…,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman. “Nama saya Syamsul, nama Adik?”

“Hasan. Nama saya Hasan Abdurrahman,” jawabku sambil menjabat tangannya.

“Adik akan shalat subuh?”

“Ya, tentu saja.”

“Mari….”

Ternyata, ini adalah sebuah masjid yang berada di wilayah Ngawi; letaknya tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren Putri Gontor yang ada di Mantingan. Masjid ini tidak begitu besar sebenarnya, bila dibandingkan dengan masjid-masjid yang biasanya ada di pusat kota, atau banyak daerah berada di sebelah barat alun-alun kota. Tetapi, meskipun tidak begitu besar, masjid ini mempunyai halaman yang luas; cukup untuk beberapa bus besar dan kendaraan pribadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline