Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Muhaimin Azzet

Penulis, blogger, dan editor buku.

Dalam Pesona Cinta (8)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memang, ya… memang aku datang tepat waktu. Tapi, aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Api sudah menyala-nyala, besar sekali, tak ada satu sudut pun dari rumahku yang belum terbakar. Semuanya telah dilalap api, termasuk mushala di samping rumah. Lagi pula, bisa apa aku yang sendirian di tengah orang-orang yang sedang dibakar amarah itu. Beruntung Mak Latifah segera menyeretku pada saat orang-orang belum menyadari keberadaanku di tengah-tengah mereka.

Dan, aku tidak bisa terus-terusan sembunyi di rumah Mak Latifah. Cepat atau lambat, mereka akan mengetahui keberadaanku. Aku tidak tahu apakah mereka akan memperlakukanku dengan penuh kemarahan sebagaimana mereka memperlakukan abah, ibu, dan adikku. Tapi, dari cara mereka mencari-cariku karena di antara mereka ada yang selintas melihatku pada saat peristiwa itu, tak ada alasan lain bagiku kecuali harus segera meninggalkan kampung ini. Maka, tepat pada malam ketiga, pada saat gerimis seusai hujan deras tumpah dari langit, aku pamit kepada Mak Latifah untuk pergi jauh. Ya, pergi jauh meninggalkan kampungku. Satu-satunya tempat yang kutuju adalah Jogja.

Tak ada tempat lain yang kutuju selain Jogja, demikian pikirku. Mau kembali lagi ke pesantren, rasanya tidak mungkin. Aku baru saja berpamitan kepada Kiai Badrul dan seluruh teman-temanku. Lagi pula, aku tidak ingin merepotkan mereka. Aku tidak ingin orang-orang kampungku mencariku sampai ke pesantren, dan ini bisa mengganggu ketenangan belajar teman-temanku. Mungkin kekhawatiranku ini berlebihan, tapi sungguh aku tidak ingin hal yang seperti itu terjadi.

Hanya Jogja tempat yang bisa kutuju. Sebab, sepeninggal abah, ibu, dan adikku, sungguh aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau teman-temanku yang lain, atau orang pada umumnya, mempunyai kakek, nenek, paman, bibi, dan sebagainya, tetapi aku hanya punya abah, ibu, dan adikku. Kini…, setelah abah, ibu, dan adikku kembali ke pangkuan-Nya….

“Ya Allah, sekarang aku sendirian. Sebatang kara. Tiada tempat untuk aku bergantung kecuali Engkau, Ya Allah….”

Di dalam bus yang sedang membawaku ke Jogja ini, air mataku kembali jatuh satu-satu. Semakin deras, dan membasahi pipiku. Ke mana lagi aku menuju kalau tidak ke pesantrennya Kiai Zainal di Jogja. Seakan sudah mempunyai firasat atau bagaimana, pada waktu dulu aku diajak ke pesantrennya Kiai Zainal, aku sudah dipasrahkan abah kepada beliau; bahwa kelak setelah lulus Aliyah, aku harus mondok di pesantrennya Kiai Zainal. Dan, kiai yang sangat ramah itu tampak senang sekali menerimaku.

Sekarang, satu-satunya tempat yang kutuju adalah pesantrennya Kiai Zainal. Pada saat aku sudah tidak punya keluarga lagi seperti ini, satu-satunya orang yang sering abah ceritakan kepadaku, dan sudah dianggap seperti saudara oleh abah adalah Kiai Zainal. Beliau adalah temannya abah ketika mondok di pesantrennya Kiai As’ad di Rembang. Meskipun usia Kiai Zainal jauh lebih muda, tetapi abah sangat menghormati Kiai Zainal. Setelah enam tahun mondok bersama, Kiai Zainal pulang ke rumah orang tuanya di Jogja, dan abah tidak pulang ke Banten karena kedua orang tuanya (berarti kakek dan nenekku) sudah meninggal.

Abah berdakwah sambil berdagang sampai ke Jawa Timur. Abah berjualan kain sarung keliling, mengambil dari Pekalongan lalu dijual dari kota ke kota dengan berjalan kaki. Bila barang dagangan sudah habis, abah kembali kulakan ke Pekalongan dengan naik bus, atau lebih sering menumpang truk. Kemudian berjualan lagi dengan berjalan kaki. Bila malam sudah menjelang, abah akan menumpang tidur di rumah penduduk, di masjid, atau di mushala. Pada saat itulah abah akan mengajari shalat, membaca al-Qur’an, atau masalah keislaman lainnya kepada siapa saja yang ingin belajar mengaji.

Hingga pada satu malam, abah menumpang tidur di sebuah panti asuhan yatim piatu di Jombang. Abah berkenalan dengan seorang gadis pengasuh di panti asuhan tersebut. Gadis tersebut sebelumnya adalah anak asuh dari panti asuhan itu, setelah ia tumbuh lebih besar dari teman-temannya, karena teman-temannya yang sebaya banyak yang keluar dari panti karena sudah pada bekerja dan atau sudah ada yang menikah, gadis tersebut masih saja di panti ingin membantu ibu asuhnya yang mengasuh sendirian.

Gadis tersebut sudah terputus sama sekali dari nasabnya. Entah siapa bapak dan ibunya; pada suatu pagi yang masih buta, di teras panti asuhan tiba-tiba sudah ada bayi mungil dalam kardus terbuka yang oleh ibu asuh panti akhirnya diberi nama Siti Fatimah. Ya, Siti Fatimah itulah yang setelah tumbuh dewasa menjadi gadis pengasuh panti yang dinikahi oleh abah, seorang pemuda penjual keliling kain sarung. Di depan wali hakim, di ruang tengah panti asuhan, disaksikan puluhan anak yatim, pemuda yang bernama Abdurrahman itu menikahi Siti Fatimah dengan upacara sederhana yang penuh hikmat.

Seminggu setelah menikah, abah memboyong ibu ke Desa Sebrang Angin yang tidak terlalu jauh dari panti asuhan, kurang-lebih berjarak lima kilometer. Abah dan ibu merasa sudah tidak pantas lagi tinggal di panti asuhan, karena sudah membangun rumah tangga. Abah dan ibu mengontrak di salah satu rumah penduduk. Abah akhirnya meninggalkan karier berdagangnya karena tidak ingin meninggalkan ibu berhari-hari. Abah lebih memilih untuk menjadi buruh tani. Setelah aku lahir dan berumur dua tahun, abah bisa membeli rumah dan sebidang sawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline