Siang itu, ketika melihat aku terbengong di antara lalu lalang orang-orang, di depan rumahku yang menyala-nyala, Mak Latifah menyeretku ke rumahnya. Pada malamnya, setelah orang-orang tidak berhasil menemukanku di rumah Mak Latifah, aku menjadi tahu sesungguhnya apa yang sedang terjadi. Dengan suara yang tertahan, Mak Latifah menceritakan semuanya.
“Kit subuh omahmu ditunggoni wong-wong sing muring-muring iku, tapi abah, ibuk, ambek adikmu gak metu-metu omah. Wong-wong tambah muntap sak wise nunggoni nganti awan karo nggedor-nggedor omahmu, keluargamu ga gelem metu. Terus, mbuh sopo sing mulai, omahmu ngerti-ngerti wis diobong.”*
“Masya Allah…, menopo salahipun keluarga kulo, Mak?”**
Mak Latifah lalu menceritakan bahwa semua itu bermula dari sikap abah dan ibu yang akhir-akhir ini mulai berubah. Dari segi berpakaian, abah lebih sering memakai gamis panjang berwarna putih, sedang ibu jilbabnya tambah lebar. Orang-orang mulai menunjukkan rasa tidak sukanya karena abah dan ibu dicurigai mengikuti aliran sesat. Padahal, shalat abah dan ibu juga masih sama seperti mereka. Kalau memang tetap dicari perbedaannya dalam hal shalat ini, abah dan ibu akhir-akhir ini selalu mendirikan shalat lima waktu dengan berjamaah, sedang mereka hanya Maghrib, Isya’, dan Shubuh. Pada saat Zhuhur dan Ashar, mereka masih di sawah dan ladang, sehingga shalatnya di rumah saja. Tapi, ini bagi mereka yang shalat; memang seratus persen warga kampungku memeluk Islam, namun yang tidak shalat juga banyak. Sedangkan abah dan ibu, akhir-akhir ini, di mana pun berada, kalau sedang waktunya shalat, segera mendirikan shalat berjamaah.
Sikap abah dan ibu ini, dianggap oleh mereka berlebihan. Dianggap oleh mereka telah berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Terutama dalam berpakaian, mereka menunjukkan rasa tidak sukanya. Terutama Wak Sarpan, terang-terangan sekali ia membenci abah dan ibu.
“Hah, jadi guru ngaji di mushala kampung saja sok suci. Pakaiannya itu lho, kayak kiai besar saja. Padahal, banyak kiai besar, punya pondok besar dan santrinya banyak, tapi pakaiannya biasa-biasa saja,” ujar Wak Sarpan suatu hari kepada orang-orang di perempatan.
Orang-orang di kampungku memang mempunyai kebiasaan duduk bergerombol di perempatan kalau malam telah tiba. Entah kebiasaan ini bermula sejak kapan, yang jelas, sejak aku lahir orang-orang sudah mempunyai kebiasaan seperti itu, sampai sekarang. Jadi, di kampungku tidak ada jadwal ronda. Karena, tanpa jadwal pun orang-orang sudah pasti ada yang nongkrong di perempatan. Paling tidak lima belas sampai dua puluh orang yang datang. Nah, abah yang biasanya ikut keluar ke perempatan paling tidak seminggu sekali, akhir-akhir ini nyaris tidak pernah keluar. Abah lebih banyak memanfaatkan waktu malam untuk membaca al-Qur’an, kitab al-Hadits, atau berdzikir di mushala.
“Atau…, jangan-jangan dia sekarang ikut aliran sesat yang akhir-akhir ini banyak diberitakan di televisi itu. Wah…, kita sekarang harus hati-hati dengan anak-anak kita. Mulai besok, jangan ada yang boleh mengaji di mushalanya,” tambah Wak Sarpan.
Benar saja, anak-anak mereka yang biasanya bakda shalat Maghrib mengaji di mushala abah yang terletak persis di sebelah kanan rumahku, akhirnya satu pun tidak ada yang berangkat mengaji. Satu demi satu jamaah shalat di mushala yang didirikan oleh abah itu menghilang. Hanya Mak Latifah yang tidak mau peduli dengan omongan orang-orang. Mak Latifah tetap saja rajin ke mushala, baik untuk berjamaah shalat maupun mengaji bersama ibu.
Puncaknya, kebencian orang-orang kepada abah sepertinya sudah tak dapat dibendung lagi bertepatan pada saat acara sedekah desa dilaksanakan. Pada acara yang diadakan di bawah pohon asam yang besar di jalan samping kuburan itu abah tidak kelihatan. Ketidakhadiran abah dan ibu pada acara syukuran pada setiap panen padi itu menyulut kemarahan mereka.
“Ini sudah tidak dapat didiamkan lagi, terang-terangan dia telah menghina tradisi luhur nenek moyang kita,” lagi-lagi Wak Sarpan angkat bicara.
“Ya, apa dia mau bertanggung jawab bila panen yang akan datang gagal,” yang lain menimpali.