Duh…, ya Allah, inikah garis takdir terbaik yang harus aku jalani? Aku sangat yakin Engkau tak akan menakdirkan sesuatu yang salah bagi hamba-Mu ini. Tetapi, betapa berat ya Rabbi. Dahulu di pesantren, dan hari-hari kemarin sebelum kejadian ini, aku tak pernah merasa bermasalah dengan keyakinanku akan takdir-Mu. Bahwa Engkau pasti memberikan yang terbaik buat hamba-Mu. Engkau Maha Adil. Engkau Maha Mengetahui. Tetapi, kini… pada saat kobaran api itu telah menghabiskan seluruh keluargaku. Aku terguncang, ya Allah. Betapa berat menggenggam keyakinan ini.
Memang, aku jarang berkumpul dengan abah, ibu, dan adikku, tetapi bukan berarti aku tidak dekat dan lantas tidak terlalu merasa kehilangan atas kepergian mereka. Sejak Ibtidaiyah,* aku sudah tinggal di pesantren. Kebetulan, aku tidak pernah mengenyam pendidikan TK, jadi langsung Ibtidaiyah. Sebelum itu, abah dan ibuku yang mengajariku cara berwudhu, doa atau bacaan shalat, cara membaca al-Qur’an beserta ilmu tajwidnya, juga banyak hafalan yang disebut nazham tentang asmaul husna, sifat-sifat Allah, nama-nama nabi dan malaikat, atau kaidah-kaidah akhlak.
Setelah dasar-dasar dalam beragama itu benar-benar aku kuasai, maksudnya hafal di luar kepala, baru aku diantarkan abah ke Kiai Jamaludin untuk belajar dan tinggal di pesantrennya. Rumahku dengan pesantrennya Kiai Jamaludin memang masih satu kota, tapi yang namanya tinggal di pesantren, tak mungkin setiap saat aku bisa pulang untuk bertemu dengan abah dan ibu.
Aku masih ingat, pada saat itu umurku enam tahun kurang sebulan. Semenjak itu, aku memang jarang bertemu dengan abah dan ibuku. Abahku datang ke pesantren setiap sebulan sekali, pada awalnya. Tapi, setelah enam bulan di pesantren, abahku sudah tidak setiap bulan lagi menjengukku di pesantren. Kadang dua bulan sekali, tiga bulan sekali, pernah lima bulan baru menjengukku. Alasannya, aku sudah mulai besar. Sudah waktunya untuk bisa mandiri. Apalagi dalam mencari ilmu, seseorang harus merasakan susah payah agar ilmunya berkesan sehingga tak mudah dilupakan, demikian abah menguatkanku. Praktis, aku memang jarang bertemu dengan abah dan ibuku. Untuk biaya bulananku, hanya untuk biaya sekolah dan makan karena mondok di pesantrennya Kiai Jamaludin gratis, abah biasanya menitipkan kepada Pak Sabri, pedagang minyak tanah yang selalu lewat di depan pesantren.
Setelah Ibtidaiyah, aku langsung Tsanawiyah, juga masih di pesantrennya Kiai Jamaludin. Tapi, pada saat Aliyah, aku pindah ke pesantrennya Kiai Badrul. Sebenarnya, abah keberatan jika aku harus pindah ke pesantrennya Kiai Badrul. Alasannya, pesantrennya Kiai Badrul bukan pesantren salaf, tapi pesantren modern. Tapi, setelah aku ungkapkan alasanku bahwa tujuanku mondok di pesantrennya Kiai Badrul untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab-ku, karena di sana komunikasi wajib dilakukan dengan bahasa Arab, akhirnya abah tidak keberatan. Kiai Badrul adalah alumnus Universitas al-Azhar, Mesir.
Tiga tahun aku di pesantrennya Kiai Badrul, semakin membuat aku mantap untuk melanjutkan kuliah di Jogja. Kota ini menjadi tujuanku, karena pada saat liburan kelas tiga Tsanawiyah dulu abah pernah mengajakku silaturahmi ke pesantrennya Kiai Zainal di Jogja. Pada waktu itu, Kiai Zainal banyak memberikan nasihat yang sangat meneduhkan jiwaku. Setiap untai kata yang keluar dari bibirnya, duh… bisa menambah-nambah keimanan di dada. Juga, tekadku ingin kuliah di Jogja semakin menguat karena Gus Khoirudin, putranya Kiai Badrul, banyak cerita tentang Jogja. Dia empat tahun kuliah di Jogja.
Tetapi, kini, setelah aku lulus Aliyah,** cita-cita untuk kuliah di Jogja itu seakan hanyalah impian semata. Betapa tidak, baru seminggu yang lalu aku dinyatakan lulus Aliyah dengan nilai sangat memuaskan. Baru tiga hari yang lalu aku boyong dari pesantren dan pamitan dengan Kiai Badrul dan seluruh teman pesantrenku. Apa yang aku dapati setelah aku memasuki kampungku, orang-orang berlarian dengan teriakan, “Kebakaran… kebakaran!” Ternyata…, rumahku yang terbakar!
Tiga hari pula aku menangis tanpa suara di rumah Mak Latifah. Satu-satunya rumah yang hingga kini tak mau dipasangi listrik di desaku. Mak Latifah menyembunyikanku di kamarnya yang gelap. Katanya, orang-orang yang marah itu mengetahui kalau aku pulang dari pesantren tepat pada hari rumahku dibakar. Mereka menanyakan keberadaanku kepada setiap orang, termasuk menggeledah beberapa rumah yang dicurigai ada hubungan dekat dengan keluargaku. Rumah Mak Latifah tak urung juga digeledah, karena Mak Latifah si janda tua berusia tujuh puluhan ini yang paling rajin ikut pengajian yang diadakan oleh abah. Tetapi, aku yakin ini karena Allah melindungiku, orang-orang tak mengetahui keberadaanku yang masuk ke dalam salah satu dari tiga karung goni milik Mak Latifah yang berisi kapas randu di kamar belakang dekat dapur. Pekerjaan Mak Latifah memang mengumpulkan kapas randu, membeli dari orang-orang, memisahkannya antara kapas dengan bijinya, kemudian dijual ke tempat orang membuat kasur di kota.
(Bersambung)
* Pendidikan madrasah setingkat SD.
** Pendidikan madrasah setingkat SLTA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H