Gemetar di kaki mulai berkurang sedikit demi sedikit. Langkah kakiku semakin mantap. Tak ada keraguan sedikit pun untuk meninggalkan desa kelahiranku ini. Menunggu apa lagi di sini. Tak ada saudara. Tak ada keluarga. Tak ada harapan. Bahkan, tak ada kenangan. Seluruh cerita masa laluku ikut terbakar habis bersama abah, ibu, adik, dan rumahku.
Langkah kakiku semakin cepat. Dini hari memang sangat dingin, tapi keringatku mulai membentuk butiran mutiara kecil di kening. Sambil berjalan, aku menoleh untuk yang terakhir kalinya ke desaku karena di depan telah berdiri tapal batas* ujung desa. Tampak gelap menyelimuti desaku. Segelap hati orang-orang yang telah membakar rumahku. Ah, ingatan pada perilaku bar-bar orang-orang itu betapa tiba-tiba saja menyiratkan dendam di hatiku.
Ya, sungguh manusiawi jika tiba-tiba aku mempunyai dendam kepada mereka. Hhh…, ternyata aku baru menyadari bahwa kemarahan telah meruyak dan menguasai hatiku semenjak langkah pertama aku meninggalkan desa ini. Pantas saja langkah kakiku begitu mantap dan bersemangat. Ternyata, karena… ada darah yang mendidih lalu mengalir ke seluruh daerah jasadku dan mengobarkan kemarahan dan dendam.
Duhai, ya Allah, berdosakah jika aku menyemai dendam di dalam dadaku? Tiba-tiba ingatanku melesat kepada sebuah peristiwa saat Sayyidina Ali Karamallahu wajhah akan mengayunkan pedang kepada musuhnya. Saat pedang itu terayun tinggi-tinggi dengan semangat jihad fi sabilillah, tiba-tiba sang musuh meludah ke wajah Sayyidina Ali. Saat itu juga, pedang yang sudah terayun mendadak berhenti, ada keraguan bergolak dalam dada Sayyidina Ali: adakah energi kemarahan atau dendam dalam ayunan pedang ini? Jangan-jangan pedang ini berayun karena kemarahan pribadi, bukan karena menegakkan panji-panji agama-Nya? Akhirnya, Sayyidina Ali lebih memilih mengurungkan untuk menebaskan pedang karena merasa telah diusik oleh kemarahan dan dendam pribadi. Sang musuh yang telah meludahi wajahnya ditinggalkannya begitu saja.
(bersambung)
* Tapal batas ini terbuat dari bangunan batu bata yang berbentuk tugu dengan bagian atasnya menyerupai puncak bangunan rumah Jawa. Konon, arsitektur tapal batas seperti ini adalah warisan dari Kerajaan Majapahit; kini peninggalannya yang relatif lengkap dapat dilihat di daerah Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H